KABARBURSA.COM - Indeks harga saham gabungan (IHSG) mengalami penurunan signifikan sebesar 248,46 poin atau 3,4 persen, berakhir di level 7.059,6 pada penutupan perdagangan Senin, 5 Agustus 2024.
Penurunan ini dipicu oleh tiga faktor utama, yakni penurunan tajam pasar saham Asia Pasifik, laporan tenaga kerja Amerika Serikat (AS) yang mengecewakan, serta eskalasi konflik geopolitik di Timur Tengah.
Dengan kondisi global yang tidak menentu, seperti fluktuasi pasar saham di Asia Pasifik dan ketidakpastian akibat eskalasi geopolitik di Timur Tengah, apakah dapat berdampak negatif terhadap pasar saham Indonesia?
Sementara itu, laporan tenaga kerja AS yang buruk juga menciptakan ketidakpastian terkait prospek ekonomi global secara keseluruhan.
Founder Stocknow.id Hendra Wardana menjelaskan, penurunan IHSG hari ini disebabkan oleh beberapa faktor utama yang mempengaruhi tiga sentimen, yaitu pertama, penurunan tajam di pasar saham Jepang dan Asia Pasifik akibat aksi jual besar-besaran oleh investor telah menciptakan tekanan negatif pada IHSG.
“Nikkei 225 dan Topix turun lebih dari 13 persen, dan beberapa perusahaan blue chip besar seperti Mitsubishi, Mitsui, Sumitomo, dan Marubeni mengalami penurunan harga saham hingga sekitar 10 persen,” kata Hendra, Senin, 5 Agustus 2024.
Kedua, lanjut dia, sentimen negatif juga dipicu oleh laporan tenaga kerja AS yang lebih lemah dari perkiraan, yang memunculkan kekhawatiran akan potensi resesi ekonomi. Hal ini mengakibatkan penurunan signifikan pada Nasdaq, S&P 500, dan Dow Jones di AS.
“terakhir, faktor geopolitik seperti eskalasi ketegangan di Timur Tengah juga menambah ketidakpastian di pasar global,” ujarnya.
Meskipun IHSG mengalami penurunan, lanjut Hendra, masih ada optimisme bahwa dengan level psikologis di sekitar 7.000, IHSG masih berada dalam kondisi yang cukup baik.
Data tenaga kerja AS yang lemah membuka peluang bagi The Fed untuk mempertimbangkan pemangkasan suku bunga di masa mendatang, yang dapat memberikan sentimen positif bagi pasar saham, termasuk IHSG.
“Selain itu, dengan valuasi pasar Indonesia yang masih undervalued, terdapat potensi pertumbuhan di masa mendatang yang dapat dimanfaatkan oleh investor. Oleh karena itu, meskipun dalam jangka pendek IHSG mungkin akan terus menghadapi tekanan, dalam jangka panjang, pasar saham Indonesia masih memiliki prospek yang positif,” terang Hendra.
Sementara itu, Senior Analyst Capital Market MNC Sekuritas, Herditya Wicaksana mengatakan, koreksi dari IHSG hari ini cenderung inline dengan report teknikal yang dirilis pagi ini dan dengan pergerakan mayoritas pergerakan bursa Asia yang juga terkoreksi. Di sisi lain, diperkirakan terdapat sell-off menyusul kekhawatiran potensi resesi di AS setelah data penganggurannya meningkat menjadi 4,3 persen YoY.
“Untuk besok, kami perkirakan pergerakan IHSG berpeluang menguat terbatas dengan support 6.968 dan resistance 7.136. Kami perkirakan, akan terdapat technical rebound dahulu, sembari investor menanti akan ada rilis data neraca perdagangan AS,” jelas Herditya.
Investment Consultant sekaligus Founder of Indonesia Investment Education, Rita Effendy mengatakan pasar keuangan global lagi bergejolak gara-gara lonjakan pengangguran di AS, kebijakan moneter yang tidak pasti, dan ketegangan geopolitik.
“Sektor teknologi dan pasar yang banyak utang (leverage) kena tekanan jual besar-besaran, bikin volatilitas dan ketidakpastian ekonomi makin parah,” ucapnya.
Menurut Rita, penyebabnya adalah lonjakan pengangguran di AS picu kekhawatiran perlambatan ekonomi. Tingkat pengangguran di AS tiba-tiba naik, membuat orang khawatir kalau ekonomi AS melambat lebih cepat dari yang diperkirakan. Ini mengejutkan pasar dan bikin spekulasi bahwa The Fed mungkin salah menilai situasi ekonomi.
Lanjut Rita, penyebab lainnya yaitu ketidakpastian suku bunga The Fed. Ada kekhawatiran The Fed harus cepat-cepat memangkas suku bunga setelah laporan pekerjaan AS yang lemah, yang membuat pasar saham tegang, terutama sektor teknologi.
“Bursa saham dunia berguguran pada akhir pekan ini setelah pasar melakukan aksi jual besar-besaran saham teknologi. Penjualan besar ini dipicu oleh kekhawatiran melambatnya ekonomi Amerika Serikat (AS) dan ancaman resesi,” jelasnya.
Menurut Rita, saham teknologi menjadi pemicu ambruknya saham global. Penurunan paling parah dicatat oleh pembuat chip Intel (INTC.O) yang ambruk 26,06 persen ke USD21,48 per lembar. Posisi tersebut adalah yang terendah sejak 8 April 2013 atau 11 tahun terakhir lebih. Pelemahan sebesar 26,06 persen sehari juga menjadi yang terdalam dalam sejak 1974 (31 persen sehari) atau lebih dari 50 tahun atau setengah abad.
“Pada saat itu, Intel baru saja menggelar penawaran saham perdana (initial public offering/IPO). Ambruknya saham Intel jatuh hingga membuat market capnya ambruk di bawah US$ 100 miliar,” ucapnya.
Lanjut Rita lagi, penyebab selanjutnya adalah Yen Jepang mencapai level tertinggi tujuh bulan terhadap dolar AS. Yen Jepang menguat signifikan terhadap dolar AS karena ada ekspektasi Bank of Japan (BoJ) akan menaikkan suku bunga. Ini membuat saham-saham di Jepang, terutama yang ekspornya besar, jadi tertekan.
Indeks Nikkei Jepang mencatat penurunan harian terburuk sepanjang sejarah pada hari Senin. Indeks ditutup turun 12,4 persen ke 31.458,42.
“Penurunan ini menjadi yang terbesar kedua sejak kejatuhan Black Monday pada Oktober 1987, ketika indeks kehilangan 3.836,48 poin (14,9 persen), yang sebelumnya merupakan penurunan terburuk,” paparnya.
Rita menegaskan, kekhawatiran geopolitik juga menjadikan pasar keuangan bergejolak. Sebab, ketegangan geopolitik meningkat setelah ancaman Iran terhadap Israel memunculkan kekhawatiran global semakin parah dan investor jadi lebih berhati-hati.
Setelah pembunuhan Ismail Haniyeh, ketegangan regional semakin memuncak. Peristiwa itu terjadi sehari setelah serangan Israel di Beirut yang menewaskan Fuad Shukr.
“AS sedang mengerahkan kekuatan militer tambahan di Timur Tengah sebagai langkah defensif untuk meredakan ketegangan di wilayah tersebut. Hal itu diungkapkan langsung oleh seorang pejabat Gedung Putih,” kata Rita.
Rita menyebut penyebab pasar keuangan bergejolak adalah tekanan di sektor teknologi yang sebelumnya melonjak tinggi, sekarang kena tekanan jual karena investor mulai meragukan harga saham yang terlalu tinggi.
Data pekerjaan yang lebih buruk dari perkiraan pada hari Jumat memicu kekhawatiran bahwa The Fed mungkin telah menunggu terlalu lama untuk mulai menurunkan suku bunga, membuat Indeks Nasdaq 100 mengalami koreksi teknikal dan Indeks Volatilitas Cboe menuju level 25.
“Saham-saham raksasa seperti Microsoft Corp, Amazon. com Inc dan Alphabet Inc telah jatuh dari rekor tertinggi, yang dicapai pada awal Juli. Secara keseluruhan, anggota Nasdaq 100 telah kehilangan nilai lebih dari USD3 triliun selama periode tersebut, dengan Nvidia Corp dan Tesla Inc masing-masing mengalami penurunan lebih dari 20 persen,” jelasnya.
Sedangkan penyebab pasar keuangan bergejolak adalah KOSPI turun 8,8 persen, terbesar sejak Oktober 2008. Saham teknologi anjlok di tengah kekhawatiran resesi AS. Penghenti perdagangan (circuit breakers) diaktifkan untuk pertama kalinya dalam empat tahun. (*)