Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Asing Bergairah Buru SUN, Sri Mulyani Pasang Lampu Merah

Rubrik: Market Hari Ini | Diterbitkan: 24 July 2024 | Penulis: Yunila Wati | Editor: Redaksi
Asing Bergairah Buru SUN, Sri Mulyani Pasang Lampu Merah

KABARBURSA.COM - Investor asing sedang memburu Surat Utang Negara atau SUN. Namun, pemerintah tampaknya masih konservatif dalam menyerap permintaan ini. Bahkan, Menteri Keuangan Sri Mulyani memasang lampu merah atas hal ini.

Berdasarkan data yang dikumpulkan Direktorat Jenderal Pengelolaan dan Pembiayaan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, Selasa, 23 Juli 2024, pemerintah melalui sistem Bank Indonesia (BI) melakukan lelang terhadap tujuh seri, yaitu SPN03241023 (new issuance), SPN12250710 (reopening), FR0101 (reopening), FR0100 (reopening), FR0098 (reopening), FR0097 (reopening), dan FR0102 (reopening).

Dari tujuh seri tersebut, total penawaran yang masuk mencapai Rp57,19 triliun. Jumlah ini menjadi yang tertinggi sejak Maret tahun ini. Meski begitu, pemerintah cenderung konservatif dengan penyerapan yang diambil lebih rendah, hanya Rp22 triliun dari lelang sebelumnya sebesar Rp24 triliun. Namun, penyerapan tersebut masih sesuai dengan target indikatif dari yang direncanakan.

Untuk porsi penawaran asing sendiri, pemerintah memberikan ruang sebesar 19,12 persen dari incoming bids, setara Rp10,93 triliun. Penawaran asing ini juga yang tertinggi sejak akhir Januari 2024, namun yang diserap hanya Rp2,29 triliun saja.

Penawaran Obligasi Asing: Menarik Perhatian dengan Gaya Baru

Pada lelang obligasi kali ini, investor asing menunjukkan minat yang cukup besar, terutama terhadap obligasi dengan tenor satu tahun (SPN12250710). Permintaan untuk seri ini mencapai angka yang mengesankan, yaitu Rp4,7 triliun. Namun, pemerintah hanya menyerap Rp400 miliar, dengan imbal hasil rata-rata yang dimenangkan sebesar 6,72 persen.

Obligasi acuan RI dengan tenor 10 tahun (FR100) tetap menjadi favorit pemerintah. Dari total tawaran sebesar Rp2,04 triliun, pemerintah menyerap Rp1,40 triliun. Sebaliknya, obligasi dengan tenor terpanjang, yaitu 30 tahun (FR0102), mendapatkan tawaran paling sedikit dari investor asing, hanya Rp151,1 miliar, dengan penyerapan oleh pemerintah sebesar Rp2,7 miliar.

Dari lelang kali ini, terlihat bahwa minat asing terhadap obligasi jangka pendek semakin meningkat, dibandingkan dengan obligasi jangka panjang. Pemerintah, meski melihat minat yang tinggi, tetap berhati-hati dalam menyerap utang, menjaga agar tetap sesuai dengan target indikatif. Hal ini disebabkan oleh beberapa risiko yang masih perlu diantisipasi pada awal Semester II tahun ini, seperti era suku bunga tinggi yang belum mulai dipangkas dan mata uang rupiah yang masih melemah di atas Rp16.000/USD.

Pemerintah Berhati-hati dalam Menarik Utang

Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan bahwa pemerintah akan lebih berhati-hati dalam menarik utang. Untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan anggaran, ia memilih untuk memanfaatkan saldo anggaran lebih (SAL).

"Kami juga menggunakan sumber dari SAL tahun sebelumnya," ujar Sri Mulyani saat konferensi pers APBN secara daring, Kamis, 27 Juni 2024.

SAL mencapai Rp454,5 triliun pada akhir 2023, dengan Rp35 triliun telah digunakan sepanjang tahun tersebut. Dengan demikian, masih ada dana yang cukup dari SAL untuk membiayai defisit anggaran.

Kebijakan Burden Sharing

Bank Indonesia memiliki proporsi kepemilikan yang signifikan atas surat utang pemerintah (SBN) sebagai hasil dari kebijakan burden sharing dengan pemerintah selama pandemi Covid-19 yang merugikan perekonomian. Situasi ini masih berlangsung hingga saat ini dan pada suatu waktu telah membatasi fleksibilitas bank sentral dalam merancang kebijakan moneter serta menjaga kemandirian kebijakan di masa depan.

Dalam konteks ketidakpastian global yang dapat kapan saja mempengaruhi nilai tukar rupiah, Bank Indonesia menghadapi keterbatasan yang lebih besar dalam mengambil langkah-langkah strategis. Sementara itu, biaya operasional yang meningkat akibat skema burden sharing menimbulkan tekanan tambahan, yang berpotensi mengakibatkan defisit dalam neraca Bank Indonesia. Secara keseluruhan, kelebihan likuiditas yang signifikan bersama dengan neraca yang negatif dapat menghambat efektivitas transmisi kebijakan moneter dalam jangka panjang.

Hal ini menjadi semakin jelas dalam situasi ketegangan pasar global dalam setahun terakhir. Kepemilikan yang signifikan atas SBN mendorong Bank Indonesia untuk lebih agresif menggunakan SRBI sebagai alat utama untuk menarik modal asing, dengan menawarkan tingkat bunga yang jauh lebih tinggi daripada tingkat bunga BI, dalam upaya untuk mendukung nilai tukar rupiah. Pada lelang SRBI yang dilakukan pada 15 Mei sebelumnya, SRBI dengan jangka waktu 12 bulan ditawarkan dengan tingkat bunga 7,52 persen, yang jauh melebihi tingkat bunga BI sebesar 6,25 persen.

Bunga tinggi SRBI di tengah kepemilikan SBN yang sudah begitu besar, bukan tanpa biaya. Beban operasional BI pada 2022 sudah melonjak mencapai Rp23 triliun dibandingkan Rp4,4 triliun pada 2020, efek skema burden sharing. Ditambah rilis SRBI dengan bunga yang tinggi akan membengkakkan biaya moneter dan memicu defisit anggaran tahun ini hingga Rp29,3 triliun, dari proyeksi surplus neraca 2023 sebesar Rp27,2 triliun.

Defisit neraca bank sentral bisa menurunkan kredibilitas BI sebagai otoritas moneter dan dalam skenario terburuk yaitu ketika rasio modal terhadap kewajiban moneter terus mengecil hingga di bawah 3 persen, negara harus turun tangan melalui suntikan modal tambahan ke bank sentral.(*)