Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Ekspor Indonesia Melambat Imbas Bergantung dengan China

Rubrik: Market Hari Ini | Diterbitkan: 23 July 2024 | Penulis: Ayyubi Kholid | Editor: Redaksi
Ekspor Indonesia Melambat Imbas Bergantung dengan China

KABARBURSA.COM - Center of Reform on Economics (Core) Indonesia menyatakan ekspor Indonesia mengalami perlambatan karena terlalu bergantung pada pasar ekspor Tiongkok. Hal ini telah menyebabkan perlambatan ekonomi di Indonesia karena kurangnya diversifikasi pasar ekspor.

Direktur Eksekutif Core Indonesia, Mohammad Faisal mengungkapkan, pada 2024 sekitar 22,5 persen dari total ekspor Indonesia terpangkas ke China. Persentase ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan porsi ekspor dari negara-negara lain ke China, yang umumnya berada dalam kisaran 10-12 persen.

“Ketika ketergantungan ekspor sangat tinggi dan pada saat yang sama negara tujuan ekspor yaitu China mengalami pelemahan  permintaan maka akan berpengaruh ke kinerja ekspor. Itu sebabnya makanya ekspor berjalan lambat,” ucap dia dalam acara Midyear Review Core Indonesia 2024 pada Selasa, 23 Juli 2024.

Faisal menjelaskan bahwa saat ini, permintaan di China mengalami pelemahan karena terjadi kelebihan pasokan barang dari hasil produksi manufaktur di sana. Hal ini telah menyebabkan barang-barang tersebut dialihkan ke berbagai negara termasuk Indonesia, setelah permintaan domestik di China tidak mampu menyerapnya sepenuhnya. Selain itu, pelemahan juga tercermin dari inflasi yang hanya mencapai 0,2 persen pada Juni 2024 di China, yang turut mempengaruhi ekspor Indonesia ke negara tersebut.

Faisal pun menyoroti perbedaan dalam ketergantungan pasar ekspor ke China antara Indonesia dengan Thailand, Malaysia, dan Filipina. Dia menekankan bahwa ketiga negara ini memiliki tingkat ketergantungan yang lebih rendah dibandingkan Indonesia terhadap pasar ekspor China.

"Perbedasan ekspor Indonesia dengan Thailand, Malaysia, dan Filipina yaitu tiga negara ini tingkat ketergantungan pasar ekspor ke China tidak sebesar Indonesia,” kata Faisal.

Dia menjelaskan sebenarnya kondisi ekspor ke negara lain menunjukkan performa yang lebih menggembirakan, terutama dengan pertumbuhan ekspor ke India yang mencatatkan kenaikan sebesar 22 persen. Namun, terdapat kontraksi dalam ekspor ke China sebesar 4,2 persen yang terutama dirasakan oleh sektor komoditas besi dan baja dengan penurunan ekspor mencapai 26,9 persen.

Sementara itu, impor dari China mengalami peningkatan signifikan sejak awal 2024, khususnya dalam sektor tekstil dan produk tekstil yang mengalami lonjakan impor sebesar 35,5 persen pada kuartal II-2024. Meskipun ekspor tekstil dan produk tekstil ke China hanya mencatatkan pangsa pasar 2,6 persen, impor dari China untuk sektor ini mencapai 41  persen.

“Ini kelihatan impor tekstil dan produk tekstil sebesar 35,5 persen pada kuartal II-2024. Padahal ekspor tekstil dan produk tekstil ke China hanya 2,6 persen. Pangsa pasar impor dari China adalah 41 persen untuk tekstil dan produk tekstil,” kata Faisal.

Dengan demikian, dinamika ini menunjukkan tantangan signifikan bagi Indonesia dalam mempertahankan keseimbangan perdagangan dengan China. Perlu adanya strategi untuk memperkuat ekspor ke pasar lain serta mengelola impor dengan lebih efektif untuk mengurangi ketergantungan terhadap satu pasar ekspor utama seperti China.

Sebagai catatan, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Juni 2024, tiga negara dengan defisit terdalam adalah Tiongkok (USD693,4 juta), Australia (USD331,1 juta); dan  Thailand (USD327,8 juta).  Defisit terdalam yang dialami dengan Tiongkok didorong oleh komoditas mesin dan  peralatan mekanis serta bagiannya; mesin dan perlengkapan elektrik serta bagiannya; serta plastik dan barang dari plastik.

Secara kumulatif hingga Juni 2024,  surplus neraca perdagangan Indonesia mencapai USD15,45 miliar atau mengalami penurunan USD4,46 miliar dibandingkan periode yang sama pada 2023. Jika dilihat lebih rinci secara kumulatif neraca perdagangan non migas mengalami surplus sebesar USD25,55 miliar atau lebih rendah USD3,16 miliar dibandingkan periode yang sama tahun 2023. Pada saat yang sama defisit neraca perdagangan migas mencapai USD10,11 miliar atau lebih besar USD1,31 miliar dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

PBoC Pangkas Suku Bunga

Bank Sentral China (PBoC) secara mengejutkan memutuskan untuk memangkas suku bunga acuan untuk tenor satu dan lima tahun pada Senin, 22 Juli 2024. Langkah ini diharapkan dapat memberikan dorongan bagi perekonomian China yang saat ini sedang mengalami penurunan.

Pemangkasan suku bunga ini cukup mengejutkan, mengingat PBoC telah menahan suku bunga sejak September 2023. PBoC menurunkan tingkat kebijakan suku bunga pendek utama dan tingkat peminjaman benchmark dalam upaya untuk memperkuat pertumbuhan ekonomi negara kedua terbesar di dunia ini.

Menurut laporan, pemotongan ini dilakukan setelah China melaporkan data ekonomi kuartal kedua yang lebih lemah dari yang diperkirakan. Selain itu, para pemimpin puncak China mengadakan pleno yang berlangsung sekitar lima tahun sekali, mengingat berbagai tantangan yang dihadapi negara tersebut, termasuk hampir menghadapi deflasi, krisis properti yang berkepanjangan, utang yang meningkat pesat, serta sentimen konsumen dan bisnis yang lemah.

PBoC menurunkan tingkat suku bunga jangka pendek dan jangka panjang sebesar 10 basis poin (bps), menjadi 3,35 persen untuk tenor satu tahun dan 3,85 persen untuk tenor lima tahun. Langkah ini diharapkan tidak hanya membantu mengatasi tantangan ekonomi domestik, tetapi juga memberikan dampak positif bagi Indonesia, yang merupakan mitra dagang utama China.

Pemangkasan suku bunga ini bertujuan untuk merangsang pertumbuhan ekonomi dan meredakan ketegangan perdagangan global yang meningkat, di mana pemimpin global semakin waspada terhadap dominasi ekspor China.(yub/*)