KABARBURSA.COM - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengirimkan sinyal suku bunga kredit bank. Kemungkinan itu melihat dari kebijakan moneter global yang disebut masih dalam 'mode ketat', walaupun terdapat ekspektasi penurunan suku bunga acuan global bank sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve (The Fed).
OJK menyatakan bahwa ekspektasi pasar terhadap kondisi suku bunga yang tinggi dalam jangka panjang, atau yang dikenal dengan istilah "higher for longer", telah menurun. Hal ini disebabkan oleh proyeksi Federal Reserve (The Fed) yang hanya memperkirakan satu kali penurunan tingkat dana federal (Fed Fund Rate/FFR) dalam tahun ini.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae, mengungkapkan bahwa ruang bagi penurunan suku bunga kredit bank masih terbatas pada 2024, terutama mengingat nilai tukar yang masih melemah. Menurutnya, jika ada peluang bagi bank untuk menurunkan suku bunga, hal tersebut akan terutama berlaku untuk kredit dengan repricing time yang singkat, seperti kredit modal kerja atau kredit konsumtif jangka pendek.
Dian juga mencatat bahwa sejak Mei 2024 terdapat penurunan suku bunga pada kredit modal kerja dan kredit konsumtif dibandingkan tahun sebelumnya, meskipun dalam magnitudo yang tergolong kecil. Hal ini diharapkan dapat mendorong pertumbuhan kredit rumah tangga dan mempengaruhi positif kemampuan debitur dalam mengelola kredit mereka.
Berdasarkan data OJK, kredit yang disalurkan perbankan mengalami pertumbuhan 12,15 persen secara tahunan per Mei 2024, mencapai total Rp7.311 triliun. Pertumbuhan ini didorong terutama oleh kredit investasi yang meningkat 14,8 persen secara tahunan, serta kredit modal kerja dan kredit konsumsi yang masing-masing tumbuh 11,59 persen dan 10,47 persen pada periode yang sama.
Kondisi suku bunga kredit yang cenderung menurun dipandang memberikan dampak positif bagi peminjam, dengan diharapkan dapat menjaga kualitas kredit secara keseluruhan.
Sayangnya belum diketahui berapa besaran penurunan suku bunga kredit bank ini.
Suku bunga kredit perbankan tercatat mengalami peningkatan meskipun Bank Indonesia mempertahankan suku bunga acuan atau BI Rate di level 6,25 persen. Hal ini terungkap dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) periode 19-20 Juni 2024.
Diketahui, suku bunga kredit perbankan mengalami peningkatan tipis, yaitu 9,26 persen, naik 1 bps dibandingkan bulan sebelumnya yang berada di level 9,25 persen. Secara year to date (ytd), suku bunga kredit juga naik 1 bps dari posisi Desember 2023 di level 9,25 persen.
Menanggapi ini, Chief Economist PT Bank Mandiri (Persero) Tbk Andry Asmoro mengatakan, respon perbankan terhadap kenaikan suku bunga acuan tidak terlalu cepat. Perbankan cenderung menahan bunga kredit, karena persaingan ketat dalam penyaluran kredit seperti di segmen korporasi, wholesale, konsumsi, dan lainnya.
Perbankan sendiri diproyeksikan tidak akan serta merta menaikkan bunga kredit saat BI Rate naik, agar kualitas aset tetap terjaga. Perbankan tetap bertindak hati-hati untuk menghindari kenaikan NPL (nonperforming loan) di kemudian hari.
Hal senada disampaikan Senior Economist Standard Chartered Bank Indonesia Aldian Taloputra. Menurut dia, meski suku bunga acuan masih tinggi, suku bunga kredit perbankan tidak langsung mengalami kenaikan signifikan.
BI mempertahankan suku bunga acuan atau BI Rate. Gubernur BI Perry Warjiyo menjelaskan, Keputusan ini diambil sejalan dengan kebijakan moneter pro-stabilitas serta langka pre-emptive dan forward looking untuk memastikan inflasi tetap terkendali dalam sasaran 2,5 plus minus 1 persen.
Dalam RDG April 2024, BI telah memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) dari 6 persen menjadi 6,25 persen. Kenaikan ini adalah yang pertama kali sejak Oktober 2023. Meski begitu, suku bunga perbankan tetap stabil berkat likuiditas perbankan yang memadai.
Cicilan utang bisa saja berpotensi naik jika suku bunga naik, terutama cicilan utang dengan skema floating rate (mengambang). Biasanya, cicilan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) bank konvensional menggunakan system floating rate ini. Skema tersebut perhitungan bunganya mengikuti suku bunga acuan Bank Indonesia dan kebijakan bank itu sendiri.
Contohnya seperti ini:
Rudi, seorang karyawan bermimpi memiliki rumah sendiri. Setelah bertahun-tahun menabung, akhirnya ia berhasil mengumpulkan uang muka sebesar Rp50 juta untuk rumah impiannya yang seharga Rp350 juta. Sisa Rp300 juta ia putuskan untuk membayar melalui KPR dengan tenor 20 tahun.
Rudi menandatangani kontrak KPR di sebuah bank konvensional. Cicilannya ditetapkan sebesar Rp2,3 juta per bulan dengan bunga 7 persen per tahun. Awalnya, segala sesuatunya berjalan lancar, Rudi dengan disiplin membayar cicilannya setiap bulan.
Namun, keadaan mulai berubah ketika suku bunga acuan BI naik. Kenaikan suku bunga ini mempengaruhi bunga KPR Rudi yang menggunakan skema floating rate. Bunga KPR-nya naik dari 7 persen menjadi 9 persen per tahun. Tak lama kemudian, Rudi menerima kabar dari bank bahwa cicilannya akan naik menjadi Rp2,75 juta per bulan. Ini adalah kenaikan yang signifikan, mencapai 19 persen dari cicilan awalnya.
Rudi merasa khawatir, kenaikan cicilan ini membuat anggarannya menjadi lebih ketat. Namun, di tengah kekhawatiran tersebut, Rudi mendengar kabar baik dari seorang teman. Temannya bercerita bahwa kenaikan suku bunga acuan BI juga bisa membawa peluang investasi yang menguntungkan. Teman Rudi menjelaskan, bahwa imbal hasil dari investasi, seperti Reksa Dana Pasar Uang, bisa meningkat seiring kenaikan suku bunga.
Temannya menjelaskan bahwa Reksa Dana Pasar Uang menempatkan asetnya di instrumen pasar uang seperti deposito dan obligasi dengan jatuh tempo kurang dari setahun. Saat ini, bunga deposito di bank-bank BUMN berkisar 3 persen per tahun untuk tenor 12-24 bulan. Jika suku bunga acuan BI naik, bunga deposito bank juga berpotensi naik secara bertahap. Yield obligasi pemerintah dengan tenor di bawah satu tahun berada di kisaran 5,3 persen hingga 6,1 persen (asumsi per 8 Maret 2023).
Rudi mulai melihat sisi positif dari situasi ini. Dengan mempelajari lebih lanjut tentang investasi di Reksa Dana Pasar Uang, ia menyadari bahwa alokasi investasi di deposito dan obligasi tenor pendek atau kurang dari setahun bisa memberikan imbal hasil yang lebih menarik. Ini bisa menjadi solusi untuk menambah pendapatan dan membantu mengatasi kenaikan cicilan KPR-nya.
Dengan semangat baru, Rudi memutuskan untuk mulai berinvestasi. Ia yakin bahwa dengan perencanaan keuangan yang baik, ia bisa mengelola cicilan KPR yang naik dan tetap menabung untuk masa depan. Kisah Rudi menjadi contoh nyata bagaimana di balik tantangan, selalu ada peluang yang bisa dimanfaatkan dengan bijak.(*)