Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Harga Batu Bara Naik, Indonesia Terjebak Ketergantungan

Rubrik: Market Hari Ini | Diterbitkan: 04 July 2024 | Penulis: Ayyubi Kholid | Editor: Redaksi
Harga Batu Bara Naik, Indonesia Terjebak Ketergantungan

KABARBURSA.COM - Ketergantungan sejumlah negara seperti Indonesia dan Filipina terhadap batu bara mengakibatkan kenaikan harga namun masih fluktuatif. Sepekan terakhir, harga naik 1,5 persen, yang tercatat pada Rabu, 3 Juli 2024, sedangkan sebulan terakhir, harga si batu hitam dalam tren penurunan sebesar 3,4 persen.

Di pasar ICE Newcastle, Rabu, 3 Juli 2024, harga batu bara untuk kontrak pengiriman bulan ini mencapai USD135 per ton. Angka ini naik 2,08 persen. Hasilnya, harga ini menjadi yang tertinggi sejak 19 Juni atau dalam dua pekan terakhir.

Data lembaga riset Ember Climate mengungkapkan, di Filipina, porsi batu bara dalam pembangkitan listrik tenaga uap (PLTU) mencapai 61,92 persen pada 2023, naik dari 59,07 persen pada 2022, tertinggi sejak 2016. Meski Filipina menargetkan penurunan porsi batu bara menjadi kurang dari 50 persen pada 2030, jalannya masih panjang.

Indonesia juga menunjukkan ketergantungan serupa. Pangsa listrik yang dihasilkan dari batu bara mencapai rekor tertinggi baru sebesar 61,8 persen, melampaui Polandia pada 2023, setelah melampaui China pada 2022. China dan Polandia secara historis memiliki ketergantungan tinggi pada batu bara.

"Indonesia dan Filipina adalah dua negara yang paling bergantung pada batu bara di Asia Tenggara, dan ketergantungan ini tumbuh dengan cepat," ungkap laporan Ember pada Kamis, 4 Juli 2024.

Indonesia kini menjadi negara dengan pembangkit listrik berbasis batu bara terbesar kelima di dunia, mengalahkan Korea Selatan untuk pertama kalinya. Dalam delapan tahun, Indonesia naik dari posisi ke-11 pada 2015 ke posisi ke-5, melampaui Australia pada 2018, Jerman pada 2019, Rusia pada 2020, dan Afrika Selatan pada 2022.

Pertumbuhan lambat energi terbarukan membuat Indonesia masih mengandalkan batu bara untuk memenuhi permintaan listrik. Pada 2023, 67 persen peningkatan permintaan listrik dipenuhi dengan batu bara. Permintaan meningkat sebesar 17,1 TWh (5,1 persen) dibandingkan 2022, sementara tenaga batu bara meningkat sebesar 11,5 TWh (5,6 persen).

Sisanya, sebanyak 31 persen permintaan dipenuhi dengan gas. Tenaga surya dan angin hanya berkontribusi sebesar 2,3 persen, sementara pembangkitan tenaga air turun 10 persen dibandingkan 2022. Penurunan ini diimbangi dengan peningkatan 9 persen dalam pembangkitan bioenergi.

"Sejak Indonesia memulai pembangkitan tenaga angin dan surya pertama pada 2013, pertumbuhannya lambat. Pada 2023, pembangkitan tenaga angin dan surya mencapai 1,2 TWh, menambah 0,4 TWh daya bersih ke jaringan listrik. Secara keseluruhan, pembangkitan tenaga bersih turun 0,3 persen pada 2023," tambah Ember.

Kontras dengan Indonesia, China dan Polandia telah mengurangi porsi batu bara dalam pembangkitan listrik mereka dengan pertumbuhan tenaga angin dan surya yang kuat.

Di China, tenaga angin dan surya memenuhi 46 persen dari kenaikan permintaan listrik sebesar 6,9 persen. Di Polandia, permintaan listrik turun 2,8 persen (5 TWh), sementara pembangkitan tenaga angin dan surya tumbuh 26 persen (7,3 TWh), mengurangi pembangkitan tenaga batu bara sebesar 17 persen (22 TWh).

Emisi Gas Metana RI

Lebih lanjut, Ember Climate menyebut angka emisi gas metana tambang batu bara (coal mine methane) di Indonesia tidak dilaporkan dengan akurat.

Dalam hitungannya, tambang batu bara menghasilkan gas metana hingga delapan kali lebih besar dibandingkan estimasi resmi pemerintah. Perbedaan data ini mengancam tujuan Global Methane Pledge, yang juga ditandatangani Indonesia. Dalam perjanjian tersebut, sebanyak 111 negara sepakat mengurangi gas metana global sebanyak 30 persen pada 2030.

Berdasarkan data Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC), metana merupakan gas rumah kaca (GRK) yang memberikan dampak pemanasan global 30 kali lipat lebih kuat dibandingkan karbon dioksida dalam kurun waktu 100 tahun. Namun, Indonesia masih belum merujuk pada data tersebut dan dampak metana masih dianggap kurang substansial, sebagaimana disampaikan dalam laporan dua tahunan Indonesia ke UNFCCC (biennial update report).

Emisi gas metana dari tambang batu bara di Indonesia mencapai enam hingga tujuh kali lebih besar dibandingkan estimasi resmi, berdasarkan studi independen yang menggunakan data satelit dan tambang. Sedangkan, estimasi EMBER Climate menunjukkan bahwa tingkat emisi tersebut bahkan mencapai delapan kali lebih besar.

Indonesia sebagai salah satu negara yang menandatangani perjanjian metana global (Global Methane Pledge), perbedaan estimasi ini berisiko mengancam tujuan perjanjian tersebut, yaitu mengurangi emisi metana global sebanyak 30 persen pada tahun 2030.

Kredibilitas Indonesia Dipertanyakan

Dody Setiawan, Analis Senior Iklim dan Energi Indonesia, Ember Climate, mengatakan penggunaan metode estimasi yang lama berisiko menutupi besaran masalah gas metana tambang batu bara yang sebenarnya di Indonesia. Karena Indonesia sudah berkomitmen untuk turut mengurangi gas metana secara global, kredibilitas Indonesia di kancah internasional akan dipertanyakan.

Langkah pertama yang harus dilakukan adalah mengakui keberadaan permasalahan ini dan memperbarui metode estimasi gas metana tambang batu bara Indonesia dalam laporan transparansi dua tahunan (BTR) ke UNFCCC mendatang. Hal ini akan membantu dalam merumuskan strategi mitigasi emisi metana dengan efektif, terang Dody.

Laporan Ember Climate juga menunjukan bahwa estimasi gas metana tambang batu bara terbuka (surface mine) akan meningkat hingga empat kali lipat jika menggunakan faktor emisi yang telah diperbaiki, yakni nilai pengali untuk mengestimasi emisi gas metana per ton produksi batu bara yang lebih akurat sesuai rekomendasi IPCC.

Selain itu, laporan iklim Indonesia terkini juga tidak memperhitungkan emisi dari berbagai aktivitas tambang bawah tanah (underground mine) yang dilakukan oleh 15 perusahaan batu bara. Dengan laju peningkatan emisi gas metana tambang batu bara terbuka yang mencapai 12 persen per tahun sejak 2000, tambahan emisi dari tambang bawah tanah akan memperbesar total emisi tersebut.

Sebagai contoh, proyek tambang batu bara bawah tanah oleh Qinfa akan menambah sekitar 332 kiloton metana (ktCH4) ke dalam atmosfer. Jika ditotal dengan angka resmi yang dilaporkan pada tahun 2019 (128 ktCH4), total emisi metana akan meningkat sebanyak tiga kali lipat.

Saat dikonversi menjadi ekuivalen karbon dioksida, gabungan emisi gas metana dari tambang batu bara terbuka dan bawah tanah akan melebihi seluruh emisi kebakaran hutan dan lahan di Indonesia selama tahun 2022.

Oleh karena itu, Indonesia memiliki kesempatan untuk memperbaiki pengelolaan emisi gas metana tambang batu bara sesuai kerangka Global Methane Pledge. Dengan mengatasi masalah pelaporan yang tidak tepat, Indonesia dapat lebih memahami tantangan yang dihadapi terkait emisi gas metana. Hal ini akan memungkinkan Indonesia untuk menerapkan upaya mitigasi yang efektif, meningkatkan keselamatan pekerja tambang, dan mendukung pengembang proyek. (*)