Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Profesi Petani tak Diminati Warga Semarang, Solusinya?

Rubrik: Market Hari Ini | Diterbitkan: 02 July 2024 | Penulis: KabarBursa.com | Editor: Redaksi
Profesi Petani tak Diminati Warga Semarang, Solusinya?

KABARBURSA.COM - Sektor pertanian di Kabupaten Semarang mulai ditinggalkan karena semakin langkanya warga yang berminat berprofesi sebagai petani.

Bupati Semarang, Ngesti Nugraha, menegaskan pentingnya melakukan mekanisasi pertanian untuk mencegah hilangnya sektor ini.

“Lebih dari 70 persen petani kita berusia 40 tahun ke atas. Sulit mengajak generasi muda untuk bergabung dalam bertani. Mekanisasi pertanian harus segera dikembangkan,” kata Ngesti Nugraha, Selasa, 2 Juli 2024.

Salah satu contoh dampak dari masalah ini adalah lahan pertanian seluas 14 hektar di Bergas Kidul yang terbengkalai karena tidak ada tenaga penggarap.

Masalah serupa juga terjadi di wilayah Pabelan, yang semakin memperkuat perlunya menerapkan strategi pertanian modern.

Untuk mengatasi tantangan ini, pada tahun ini Pemerintah Kabupaten Semarang menganggarkan dana Rp2 miliar dari APBD untuk membeli empat paket alat mesin pertanian (alsintan) terpadu.

Paket alsintan tersebut mencakup mesin tanam padi, mesin pembersih gulma, penyemprot pupuk, dan mesin pemanen. Alsintan ini akan didistribusikan kepada petani di Kecamatan Bawen, Ambarawa, Tuntang, dan Banyubiru. Di tahun mendatang, rencananya akan dibeli paket serupa untuk tujuh kecamatan lainnya.

Moh Edy Sukarno, Kepala Dinas Pertanian, Ketahanan Pangan, dan Perikanan (Dispertanikap) Kabupaten Semarang, menginformasikan bahwa mereka menerima bantuan 31 traktor dari Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian Kementerian Pertanian RI. Bantuan ini bertujuan untuk mendukung program strategis Kementan dalam meningkatkan produksi padi melalui perluasan areal tanam.

Ambar Suryaningsih, Kepala Bidang Pertanian Dispertanikap Kabupaten Semarang, menambahkan bahwa bantuan traktor tersebut diharapkan dapat mendukung target perluasan areal tanam padi seluas 3.656 hektare, dengan harapan dapat meningkatkan produksi sebanyak 24.805 ton gabah kering panen (GKP).

Salah satu petani penerima bantuan, Sutriyanto (55 tahun), menyambut baik bantuan traktor tersebut. Dia sebagai anggota kelompok tani Manunggal 2 Dusun Lendoh, Desa Bedono, Jambu, yakin bahwa dengan adanya traktor tersebut, pengolahan lahan akan menjadi lebih efisien. "Lahan sawah kami sekitar 15 hektar. Dengan adanya traktor ini, kami dapat menambah lahan garapan hingga sekitar satu hektar," ungkapnya dengan antusias.

Alasan Gen Z tak Berminat jadi Petani

Sektor pertanian tidak lagi menarik minat generasi muda, termasuk generasi Z (Gen Z), sehingga banyak yang enggan menjadi petani.

Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas), Arief Prasetyo Adi, memberikan tanggapannya terhadap situasi ini.

Dia berdasarkan hasil Sensus Pertanian yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2023, jumlah petani milenial (usia 19-39 tahun) hanya sekitar 6,1 juta orang, yang merupakan 21,39 persen dari total petani keseluruhan sebanyak 28,19 juta orang.

Arief mengamati bahwa banyak milenial yang enggan menjadi petani karena melihat bahwa profesi ini tidak menghasilkan uang yang memadai. Bahkan, seringkali petani mengalami kerugian daripada keuntungan yang diharapkan.

“Dalam benak milenial dan Gen Z, mengapa harus menjadi petani? Mereka merasa tidak mendapatkan penghasilan yang cukup stabil. Mereka bekerja keras, menghabiskan waktu dan tenaga, namun hasilnya seringkali tidak memuaskan,” kata Arief saat berbicara dalam Seminar Nasional bertajuk ‘Strategi Mewujudkan Swasembada Pangan Menuju Indonesia Emas 2045’, yang diselenggarakan di Gedung DPR RI, Kompleks Perlamen, Jakarta Pusat, 25 Juni 2024.

Arief juga membandingkan pendapatan dari pekerjaan di sektor modern yang umumnya memiliki gaji minimum sekitar Rp4 juta per bulan. Menurutnya, menjadi petani dalam jangka waktu yang lama tidak menjamin seseorang akan memperoleh kekayaan yang signifikan.

“Di era ini, menjadi petani tidak lagi dianggap sebagai profesi yang memberikan keuntungan finansial yang besar. Bandingkan dengan pekerjaan di sektor modern, di mana penghasilan lebih menjanjikan,” ujarnya.

Oleh karena itu, Arief menekankan, perlunya perubahan paradigma. Menurutnya, skema yang diterapkan dalam sektor pertanian saat ini belum mampu meningkatkan produktivitas secara signifikan.

Dia memandang perlu adanya upaya untuk meningkatkan produktivitas pertanian, namun tetap menjaga agar harga produk-produk pertanian tidak terlalu tinggi agar dapat bersaing dengan produk luar negeri.

“Kita harus berani berubah. Skema yang ada sekarang belum mampu menciptakan lonjakan produktivitas yang diharapkan. Kita perlu terus mengembangkan inovasi, namun tetap menjaga agar harga produk-produk pertanian tetap terjangkau agar dapat bersaing di pasar global,” pungkas Arief.

Pemerintah tak Fokus Urusi Pertanian?

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), produksi gula dalam negeri pada tahun 2021 mencapai 2,35 juta ton. Dengan rincian, 1,06 juta ton gula yang diproduksi pabrik BUMN dan 1,29 juta ton yang diproduksi pabrik swasta.

Sementara pada tahun 2022, kebutuhan gula mencapai sekitar 6,48 juta ton. Dengan rincian, 3,21 juta ton gula krital putih (GKP) dan 3,27 juta ton gula kristal rafinasi (GKR). Dan, di tahun 2024, konsumsi gula nasional diprediksi menyentuh angka 7,3 juta ton yang terdiri dari kebutuhan gula konsumsi 3,2 juta ton dan kebutuhan  gula industri sebesar 4,1 juta ton.

Menyiasati kebutuhan gula dalam negeri, Kementerian Pertanian (Kementan) mencanangkan program percepatan swasembada gula yang dilakukan sejak tahun 2020 untuk tahun 2024.

Menapaki tahun 2024, Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), Soemitro Samadikoen menilai, swasembada akan berat dicapai lantaran pemerintah kurang fokus dalam menangani persoalan di sektor pertanian, khususnya pada komoditas tebu dalam negeri sebagai bahan pokok produksi gula.

“Tebu sendiri ini, dari dulu itu cara nanganinnya enggak fokus,” kata Soemitro saat dihubungi Kabar Bursa, Senin, 17 Juni 2024.

Pasalnya, dari segi pembiayaan perbankan, tutur Soemitro, para petani tebu sendiri mengalami kesulitan dalam akses kredit usaha rakyat (KUR) di perbankan. Belum lagi bunga kredit yang dipatok terlalu tinggi dan kuota pinjaman yang terbatas.

Soemitro menuturkan, bunga kredit yang dipatok perbankan kepada petani bisa mencapai 3 hingga 4 persen per bulan dengan batas pengajuan sebesar Rp500 juta. Dia mengaku sempat memprotes kebijakan tersebut, dengan harapan pemerintah mencabut kuota KUR bagi petani.

Meski protesnya diijabah melalui Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 2 Tahun 2022 tentang Perlakuan Khusus Bagi Penerima Kredit Usaha Rakyat (KUR) terdampak COVID-19, tutur Soemitra, regulasi tersebut kembali dicabut pada tahun 2023.

“Bahkan lebih kejam, petani yang pernah mendapatkan pinjaman untuk usaha yang sama, nasabah yang pernah mendapatkan pinjaman yang untuk objek yang sama, walaupun sudah lunas, tidak diberi KUR yang 3 persen. Walaupun sudah lunas,” ungkapnya.

Di sisi lain, para petani mengaku berat untuk menanggung biaya produksi sendiri. Jika biaya pokok produksi petani tebu Rp50 juta sampai dengan Rp60 juta dengan jumlah produksi gula 4 ton, tutur Soemitro, biaya produksi gula Rp15.000 per kg. Besarnya biaya produksi ini yang membuat harga gula lokal melonjak.

“Kalau disuruh jual Rp12.500 per kg ya rugi,” ungkapnya. (bay/*)