KABARBURSA.COM – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengungkap, penerapan cukai bagi Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK) akan berdampak pada sektor Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM).
Adapun penetapan cukai MBDK telah dimasukkan ke dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2024. Keputusan tersebut tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 76 Tahun 2023 tentang Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2024 akhir tahun 2023 lalu.
Direktur Jenderal Industri Agro Kemenperin Putu Juli Ardika, menuturkan penetapan MBDK dengan rata-rata elastisitas sebesar -1,09 akan mengerek naik rata-rata harga MBDK sebesar 1 persen dan diiringi dengan penurunan permintaan produk hingga 1,09 persen.
Dampak pengenaan cukai MBDK, kata Putu, akan memukul sektor UMKM di bidang tersebut. Sementara industri MBDK besar, lanjut dia, memerlukan adaptasi seandainya kebijakan itu resmi diterapkan.
“Untuk elastisitas harga, kalau kita menaikan atau mengenakan (cukai) makanan atau minuman bermanis dalam kemasanan ini. Jadi dampak ke industrusinya, terutama UMKM dan usaha kecil menengah berdampak,” kata Putu dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi IX DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin, 1 Juli 2024.
Dalam materi paparannya, Putu menyebut kelompok rumah yang tinggal di wilayah perdesaan secara otomatis akan mengurangi jumlah konsumsi produk MBDK dengan nilai elastisitas -1,10 dibandingkan kelompok rumah tangga di wilayah perkotaan dengan nilai elastisitas -1,07.
Putu menyebut, pengenakan cukai MBDK sebesar Rp1.771 per liter akan berpotensi menaikan harga produk hingga 15 persen. Di sisi lain, sekitar 70 persen konsumen produk MBDK masuk dalam golongan kelas menengah ke bawah yang sensitif terhadap kenaikan harga.
Kemenperin juga mencatat, 70 persen penjualan MBDK dilakukan melalui traditional channel atau pedagang kecil dan warung-warung kelontong. Produk MDBK juga berkontribusi dalam keuntungan mereka hingga 40 persen.
Karenanya, Kemenperin menilai penerapan cukai pada produk MBDK tidak hanya berpotensi menaikkan harga, melainkan juga berpotensi meningkatkan angka kemiskinan dalam negeri.
Pengenaan cukai MBDK juga dinilai pertolak belakang dengan semangat peningkatan investasi. “Pengenaan cukai ini akan membuat investor dan calon investor untuk memilih tidak berinvestasi di Indonesia,” jalasnya.
Di ASEAN sendiri, tercatat beberapa negara yang telah menetapkan cukai pada produk MBDK dengan rata-rata sebesar Rp1.771 per liter. Adapun secara rinci diantaranya, Brunei sebesar Rp4.538, Malaysia Rp1.312, Thailand Rp1.630, Filipina Rp1.648, Kamboja Rp1.250, dan Laos Rp247.
Putu menuturkan, cukai MBDK yang pertama kali dikenakan pada tahun 2014 di Meksiko terbukti kurang ampuh dalam menuruni angka obesitas. Dia mengungkap, penderita obesitas di Meksiko terus bertambah sejak tahun 2017.
Begitu juga di Inggris, tingkat obesitas masyarakat terus meningkat sejak 2017 dengan rincian gender Perempuan sebesar 30 persen dan pria 27, 4 persen. Padahal, kebijakan cukai MBDK telah diberlakukan sejak tahun 2016.
Sementara di Australia, tingkat konsumsi produk MBDK berangsur menurun selama beberapa tahun, kendati tingkat prevalensi obesitasnya tetap mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
“Kami juga sampaikan, bahwa ada beberapa pengalaman yang melaksanakan cukai ini. Ini kayak seperti Meksiko ini, kalau kita lihat masih obesity rate-nya ini masih juga meningkat. Demikian juga yang dilaksakana di Inggris maupun di Australia,” pungkasnya.
Sementara itu, menurut data yang dirilis Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), pada 2022 tercatat sebanyak 2,5 miliar orang dewasa berusia 18 tahun ke atas mengalami kelebihan berat badan, termasuk lebih dari 890 juta orang dewasa yang mengalami obesitas.
Hal ini setara dengan 43 persen orang dewasa berusia 18 tahun ke atas (43 persen pria dan 44 persen wanita) yang mengalami kelebihan berat badan; peningkatan dari tahun 1990, saat 25 persen orang dewasa berusia 18 tahun ke atas mengalami kelebihan berat badan.
Prevalensi kelebihan berat badan bervariasi menurut wilayah, di wilayah Asia Tenggara asendiri tercatat sebenayak 31 persen, di wilayah Afrika dan Amerika hingga 67 persen. Adapun sekitar 16 persen orang dewasa berusia 18 tahun ke atas di seluruh dunia mengalami obesitas pada tahun 2022. Prevalensi obesitas di seluruh dunia meningkat lebih dari dua kali lipat antara tahun 1990 dan 2022.
Jadi, penerapan cukai MBDK sebenarnya baik dilakukan sebagai salah satu upaya mengurangi risiko diabetes masyarakat Indonesia yang sudah sangat tinggi. Hanya saja, cukai tersebut cukup berpengaruh pada UMKM yang memproduksi makanan berpemanis.
Para UMKM bisa terpukul, karena perlu waktu yang cukup panjang untuk beradaptasi dengan aturan baru ini. Sayangnya, jika tidak diterapkan maka risiko diabetes tidak terelakkan.(ndi/*)