KABARBURSA.COM - PT Cita Mineral Investondo (CITA) mengalami penurunan kinerja yang signifikan sepanjang tahun 2023. Penurunan ini disebabkan oleh larangan ekspor bauksit yang mulai efektif pada 10 Juni 2023, mengakibatkan penurunan penjualan yang drastis. Ekspor terakhir perusahaan terjadi pada bulan Februari, meninggalkan dampak besar pada performa keuangan mereka.
"Penjualan bersih anjlok dari Rp3,29 triliun menjadi Rp2,40 triliun akibat larangan ekspor tersebut. Pasar domestik belum mampu menyerap kapasitas yang sebelumnya dialokasikan untuk ekspor," jelas Direktur CITA Yusak Lumba Pardede, dalam paparan publik daring yang digelar di Jakarta pada Jumat 28 Juni 2024 lalu.
Penurunan penjualan ini berdampak langsung pada laba bruto perusahaan, yang mengalami penurunan sebesar 49,94 persen. Laba bruto turun dari Rp2,33 triliun pada tahun 2022 menjadi Rp 1,17 triliun pada tahun 2023. Laba bersih CITA juga mengalami penurunan 24,40 persen, dari Rp950,5 miliar pada tahun 2022 menjadi Rp718,6 miliar pada tahun 2023.
Mengenai target pendapatan dan laba tahun 2024, Yusak menyatakan belum bisa memberikan angka pasti. "Target pendapatan tahun 2024 masih akan fluktuatif. Kami lebih fokus pada target volume sesuai dengan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB)," jelasnya.
Target volume produksi bauksit yang dibidik perusahaan untuk tahun ini adalah 4,8 juta ton per tahun, dengan target volume penjualan sebesar 4,4 juta ton per tahun. Terkait harga jual bauksit, Yusak optimis masih ada kemungkinan pertumbuhan di sisa tahun ini.
Untuk mencapai target volume produksi dan penjualan tahun ini, perusahaan telah mencanangkan beberapa strategi. Pertama, menjaga optimalisasi produksi MGB sesuai dengan kapasitas entitas asosiasi Well Harvest Winning (WHW). Kedua, mempertahankan efisiensi operasional tambang sesuai dengan perkembangan regulasi. Ketiga, terus melakukan upaya peningkatan nilai tambah produk MGB dan SGA melalui investasi.
Dengan strategi-strategi ini, CITA berharap dapat mengatasi tantangan yang dihadapi akibat larangan ekspor dan mengoptimalkan kinerja perusahaan di tahun mendatang.
CITA adalah perusahaan yang fokus pada penambangan bauksit serta pengolahan dan pemurnian alumina, senyawa yang mengandung aluminium. Berdiri sejak tahun 1992 dengan nama PT Cipta Main Panel, perusahaan ini melakukan penawaran umum perdana (IPO) pada bulan Maret 2002.
Langkah signifikan dilakukan pada tahun 2005 ketika CITA memasuki industri pertambangan bauksit melalui investasi di PT Harita Prima Abadi Mineral.
Pada tahun 2007, perusahaan mengubah namanya menjadi PT Cita Mineral Investindo Tbk untuk mencerminkan fokusnya yang lebih luas dalam industri pertambangan dan pengolahan mineral. CITA terus memperluas operasinya dengan mengembangkan produksi Smelter Grade Alumina (SGA) melalui entitas asosiasi utamanya, PT Well Harvest Winning Alumina Refinery.
Selama bertahun-tahun, CITA telah menginvestasikan secara agresif dalam fasilitas produksi untuk meningkatkan kapasitas produksinya, menegaskan posisinya sebagai pemain utama dalam industri alumina di Indonesia.
Stagnansi Bauksit
Asosiasi Pengusaha Bauksit dan Bijih Besi Indonesia (APB3I) mengungkap secara terbuka tentang stagnasi dalam pengembangan industri hilirisasi atau smelter bauksit di dalam negeri, meskipun larangan ekspor bauksit telah diberlakukan sejak Juni 2023. Kewajiban untuk melakukan hilirisasi bauksit tercantum dalam Undang-undang No. 3 tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
Menurut Plh. Ketua Umum APB3I, Ronald Sulistyanto, proyek pembangunan 8 smelter bauksit di Indonesia masih terbengkalai karena kendala pendanaan yang signifikan. Dia menjelaskan bahwa untuk membangun satu unit smelter bauksit saja, diperlukan investasi hingga USD 1,2 miliar atau sekitar Rp 18,8 triliun (dengan asumsi kurs Rp15.670 per USD).
"Sudah saya tekankan berkali-kali, persoalannya murni finansial. Mengapa? Karena biayanya sangat besar. Untuk kapasitas 2 juta ton, biayanya mencapai sekitar USD1,2 miliar. Ini bukanlah perkara yang mudah," tegasnya.
Ronald Sulistyanto juga menambahkan bahwa tantangan utama bukan hanya terletak pada aspek finansial semata, tetapi juga dalam hal regulasi, infrastruktur pendukung, dan kepastian investasi jangka panjang. Meskipun demikian, APB3I tetap berkomitmen untuk bekerja sama dengan pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya guna mempercepat pembangunan smelter bauksit di Tanah Air.
"Diperlukan kerjasama yang solid antara sektor swasta dan pemerintah untuk mengatasi hambatan-hambatan ini. Kami optimis bahwa dengan langkah-langkah yang tepat, Indonesia dapat mengoptimalkan potensi bauksit secara maksimal untuk mendukung industri dalam negeri," tambahnya.
APB3I juga menyoroti pentingnya keberlanjutan dalam pengembangan smelter bauksit, dengan memperhatikan aspek lingkungan dan sosial dalam setiap tahap pembangunan. Dengan demikian, diharapkan Indonesia dapat mencapai kemandirian dalam pengolahan dan pemanfaatan sumber daya alamnya secara berkelanjutan dan berdaya saing global. (*)