KABARBURSA.COM - Pengamat ekonomi energi dari ReforMiner Institute, Dr. Komaidi Notonegoro, menilai bahwa penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM) menjadi opsi logis di tengah keterbatasan fiskal serta dampak pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
"Kebijakan harga yang kurang proporsional dan terbatasnya anggaran subsidi berpotensi menimbulkan risiko ekonomi dan sosial yang besar akibat terganggunya keberlanjutan pasokan BBM di dalam negeri," ujar Komaidi dalam kajian Reforminer Institute di Jakarta, Jumat 28 Juni 2024.
Komaidi menjelaskan, pelemahan nilai tukar rupiah telah mempengaruhi keseimbangan fiskal karena berdampak pada pendapatan dan belanja di APBN. Selain itu, pelemahan rupiah memberikan dampak langsung terhadap harga energi di Indonesia.
Pelemahan nilai tukar rupiah berpotensi memberikan dampak negatif terhadap kondisi fiskal Indonesia. Untuk APBN 2024, setiap pelemahan rupiah sebesar Rp100 per dolar AS berpotensi meningkatkan pendapatan negara sekitar Rp4 triliun. Namun, pelemahan tersebut juga meningkatkan belanja negara sekitar Rp10,2 triliun. Dengan demikian, setiap pelemahan rupiah sebesar Rp100 per dolar AS berpotensi meningkatkan defisit APBN sekitar Rp6,2 triliun.
Selain pelemahan rupiah, peningkatan harga minyak (ICP) juga memberikan dampak negatif terhadap kondisi fiskal Indonesia. Setiap kenaikan harga minyak sebesar 1 dolar AS per barel berpotensi meningkatkan pendapatan negara sekitar Rp3,6 triliun. Namun, peningkatan ini juga meningkatkan belanja negara sekitar Rp10,1 triliun. Artinya, setiap kenaikan harga minyak sebesar 1 dolar AS per barel berpotensi meningkatkan defisit APBN 2024 sekitar Rp6,5 triliun.
Komaidi juga mengungkapkan bahwa pelemahan rupiah dan peningkatan harga minyak (ICP) berdampak langsung pada meningkatnya biaya pengadaan energi (listrik, BBM, gas) di Indonesia. Peningkatan biaya pengadaan energi dapat disebabkan oleh naiknya harga bahan baku dan selisih kurs rupiah.
Berdasarkan simulasi, ditemukan bahwa setiap peningkatan harga minyak mentah sebesar 1 dolar AS per barel akan meningkatkan biaya pengadaan BBM sekitar Rp150 per liter. Sementara, setiap pelemahan rupiah sebesar Rp100 per dolar AS akan meningkatkan biaya pengadaan BBM sekitar Rp100 per liter.
Mengacu pada hasil simulasi tersebut, pelemahan rupiah memberikan dampak pada meningkatnya biaya pengadaan BBM sekitar Rp705 per liter. Peningkatan biaya pengadaan BBM akan lebih besar jika memperhitungkan realisasi rata-rata ICP, yang tercatat lebih tinggi dibandingkan asumsi APBN 2024.
Meski penyesuaian harga BBM adalah opsi kebijakan yang logis, Komaidi mengingatkan pemerintah untuk mengantisipasi risiko yang mungkin timbul dari kebijakan tersebut. Produk domestik bruto (PDB) Indonesia, baik berdasarkan pendekatan sektoral maupun kelompok pengeluaran, memiliki keterkaitan kuat dengan harga energi.
"Berdasarkan kelompok pengeluaran, sekitar 55 persen PDB Indonesia berasal dari sektor konsumsi yang relatif sensitif terhadap inflasi," ujarnya.
Mencermati permasalahan ini, Komaidi berpendapat bahwa pemerintah menghadapi tantangan yang sulit dalam membuat kebijakan harga BBM.
"Untuk dapat memformulasikan kebijakan fiskal dan harga energi yang optimal demi mengantisipasi dampak negatif yang mungkin timbul dari pelemahan nilai tukar rupiah," tutup Komaidi.
Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menegaskan bahwa pihaknya belum melakukan pembahasan bersama Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terkait kemungkinan kenaikan harga BBM bersubsidi.
Hal tersebut disampaikan langsung oleh Direktur Jenderal Anggaran, Isa Rachmatarwata, dalam Konferensi Pers pada Kamis 27 Juni 2024.
“Sampai saat ini tidak ada pembahasan mengenai kemungkinan kenaikan harga BBM dengan Kementerian ESDM,” tegas Isa.
Kendati begitu, Isa melihat ada faktor pertimbangan yang mempengaruhi harga BBM subsidi, seperti harga minyak mentah atau Indonesian Crude Price (ICP) dan nilai kurs Rupiah. Namun, menurutnya, saat ini ICP masih sesuai dengan proyeksi pemerintah.
“Jadi kita belum terlalu mendapat tekanan dari sisi ICP, tetapi dari sisi kurs kita mulai mendapat tekanan untuk subsidi BBM ini,” katanya.
Isa menambahkan bahwa kondisi tersebut masih tertolong dengan semakin terkendalinya konsumsi BBM bersubsidi di dalam negeri. Dengan begitu, ia memastikan bahwa subsidi energi masih dalam kondisi yang aman.
“Secara keseluruhan kita melihat subsidi masih bisa kita pantau dalam range yang kita siapkan dalam APBN kita. Selain itu, subsidi dalam APBN sudah disepakati oleh DPR dan pemerintah agar bersifat fleksibel menyesuaikan dengan kebutuhan,” imbuh Isa.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan (Kemenkeu), realisasi belanja subsidi energi hingga Mei 2024 mencapai Rp 56,9 triliun. Realisasi subsidi energi ini terdiri dari:
Bahan Bakar Minyak (BBM): Mencapai 5,57 juta kiloliter, turun 1,0 persen dari periode yang sama tahun lalu.
LPG 3 kg: Mencapai 2,7 juta metrik ton, tumbuh 1,9 persen dari periode yang sama tahun lalu.
Subsidi listrik: Mencapai 40,4 juta pelanggan, meningkat 3,1 persen dari periode yang sama tahun lalu.