KABARBURSA.COM - Indonesia mendorong penguatan ekonomi digital di kawasan Asia Tenggara, terutama di negara-negara anggota ASEAN (Association of Southeast Asian Nations/Asosiasi Negara Asia Tenggara) untuk meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat.
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno mengatakan digital ekonomi perlu ditingkatkan guna menumbuhkan ekonomi masyarakat di kawasan Asia Tenggara.
"Saya melihat ekonomi digital ini perlu ditingkatkan, terutama dalam hal konektivitas digital. Karena dengan peningkatkan konektivitas ini mampu memicu pertumbuhan ekonomi, inovasi, dan jiwa wirausaha di warga negara anggota ASEAN," ujarnya dikutip, Jumat, 28 Juni 2024.
Sandiaga menuturkan, pemanfaatan pengembangan ekonomi digital secara optimal ini diyakini mampu membuka peluang usaha dan lapangan kerja baru di kawasan Asia Tenggara, terutama di sektor teknologi dan e-commerce.
"Konektivitas digital yang kuat ini juga perlu didukung dengan harmonisasi kebijakan dan regulasi antar negara-negara ASEAN," tutur Sandiaga.
Dia mengungkapkan, dukungan ini telah diberikan oleh ASEAN dengan mengeluarkan DEFA (Digital Economy Framework Agreement). Persetujuan dicetuskan sebagai dasar regulasi untuk memperkuat perdagangan digital, regulasi e-commerce lintas batas, dan aliran data lintas batas yang tujuannya untuk memperkuat perkembangan ekonomi digital di Asia Tenggara.
Mantan wakil Gubernur Jakarta itu pun yakin, regulasi ini bisa membantu memperkuat pengembangan ekonomi digital di kawasan Asia Tenggara serta menciptakan lingkungan ekonomi digital yang inklusif.
"Selain itu, kita juga perlu mendorong penguatan ekonomi digital dengan menyediakan program-program pelatihan, inkubasi, dan penyiapan akses pendanaan bagi pelaku ekonomi digital," pungkas dia.
Beberapa waktu lalu diberitakan, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat bahwa pendapatan pajak yang diperoleh dari sektor ekonomi digital telah mencapai jumlah sekitar Rp24,12 triliun pada periode hingga 30 April 2024.
Jumlah tersebut terdiri dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang dikenakan pada Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) sebesar Rp19,5 triliun, pendapatan pajak dari transaksi kripto sejumlah Rp689,84 miliar, pendapatan dari pajak fintech peer to peer (P2P) lending sebesar Rp2,03 triliun, dan pendapatan pajak dari transaksi pengadaan barang dan jasa melalui Sistem Informasi Pengadaan Pemerintah (pajak SIPP) yang mencapai Rp1,91 triliun.
Menurut Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat, Dwi Astuti, jumlah tersebut terdiri dari setoran sebesar Rp731,4 miliar pada tahun 2020, Rp3,90 triliun pada tahun 2021, Rp5,51 triliun pada tahun 2022, Rp6,76 triliun pada tahun 2023, dan Rp2,6 triliun pada tahun ini.
Dwi menuturkan, penerimaan pajak kripto telah terkumpul sebesar Rp689,84 miliar sampai dengan April 2024. Penerimaan tersebut berasal dari Rp246,45 miliar penerimaan tahun 2022, Rp220,83 miliar penerimaan tahun 2023, dan Rp222,56 miliar penerimaan 2024.
Penerimaan pajak kripto tersebut terdiri dari Rp325,11 miliar penerimaan PPh 22 atas transaksi penjualan kripto di exchanger dan Rp364,73 miliar penerimaan PPN DN atas transaksi pembelian kripto di exchanger.
Selanjutnya, pajak fintech (P2P lending) juga telah menyumbang penerimaan pajak sebesar Rp2,02 triliun sampai dengan April 2024. Penerimaan dari pajak fintech berasal dari Rp446,39 miliar penerimaan tahun 2022, Rp1,11 triliun penerimaan tahun 2023, dan Rp470,18 miliar penerimaan tahun 2024.
Pajak fintech tersebut terdiri atas PPh 23 atas bunga pinjaman yang diterima WPDN dan BUT sebesar Rp696,78 miliar, PPh 26 atas bunga pinjaman yang diterima WPLN sebesar Rp244,4 miliar, dan PPN DN atas setoran masa sebesar Rp1,08 triliun.
Lebih lanjut Dwi juga menyebutkan, hingga April 2024, penerimaan dari pajak SIPP sebesar Rp1,91 triliun. Penerimaan dari pajak SIPP tersebut berasal dari Rp402,38 miliar penerimaan tahun 2022, sebesar Rp1,11 triliun penerimaan tahun 2023, dan Rp388,84 miliar penerimaan tahun 2024. Penerimaan pajak SIPP terdiri dari PPh sebesar Rp128,22 miliar dan PPN sebesar Rp1,78 triliun.
“Dalam rangka menciptakan keadilan dan kesetaraan berusaha (level playing field) bagi pelaku usaha baik konvensional maupun digital, pemerintah masih akan terus menunjuk para pelaku usaha PMSE yang melakukan penjualan produk maupun pemberian layanan digital dari luar negeri kepada konsumen di Indonesia,” ujar Dwi.
Dwi menambahkan, pemerintah akan menggali potensi penerimaan pajak usaha ekonomi digital lainnya seperti pajak kripto atas transaksi perdagangan aset kripto, pajak fintech atas bunga pinjaman yang dibayarkan oleh penerima pinjaman, dan pajak SIPP atas transaksi pengadaan barang dan/atau jasa melalui Sistem Informasi Pengadaan Pemerintah.(yog/*)