KABARBURSA.COM - Asosiasi Pengusaha Impor Daging Indonesia (Aspidi) mengeluhkan pelemahan nilai tukar (kurs) rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang berdampak terhadap harga daging di pasaran.
Sekretaris Jenderal Aspidi, Suhandri, menyampaikan harapannya kepada pemerintah agar dapat menguatkan kembali nilai tukar rupiah. Contohnya seperti pemerintah melakukan intervensi langsung.
"Kalau bisa kembalikan lagi di kurs (rupiah) biasanya, kan ada intervensi dari pemerintah," ujar Suhandri, kepada KabarBursa, Rabu, 26 Juni 2024.
Menurut Suhandri, para pedagang daging, khususnya sapi, mengaku terkejut dengan nilai rupiah saat ini yang kian melorot. Padahal, daya beli masyarakat juga tengah melemah.
Ia mengibaratkan para pedagang daging seperti sedang makan buah simalakama, berada dalam situasi sulit dengan pilihan yang sama-sama tidak menyenangkan. Contoh nyatanya adalah, para pedagang bingung, apakah harus menaikkan atau menurunkan harga.
"Kami otomatis agak susah bergerak. Untuk menaikkan (harga) salah, tidak menaikkan juga salah. Nah kalau dinaikkan konsumen takutnya kabur," ungkap dia.
Karena dilema tersebut, Suhandri mengajak berbicara para anggota (member) Aspidi. Ia menyampaikan hasil diskusi sebagai respons masalah ini dengan memilih tidak akan mendatangkan daging lagi sehingga lebih mendahulukan menjual stok yang masih tersedia.
"Saya sempat bicara dengan satu member, kalau untuk beli daging saat ini kayaknya enggak juga. Jadi paling yang dilakukan adalah kami tetap menjual stok yang ada. Karena pelemahan rupiah ini berdampak kepada permintaan konsumen," jelas dia.
Menurut Sekjen Aspidi ini, harga daging otomatis akan naik ketika kurs rupiah terhadap dolar AS makin melemah. Karena, sebagian besar daging, khususnya sapi, merupakan barang impor. Namun, tidak semua barang yang masuk ini telah dibayarkan.
Proses pembayarannya bertahap. Suhandri mengatakan, daging baru akan dibayar di antara satu hingga dua bulan setelah pembelian. Waktu tunggu inilah, tutur dia, yang menyebabkan harga daging di pasaran bisa naik.
"Nah harga daging di pasaran, khususnya sapi, bisa bervariasi karena tergantung jenisnya," ungkap Suhandri.
Berdasarkan pantauan dari panel Badan Pangan Nasional (Bapanas), Rabu 26 Juni 2024, harga daging sapi murni di pedagang eceran senilai Rp136.700 per kilogram.
Harga tertinggi terdapat di Papua Pegunungan dengan harga Rp172.130 per kilogram. Sementara harga terendah ada di Bali yang dibanderol Rp114.910 per kilogram.
Sementara itu, Berdasarkan data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional (PIHPS) oleh Bank Indonesia harga daging sapi kualitas I turun Rp1.400 menjadi Rp137.600 per kg. Kemudian harga daging sapi kualitas II turun Rp400 menjadi Rp129.950 per kg.
Sementara itu Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Eko Listiyanto, mengungkapkan bahwa tren pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) diperkirakan akan berlanjut hingga akhir tahun atau kuartal IV-2024.
Menurut Eko, penguatan rupiah hingga akhir 2024 hanya akan terjadi pada momen-momen tertentu seperti pemilihan kepala daerah (pilkada) dan masa libur akhir tahun.
“Sampai akhir tahun dugaan saya akan ada booster di kuartal IV-2024 karena ada pilkada dan libur akhir tahun, tapi memang secara umum rupiah ini akan cenderung tidak stabil,” ungkap Eko dalam agenda Seminar Nasional Kajian Tengah Tahun INDEF 2024: Presiden Baru, Persoalan Lama, Selasa 25 Juni 2024.
Eko menambahkan bahwa tidak stabilnya rupiah disebabkan karena banyak pengusaha yang masih bergantung pada bahan baku impor. Mereka perlu membeli dolar AS untuk memenuhi kebutuhan impor mereka. “Otomatis mereka memburu dolar AS untuk bisa mencukupi kebutuhan itu,” tambah Eko.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif INDEF, Esther Sri Astuti menyatakan bahwa fluktuasi nilai tukar rupiah dipengaruhi oleh kebijakan fiskal dan moneter yang masih ketat.
“Saat ini, kondisi ekonomi baik dari segi fiskal maupun moneter masih relatif ketat dengan terus meningkatnya suku bunga dan fluktuasi nilai tukar,” kata dia.
Dengan kondisi tersebut industri manufaktur bakal menjadi salah satu sektor yang paling terdampak karena mayoritas bahan baku yang berasal dari luar negeri.
“Karena nilai tukar Rupiah terhadap dolar terdepresiasi, sehingga industri manufaktur yang menggantungkan diri pada bahan baku impor akan sangat terdampak,” kata Esther.
Esther menegaskan bahwa pelemahan nilai tukar rupiah pasti berdampak pada industri manufaktur, karena masih bergantung pada impor bahan baku.
“Ini menunjukkan bahwa produksi industri dalam negeri masih sangat bergantung pada bahan baku impor, sehingga pelemahan mata uang pasti berdampak pada industri manufaktur,” ungkapnya. (yog/*)