KABARBURSA.COM - Tren pelemahan rupiah terhadap dolar AS semakin menjadi sorotan. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan bahwa fenomena ini bukan hanya dialami oleh rupiah, tetapi juga mata uang negara lainnya.
Menurutnya, kondisi perekonomian Amerika Serikat yang kuat menjadi penyebab utama penguatan dolar AS yang berdampak pada pelemahan nilai tukar mata uang lain.
"Karena memang kan terhadap berbagai currency, US dollar kuat. Dan, ekonomi US memang membaik," kata Airlangga saat ditemui wartawan di kantornya, Kamis 20 Juni 2024.
Airlangga menegaskan bahwa pihaknya akan terus memantau perubahan nilai mata uang AS ini, namun Bank Indonesia (BI) memiliki otoritas lebih dalam hal intervensi terhadap nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
"Kita monitor saja, karena BI yang akan terus juga memonitor secara daily," tegasnya.
Adapun, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Febrio melesatnya nilai tukar rupiah dikarena faktor global yang mempengaruhi fluktuasi nilai tukar ini.
"Kan banyak faktor ya, terutama adalah global. Globalnya kan memang kita lihat masih cukup ketat," ujar Febrio di Gedung DPR RI, Kamis 20 Juni 2024.
Diketahui, Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pada perdagangan Kamis 20 Juni 2024 dibuka melemah, menjelang keputusan rapat dewan gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI). Rupiah tercatat turun 18 poin atau 0,11 persen, menjadi Rp16.383 per dolar AS dari penutupan sebelumnya sebesar Rp16.365 per dolar AS.
Meskipun demikian, Febrio menyatakan bahwa terdapat beberapa pertimbangan yang menjadi dasar dalam perencanaan asumsi nilai tukar tersebut. Ini termasuk konsensus pasar dan data terbaru yang menunjukkan kecenderungan penurunan suku bunga The Fed pada bulan September mendatang.
"Kami juga melihat adanya potensi penurunan suku bunga The Fed, paling tidak pada bulan September, sehingga kami melihat bahwa konsensus pasar dan data-data terbaru konsisten menuju arah tersebut," terangnya.
Di sisi lain, dia mengatakan ada peluang terjadinya pemotongan suku bunga the fed itu juga di 2025. Hal tersebut pun sudah dia konsultasikan dan kolaborasi terus dengan Bank Indonesia. Mengingat BI merupakan lembaga yang memiliki untuk menjaga stabilitas rupiah.
"jadi ini terkait tentang apa yang menjadi strategi dari BI kita akan dukung," tandas dia.
Sementara, Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda, membeberkan faktor eksternal dan internal yang membuat Dolar AS semakin perkasa terhadap Rupiah.
Menurut Huda, faktor eksternal dan internal berpengaruh signifikan terhadap nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS.
“Dari eksternal, the Fed rate masih sangat perkasa dan rezim suku bunga tinggi masih belum berakhir. Permintaan dolar akhirnya meningkat, rupiah melemah,” ujar Huda kepada Kabar Bursa, Kemarin.
Selain itu, Huda menilai pasar juga masih melihat peluang untuk the Fed turun semakin kecil. Dia pun memprediksi the Fed hanya menurunkan suku bunganya satu kali.
“The Fed kemungkinan hanya menurunkan suku bunganya sekali. Pasar masih melihat inflasi di US masih tinggi. Tidak memungkinkan untuk menurunkan suku bunga secara eksponensial,” jelasnya.
Untuk faktor internal, Huda melihat fundamental ekonomi Indonesia saat ini tidak begitu kuat meskipun inflasi cukup terkendali dan pertumbuhan ekonomi di angka sekitar lima persen. Namun begitu dia memandang pasar tidak bereaksi positif.
“Kemudian, pasar malah melihat kenaikan hutang secara ugal-ugalan akan membuat kemampuan fiskal jadi terbatas,” ungkapnya.
Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pada perdagangan Kamis 20 Juni 2024 dibuka melemah, menjelang keputusan rapat dewan gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI). Rupiah tercatat turun 18 poin atau 0,11 persen, menjadi Rp16.383 per dolar AS dari penutupan sebelumnya sebesar Rp16.365 per dolar AS.
Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda, membeberkan faktor eksternal dan internal yang membuat Dolar AS semakin perkasa terhadap Rupiah.
Menurut Huda, faktor eksternal dan internal berpengaruh signifikan terhadap nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS.
“Dari eksternal, the Fed rate masih sangat perkasa dan rezim suku bunga tinggi masih belum berakhir. Permintaan dolar akhirnya meningkat, rupiah melemah,” ujar Huda kepada Kabar Bursa, Kemarin.
Selain itu, Huda menilai pasar juga masih melihat peluang untuk the Fed turun semakin kecil. Dia pun memprediksi the Fed hanya menurunkan suku bunganya satu kali.
“The Fed kemungkinan hanya menurunkan suku bunganya sekali. Pasar masih melihat inflasi di US masih tinggi. Tidak memungkinkan untuk menurunkan suku bunga secara eksponensial,” jelasnya.
Untuk faktor internal, Huda melihat fundamental ekonomi Indonesia saat ini tidak begitu kuat meskipun inflasi cukup terkendali dan pertumbuhan ekonomi di angka sekitar lima persen. Namun begitu dia memandang pasar tidak bereaksi positif.
“Kemudian, pasar malah melihat kenaikan hutang secara ugal-ugalan akan membuat kemampuan fiskal jadi terbatas,” ungkapnya.
Artikel ini disediakan untuk tujuan informasi semata dan bukan merupakan ajakan, rekomendasi, atau instruksi untuk membeli atau menjual saham. Segala bentuk analisis dan rekomendasi saham sepenuhnya berasal dari pihak analis atau sekuritas yang bersangkutan. KabarBursa.com tidak bertanggung jawab atas keputusan investasi, kerugian, atau keuntungan yang timbul akibat penggunaan informasi dalam artikel ini. Keputusan investasi sepenuhnya merupakan tanggung jawab investor. Investor diharapkan melakukan riset independen dan mempertimbangkan risiko dengan cermat sebelum mengambil keputusan investasi.