Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

OJK Buka Suara Soal PPK FCA

Rubrik: Market Hari Ini | Diterbitkan: 14 June 2024 | Penulis: Yunia Rusmalina | Editor: Redaksi
OJK Buka Suara Soal PPK FCA

KABARBURSA.COM - Maraknya seruan untuk melakukan review terhadap implementasi papan pemantauan khusus dengan mekanisme full call auction (PPK FCA) ditanggapi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

PPK FCA yang disinyalir menjadi salah satu faktor penekan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).

Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif, dan Bursa Karbon OJK, Inarno Djajadi menerangkan PPK ditujukan untuk menciptakan pasar modal yang semakin teratur, wajar dan efisien serta meningkatkan pelindungan investor.

"OJK dan Bursa Efek Indonesia selalu berkordinasi dan terus memperhatikan feedback yang diberikan oleh pelaku pasar terkait implementasi PPK FCA," ungkap Inarno dalam keterangannya, Jumat 14 Juni 2024.

Inarno menambahkab menghargai evaluasi yang dilakukan oleh beberapa pihak. Namun penting untuk selalu diingat, bahwa PPK ditujukan untuk menciptakan pasar modal yang semakin teratur, wajar, dan efisien serta meningkatkan pelindungan investor.

Sebelumnya Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif, dan Bursa Karbon OJK Inarno Djajadi mengatakan dengan adanya PPK FCA tersebut, maka saham-saham yang awalnya mandek di harga Rp50 per saham, kini bisa diperdagangkan dengan pembentukan harga lebih wajar dan saham-saham gocap tersebut tetap likuid.

Lebih lanjut dia menjelaskan, terkait PPK FCA juga sejatinya sudah dikaji sejak 2019, dan implementasinya dilaksanakan dalam dua tahap.

PPK tahap pertama pada 12 Juni 2023, dengan mekanisme perdagangan continous auction dengan harga minimal Rp50 per saham.

Kemudian PPK tahap II full call auction dilaksanakan pada 25 Maret 2024 dan memungkinkan harga saham menuju Rp1 per saham.

"Jadi, sebetulnya dengan dibukanya harga di bawah Rp50 per saham, memungkinkan untuk harga saham itu terkoreksi menjadi harga yang lebih wajar," katanya.

Bursa Efek Global

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memberikan tanggapan terhadap kebijakan Bursa Efek Indonesia (BEI) yang secara resmi menerapkan papan pemantauan khusus (PPK) tahap II dengan full call auction sejak 25 Maret lalu.

Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal OJK, Inarno Djajadi, menyatakan bahwa mekanisme tersebut sebenarnya merupakan praktik yang biasa dan telah diterapkan di berbagai bursa efek global.

“Itu bukan hal yang baru di pasar modal, tentu rekan-rekan tahu bahwa pra-pembukaan dan pra-penutupan telah memakai call auction,” ujarnya dalam konferensi pers secara virtual, Selasa 2 April 2024.

Selain itu, kata Inarno, kebijakan itu juga memang ditujukan kepada saham-saham yang likuiditasnya terbatas dan dalam pengawasan.

“Tapi tujuan call auction tersebut, dengan mekanisme itu, order menjadi tidak terlalu sensitif atas order yang aktif dalam jumlah yang besar. Justru ini akan mengurangi volatilitas,” ujar dia.

Inarno menjelaskan bahwa penerapan mekanisme perdagangan tersebut didasarkan pada data Indicative Equilibrium Price (IEP) dan Indicative Equilibrium Volume (IEV), yang diambil dari keseluruhan order yang ada di-order book, bukan hanya melihat jumlah order dalam besaran tertentu.

Menurutnya, hal ini bertujuan untuk melindungi investor, karena harga yang terbentuk didasarkan pada bid (harga penawaran) dan ask (harga permintaan), yang dapat mengurangi volatilitas harga di pasar.

Namun, sejak penerapan kebijakan PPK tahap II, beberapa investor telah mengkritiknya. Kritik utama terkait dengan keterbatasan informasi mengenai bid dan ask dalam papan pemantauan khusus II. Sebagai hasilnya, investor hanya dapat mengakses data Indicative Equilibrium Price (IEP) dan Indicative Equilibrium Volume (IEV) untuk menilai potensi harga dan volume saham yang akan tersedia.

Para kritikus itu juga sempat membuat petisi dengan target mencapai 5.000 tandatangan.

Selain itu, mekanisme full call auction yang diberlakukan juga dinilai berpotensi memunculkan emiten-emiten nakal.

Hal itu diungkapkan oleh praktisi pasar modal Bernad Mahardika Sandjojo. Menurutnya, kebijakan papan pemantauan khusus full call auction hanya menguntungkan pihak tertentu.

“Bayangkan, emiten IPO di harga atas, belum kita bicara dia punya banyak nominee yang subscribe sendiri IPO-nya, kemudian perusahaan dapat duit, nominee jualan di pucuk, setelah itu emitennya tinggal berulah,” tutur pemilik akun Instagram @bernad88 dengan lebih dari 25.000 pengikut ini, dikutip Senin 1 April 2024.

“Karena berulah, sahamnya kemudian masuk papan pemantauan khusus, lalu buyback semurah mungkin.”

Buruknya Filtrasi

Direktur Penilaian Perusahaan BEI I Gede Nyoman Yetna menampik, banyaknya emiten di papan pemantauan khusus full call auction adalah akibat buruknya filtrasi calon emiten. Ada sejumlah poin yang mendasari hal ini.

“Dapat kami sampaikan terlebih dahulu bahwa Perusahaan Tercatat lebih banyak masuk dalam Papan Pemantauan Khusus pada kriteria 1  dan 7, dimana sebagian besar terdiri dari perusahaan-perusahaan yang telah lama tercatat di Bursa dan kurang likuid perdagangan sahamnya,” jelas Nyoman, dikutip Rabu 3 April 2024.

Kriteria 1 berkaitan dengan rata-rata harga saham kurang dari Rp51. Sedang kriteria 7 ada kaitannya dengan likuiditas yang rendah.

Dengan masuk ke Papan Pemantauan Khusus, lanjut Nyoman, saham emiten tersebut dapat ditransaksikan pada harga yang lebih wajar. Emiten tersebut juga diharapkan dapat meningkatkan likuiditasnya yang pada akhirnya dapat keluar dari papan pemantauan khusus.

Nyoman menambahkan, dalam melakukan evaluasi calon perusahaan tercatat, BEI tidak hanya mempertimbangkan pada aspek formal, tetapi juga mempertimbangkan aspek substansi persyaratan pencatatan termasuk kinerja dan prospek ke depan dari perusahaan.

“Kami [saat ini] juga meminta Calon Perusahaan Tercatat untuk menyampaikan research report ada saat proses permohonan pencatatan dan digunakan sebagai proses evaluasi Bursa,” jelas Nyoman.

Selanjutnya BEI meminta Calon Perusahaan Tercatat untuk menyampaikan research report sebanyak dua kali setelah tercatat di BEI, yaitu pada enam bulan dan 12 bulan setelah tercatat.

Research report dimaksud diharapkan dapat meningkatkan exposure kepada publik atas perusahaan yang baru tercatat serta meningkatkan market attractiveness sebagai pendukung informasi fundamental yang disampaikan oleh Perusahaan Tercatat. (yun/prm)