KABARBURSA.COM - Axiata Group Berhad menargetkan proses merger antara PT XL Axiata Tbk (EXCL) dan PT Smartfren Telecom Tbk (FREN) rampung akhir 2024.
Group Chief Financial Officer Axiata Group Berhad, Nik Rizal Kamil, menyatakan bahwa penyelesaian proses merger ini akan bersamaan dengan selesainya proses due diligence yang baru saja dimulai dan diharapkan selesai dalam waktu maksimal empat bulan ke depan.
Dalam proses due diligence ini, XL Axiata dan Smartfren akan saling meninjau aspek-aspek komersial, teknologi, kinerja keuangan, dan spektrum operasi masing-masing perusahaan.
Selain itu, kedua perusahaan juga akan melakukan negosiasi untuk mempercepat proses merger.
"Kami berharap proses ini selesai pada akhir tahun ini, meskipun masih harus melalui proses regulasi," ujarnya saat Media Briefing di Jakarta, Kamis, 13 Juni 2024.
Nik Rizal Kamil mengungkapkan harapannya agar proses merger antara XL Axiata dan Smartfren bisa rampung lebih cepat dibandingkan dengan merger antara PT Indosat Tbk dan PT Hutchison 3 Indonesia yang memakan waktu 13-14 bulan.
Dia berharap pemerintah Indonesia, yang kini lebih berpengalaman dalam memproses penggabungan perusahaan besar, dapat mempercepat proses ini sehingga dapat diselesaikan dalam waktu sekitar 6-9 bulan.
"Kami berharap pemerintah sudah lebih familiar dengan apa yang perlu dilihat, diketahui, dan didiskusikan dengan XL Axiata dan Sinarmas," ujarnya.
Terkait dengan nama perusahaan yang akan digunakan setelah merger, Nik Rizal Kamil menyatakan bahwa hal tersebut masih belum diputuskan karena masih dalam proses due diligence.
"Setelah due diligence selesai, kami akan melihat struktur perusahaan dan memutuskan apakah akan menjadi perusahaan baru atau salah satu perusahaan akan dimasukkan ke dalam perusahaan lainnya. Namun, saat ini masih terlalu dini untuk menentukan," ungkapnya.
Pada 15 Mei 2024, Axiata Group Berhad resmi menandatangani nota kesepahaman (Memorandum of Understanding/MoU) yang bersifat tidak mengikat dengan PT Sinar Mas Group untuk menggabungkan dua operator seluler, XL Axiata dan Smartfren.
Axiata Group Berhad merupakan pemilik saham mayoritas XL Axiata, sementara Sinar Mas adalah induk perusahaan Smartfren.
Peleburan kedua operator ini akan menghasilkan entitas baru yang sementara ini diberi nama "MergeCo", di mana Axiata dan Sinar Mas akan tetap menjadi pemegang saham pengendali entitas baru tersebut.
Axiata Group Berhad, induk usaha dari PT XL Axiata Tbk dan PT Link Net Tbk, tidak memandang PT Starlink Services Indonesia sebagai pesaing. Sebaliknya, perusahaan asal Malaysia ini melihat Starlink, yang dimiliki oleh Elon Musk, sebagai mitra yang dapat melengkapi layanan mereka.
"Saya rasa kita harus melihat bagaimana hal ini akan berkembang, namun pada saat ini, pandangan saya adalah bahwa ada lebih banyak manfaat untuk menjadi mitra," ujar Group Chief Executive Officer dan Managing Director Axiata Group Berhad Vivek Sood saat media briefing di Jakarta, Kamis, 13 Juni 2024.
Vivek menambahkan bahwa harga layanan internet yang ditawarkan Starlink Indonesia saat ini masih relatif lebih mahal dibandingkan dengan harga layanan internet XL Axiata dan Link Net. Untuk informasi, Starlink Indonesia menawarkan paket layanan residensial seharga Rp750.000 per bulan, belum termasuk perangkat terminal user seharga Rp5,9 juta.
Sebaliknya, harga layanan internet rumah XL SATU dibanderol sekitar Rp259.000 per bulan, sementara layanan fixed broadband Link Net sebesar USD18,33 atau Rp297.000 untuk 30 Mbps dan USD27,67 atau Rp448.000 untuk 100 Mbps.
"Kalau lihat Starlink sebagai kompetitor, menurut saya saat ini harganya sangat tinggi jika dibandingkan dengan paket kami yang ada saat ini," ujarnya.
Di sisi lain, Axiata justru melihat Starlink sebagai mitra yang dapat melengkapi layanannya, terutama karena layanan internet berbasis satelit milik Starlink sangat cocok diterapkan di wilayah pedesaan.
Vivek menjelaskan bahwa selama ini, pihaknya kesulitan menjangkau wilayah pedesaan karena untuk membangun menara dan jaringan fiber optik ke wilayah tersebut membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
"Namun, di daerah pedesaan juga, harga yang berlaku saat ini akan menjadi tantangan bagi mereka (Starlink) untuk menjustifikasinya," ujarnya.
Lebih lanjut, Vivek melihat potensi kerja sama dalam layanan internet berbasis satelit sebagai jaringan backhaul.
"Jadi tidak perlu memasang dua fiber. Satu fiber bisa menjadi fiber utama dan satelit bisa menjadi cadangan. Misalnya ketika seseorang merusak fiber tersebut maka bisa beralih ke satelit untuk kebutuhan backhaul," jelasnya.
Melihat potensi-potensi tersebut, Axiata Group membuka peluang kerja sama dengan penyedia layanan internet berbasis satelit seperti Starlink maupun perusahaan lain.
"Jadi, ada alasan untuk bermitra dengan mereka, yang saya rasa sedang kami diskusikan dengan penyedia satelit lainnya," tuturnya. (*)
Artikel ini disediakan untuk tujuan informasi semata dan bukan merupakan ajakan, rekomendasi, atau instruksi untuk membeli atau menjual saham. Segala bentuk analisis dan rekomendasi saham sepenuhnya berasal dari pihak analis atau sekuritas yang bersangkutan. KabarBursa.com tidak bertanggung jawab atas keputusan investasi, kerugian, atau keuntungan yang timbul akibat penggunaan informasi dalam artikel ini. Keputusan investasi sepenuhnya merupakan tanggung jawab investor. Investor diharapkan melakukan riset independen dan mempertimbangkan risiko dengan cermat sebelum mengambil keputusan investasi.