Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

PHRI Minta Pemerintah Tegas soal Produk Terafiliasi Israel

Rubrik: Market Hari Ini | Diterbitkan: 13 June 2024 | Penulis: Pramirvan Datu | Editor: Redaksi
PHRI Minta Pemerintah Tegas soal Produk Terafiliasi Israel

KABARBURSA.COM - Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) mendesak pemerintah untuk mengklarifikasi daftar setiap perusahaan dan produk yang dikaitkan dengan Israel, demi mencegah kemungkinan terjadinya kegaduhan di masyarakat.

"Hal ini penting agar masyarakat mendapatkan pemahaman bahwa perusahaan-perusahaan multinasional di Indonesia menjalankan bisnis mereka secara profesional," ujar Ketua Umum PHRI Haryadi Sukamdani dalam pernyataan resmi di Jakarta, Kamis 13 Juni 2024.

Haryadi menyoroti kemunculan daftar yang dikeluarkan oleh beberapa kelompok, yang mencantumkan nama-nama perusahaan dan produk yang terafiliasi dengan Israel. Menurutnya, daftar tersebut perlu dikonfirmasi kebenarannya.

Selain itu, PHRI juga meminta pemerintah untuk memberitahukan kepada masyarakat bahwa perusahaan multinasional yang beroperasi di Indonesia tidak terkait dengan ideologi politik manapun.

Jika ada keterkaitan, Haryadi berharap pemerintah bisa bertindak bijaksana dalam memilah dan mengidentifikasi perusahaan yang bersangkutan. Langkah ini diharapkan dapat menghindarkan pegawai dari dampak negatif yang ditimbulkan akibat boikot terhadap perusahaan-perusahaan tersebut.

Haryadi mengungkapkan keprihatinannya terhadap situasi ini, karena PHRI telah melakukan konfirmasi langsung kepada pemegang merek yang menjual produk yang terlibat dalam daftar boikot. Menurutnya, tidak ada produk-produk dari perusahaan multinasional di Indonesia yang memiliki keterkaitan dengan Israel.

Dalam pertemuan dengan pemegang merek, PHRI telah meminta agar setiap perusahaan menyosialisasikan kepada masyarakat bahwa produk mereka tidak terafiliasi dengan Israel.

Namun, upaya klarifikasi ini sering kali tersapu oleh liputan media tentang boikot, yang cenderung menyudutkan perusahaan-perusahaan tersebut.

"Hal ini terjadi misalnya dengan merek Starbucks, yang disebut-sebut terafiliasi dengan Israel, padahal mereka telah memberikan bantuan kemanusiaan ke Gaza senilai Rp5 miliar saat ulang tahun perusahaan," ungkap Haryadi.

"Sebenarnya, perusahaan-perusahaan ini beroperasi secara global, termasuk di negara-negara di Timur Tengah yang masih dilanda konflik. Mereka memberikan bantuan kemanusiaan secara profesional, bukan atas dasar politik," tambahnya.

Haryadi juga mengajak masyarakat untuk lebih teliti dalam memilah informasi yang mereka terima. Menurutnya, penting bagi masyarakat untuk memeriksa fakta tentang keberadaan dan sikap perusahaan-perusahaan yang diduga terafiliasi dengan Israel terkait isu Palestina.

"Dengan memeriksa secara seksama, masyarakat dapat menilai bahwa perusahaan-perusahaan ini beroperasi secara profesional dan tidak terkait dengan agenda politik apapun," tutup Haryadi.

Ketetapan Pajak Hiburan

Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) menyatakan akan mengajukan judicial review terkait ketetapan pajak hiburan yang kini memiliki kisaran 40-75 persen.

Wakil Ketua Umum Bidang Organisasi dan Keanggotaan Badan Pimpinan Pusat (BPP) PHRI Yuno Abeta Lahay mengatakan pengajuan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) ini, karena banyak tempat hiburan yang melekat pada hotel dan restoran.

“Kami sedang melakukan langkah hukum judicial review dan dalam waktu dekat diajukan meski beberapa daerah telah mengeluarkan perda, dan kemarin telah ada diskusi dengan Kemenparekraf, tapi ini kami rasa kurang tepat, harusnya dilibatkan juga Kemenkeu dan Kemendagri,” kata Yuno, di Bandung, Jawa Barat (Jabar), Rabu. Dikutip dari Antara.

Adapun isi judicial review tersebut, kata Yuno, berbeda dengan gugatan yang dilayangkan Asosiasi Spa Terapis Indonesia (ASTI), dengan PHRI meminta pasal yang menetapkan besaran pajak 40 sampai 75 persen dihapuskan.

“Karena pasal sebelumnya sudah ada yaitu 10 persen, jadi kami minta dikembalikan ke sana saja,” ujarnya pula.

Yuno mengatakan dengan besaran tarif pajak minimal 40 persen dan maksimal 75 persen untuk hiburan khusus yanng tergolong sebagai objek Pajak Barang Jasa Tertentu (PBJT) dalam Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD) itu, telah memunculkan kekhawatiran dari para pelaku usaha, termasuk di Jawa Barat, mengingat sektor hiburan merupakan penunjang pariwisata.

“Industri hiburan adalah kolaborasi. Hiburan dan kawan-kawannya itu kan penunjang pariwisata, kekhawatiran ini mulai terasa, Mbak Inul (Daratista) sudah menyampaikan kunjungan sudah dirasa turun. Kami memang dari seluruh stakeholder pariwisata menganggap ada satu bagian bahwa entertainment lifestyle di situ, terhambat dan itu otomatis mengganggu keseluruhan bisnis pariwisata,” katanya pula.

Saat ini, kata dia lagi, di Jawa Barat baru ada satu daerah yang sudah menetapkan tarif pajak hiburan 50 persen.

“Sejauh ini yang saya tahu, Kabupaten Bogor sudah menetapkan 50 persen. Kami dari PHRI sudah mulai mengumpulkan data, cuma yang baru kami dapat itu Kabupaten Bogor ditetapkan 50 persen,” katanya lagi.