KABARBURSA.COM - Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (UU KIA) yang baru disahkan membawa angin segar bagi masa depan perempuan dan anak di Indonesia.
Namun, di balik tujuan mulianya untuk meningkatkan kesehatan ibu dan anak, UU ini juga menyimpan potensi dampak signifikan bagi dunia usaha, khususnya dalam hal ekonomi.
Salah satu poin penting dalam UU KIA adalah jaminan cuti melahirkan yang lebih panjang, yaitu enam bulan. Hal ini tentu disambut baik oleh para pekerja perempuan, namun juga menimbulkan kekhawatiran bagi perusahaan terkait kelancaran operasional dan beban biaya.
Ketentuan itu diatur dalam Pasal 4 Ayat (2) Huruf (a). Poin ini menyebutkan, “Mendapatkan cuti melahirkan paling sedikit 6 (enam) bulan.”
Di 3 bulan pertama cuti, ibu berhak mendapatkan gaji penuh 100 persen. Hal ini memungkinkan ibu untuk fokus pada pemulihan fisik dan mental, serta membangun ikatan yang kuat dengan bayi. Masa ini juga penting untuk memastikan kelancaran menyusui eksklusif bagi bayi.
Setelah tiga bulan pertama, gaji ibu akan berkurang menjadi 75 persen selama tiga bulan berikutnya. Periode ini memberikan waktu transisi bagi ibu untuk kembali mempersiapkan diri bekerja, sambil tetap mengurus kebutuhan bayi.
Ketentuan itu ada dalam Pasal 5 Ayat (2), “Setiap Ibu yang melaksanakan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a mendapatkan hak secara penuh 100{ccd4fd764ee01eeffde149d16dd889e35ba3aa084bee9e8382bbf985fd92fc52} (seratus persen) untuk 3 (tiga) bulan pertama dan 75{ccd4fd764ee01eeffde149d16dd889e35ba3aa084bee9e8382bbf985fd92fc52} (tujuh puluh lima persen) untuk 3 (tiga) bulan berikutnya.”
Peneliti Senior Pusat Riset Kependudukan BRIN, Andi Ahmad Zaelany, mengatakan UU KIA menghadirkan tantangan bagi perusahaan, terutama dalam hal biaya dan operasional. Perusahaan harus mengeluarkan uang lebih banyak selama masa cuti, yakni upah untuk perempuan yang cuti melahirkan dan upah pekerja pengganti tersebut.
"Akan sangat berat bagi perusahaan yang komposisi tenaga kerjanya didominasi pekerja perempuan. Apabila banyak yang cuti hamil pada saat yang bersamaan, akan kekurangan banyak tenaga kerja dan menanggung beban pengupahan yang besar," kata Andi kepada Kabar Bursa, Rabu, 5 Juni 2024.
Andi mencontohkan perusahaan garmen dan pabrik rokok yang rentan terhadap dampak ini. Di industri padat karya seperti ini, perempuan sering menjadi tulang punggung keluarga dan memegang peran penting dalam proses produksi.
Pada 2022, data Organisasi Ketenagakerjaan Internasional (ILO) menunjukkan bahwa industri garmen dan tekstil di Indonesia mempekerjakan 5,2 juta orang, dan mayoritasnya adalah perempuan. Perempuan menjadi tulang punggung industri ini, bekerja di berbagai lini, mulai dari produksi hingga distribusi. Adapun Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia mengungkapkan data 2023 menunjukkan sebesar 86 persen dari seluruh pekerja di sektor pengolahan tembakau adalah kaum perempuan.
Meski begitu, secara umum, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak pada 2023 mencatat kesenjangan partisipasi angkatan kerja (TPAK) antara perempuan dan laki-laki di Indonesia.
Data Badan Pusat Statistik yang dikutip institusi yang dipimpin I Gusti Ayu Bintang Darmawati tersebut menunjukkan bahwa TPAK perempuan hanya sebesar 53,41 persen, jauh lebih rendah dibandingkan laki-laki yang mencapai 83,87 persen.
Adapun jika merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS) dalam Indikator Pekerjaan Layak di Indonesia 2023, jumlah pekerja perempuan di Indonesia mencapai 54.615.804 orang. Dengan rata-rata Upah Minimum Provinsi (UMP) yang menurut data Kementerian Ketenagakerjaan sebesar Rp 3,1 juta, kebijakan baru ini diperkirakan akan menimbulkan dampak ekonomi yang cukup signifikan bagi perusahaan.
Dalam perhitungan kasar, jika semua pekerja perempuan mengambil cuti melahirkan sesuai ketentuan UU, total kerugian ekonomi yang dialami perusahaan dapat mencapai Rp888,87 triliun. Namun, kerugian ini tidak akan terjadi sekaligus, melainkan bergantung pada jumlah pekerja perempuan yang mengambil cuti secara berkala.
Andi menjelaskan UU KIA dapat menjadi pendorong semangat bekerja yang lebih baik dan produktivitas kerja bagi para pekerja perempuan. Dengan jaminan cuti melahirkan yang lebih panjang, mereka dapat fokus pada pemulihan kesehatan dan pengasuhan anak tanpa rasa khawatir kehilangan pekerjaan atau penghasilan.
"Pekerja perempuan yang sehat dan bisa fokus pada pekerjaan, tidak terganggu masalah pengurusan anak bayi, tentu akan berimbas pada produktivitas yang tinggi," ujar Andi.
Andi menambahkan, fakta di negara-negara maju menunjukkan korelasi positif antara cuti melahirkan yang lebih panjang dengan peningkatan kesehatan dan kesejahteraan ibu dan anak. Hal ini dapat berdampak positif pada kinerja anak di masa depan, sehingga berkontribusi pada peningkatan kualitas SDM bangsa.
“Cuti melahirkan ini hal yang sudah biasa di negara maju seperti di Eropa. Contohnya Jerman memberikan cuti sampai dua tahun dengan tetap memperoleh gaji. Setelah selesai cutinya dia kembali kerja dengan posisi maupun jabatan yang sama,” terangnya.
Andi menyarankan beberapa solusi untuk mengatasi tantangan tersebut, seperti meningkatkan fleksibilitas kerja dengan memberikan pilihan jam kerja yang fleksibel atau skema kerja dari rumah bagi para ibu yang baru melahirkan dan mengembangkan program pelatihan dengan memberikan pelatihan kepada pekerja pengganti untuk memastikan kelancaran operasional selama masa cuti.
“Pengganti pekerja perempuan yang cuti harus di-training dulu, memperoleh upah, dan tunjangan serta perlindungan sosial,” kata Andi.
Andi menekankan pentingnya kolaborasi antara pemerintah, pengusaha, dan pekerja dalam mengimplementasikan UU KIA. Perusahaan yang akan diwajibkan menerapkan ketentuan dalam UU ini juga tak perlu khawatir. Sebab, kata Andi, sebagian besar pekerja mungkin hanya akan mengambil cuti selama tiga bulan sesuai ketentuan minimum. Situasi darurat yang mengharuskan perpanjangan cuti hingga enam bulan diperkirakan akan jarang terjadi.
“Kalau melihat UU itu lebih menekankan cuti tiga bulan, baru bila ada keadaan darurat ditambah 1, 2 atau 3 bulan. Saya duga, kemungkinan besar pemberian cuti melahirkan masih banyak yang tiga bulan. Mungkin hanya sangat sedikit kasus yang bisa ditambah lama cutinya menjadi 4,5 atau 6 bulan,” kata Andi.
Sementara itu, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mengemukakan bahwa UU KIA berpotensi menjadi beban baru bagi dunia usaha. Ketua Umum Apindo, Shinta W. Kamdani, mengatakan beban yang dirasakan dari kebijakan ini tidak hanya bersifat finansial tetapi juga non-finansial.
Shinta menjelaskan, pengusaha harus mencari pengganti untuk mengisi posisi yang kosong selama pekerja perempuan mengambil cuti melahirkan. "Karena (pengusaha) mesti cari orang, kan ada pekerjaan yang harus diisi, pekerjaannya harus jalan. Itu kan harus mencari pengganti dan lain-lain, jadi ada non finansial isu juga," kata Shinta di Swissotel PIK Avenue, Kamis, 6 juni 2024.
Merujuk pada data BPS, Shinta mengungkapkan bahwa Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) perempuan hanya sebesar 60,18 persen, jauh lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki yang mencapai 86,97 persen pada tahun 2023.
Ia menekankan pentingnya langkah-langkah antisipatif agar regulasi ini tidak mengurangi kesempatan kerja bagi perempuan. "Jangan sampai partisipasinya malah jadi menurun karena menambah beban," katanya. (alp/*)
Artikel ini disediakan untuk tujuan informasi semata dan bukan merupakan ajakan, rekomendasi, atau instruksi untuk membeli atau menjual saham. Segala bentuk analisis dan rekomendasi saham sepenuhnya berasal dari pihak analis atau sekuritas yang bersangkutan. KabarBursa.com tidak bertanggung jawab atas keputusan investasi, kerugian, atau keuntungan yang timbul akibat penggunaan informasi dalam artikel ini. Keputusan investasi sepenuhnya merupakan tanggung jawab investor. Investor diharapkan melakukan riset independen dan mempertimbangkan risiko dengan cermat sebelum mengambil keputusan investasi.