KABARBURSA.COM - Temuan BPK tentang kerusakan lingkungan di bekas tambang mencerminkan perlunya tindakan cepat dan tegas dari pemerintah. Upaya pemulihan lingkungan tidak boleh diabaikan, mengingat dampak jangka panjangnya terhadap ekosistem dan kesejahteraan masyarakat.
Diperlukan koordinasi yang erat antara berbagai kementerian terkait, seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, untuk menyusun kebijakan yang komprehensif dan efektif dalam mengelola dana jaminan reklamasi dan pemulihan lingkungan.
Selain itu, penegakan hukum yang kuat juga diperlukan untuk memastikan bahwa perusahaan tambang bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan yang mereka timbulkan. Hanya dengan adanya penegakan hukum yang konsisten, pelaku tambang akan merasa bertanggung jawab dan terdorong untuk melakukan pemulihan lingkungan dengan serius.
Pemerintah juga harus melibatkan berbagai pihak terkait, termasuk masyarakat lokal dan organisasi lingkungan, dalam proses pemulihan lingkungan. Partisipasi mereka sangat penting untuk memastikan bahwa upaya pemulihan yang dilakukan sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat setempat.
Kerja sama antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil merupakan kunci dalam mengatasi tantangan lingkungan yang kompleks ini. Dengan langkah-langkah yang tepat dan kerjasama yang solid, kita dapat mengubah bekas tambang yang terabaikan menjadi kawasan yang produktif dan berkelanjutan bagi generasi mendatang.
Data dari Jaringan Tambang (JATAM) menunjukkan bahwa sekitar 44{ccd4fd764ee01eeffde149d16dd889e35ba3aa084bee9e8382bbf985fd92fc52} dari total luas daratan Indonesia telah dialokasikan untuk sekitar 8.588 izin usaha pertambangan. Luas total tersebut mencapai 93,36 juta hektar, yang setara dengan empat kali lipat dari luas Provinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara.
Koordinator JATAM, Merah Johansyah, menggarisbawahi bahwa di mana pun ada tambang, di situlah terdapat penderitaan warga dan kerusakan lingkungan. Menurutnya, keberadaan tambang sering kali tidak sejalan dengan kepentingan masyarakat dan pelestarian lingkungan.
Merah menjelaskan bahwa penderitaan masyarakat muncul karena kekurangan informasi yang diberikan kepada mereka saat tambang beroperasi, ditambah dengan adanya kongkalikong demi keuntungan ekonomi dan politik. Negara juga, menurut Merah, tidak memberikan ruang kepada masyarakat untuk menolak tambang yang telah diputuskan oleh pihak berwenang.
Ini menyebabkan konflik meluas dari barat hingga timur Indonesia di wilayah tambang karena kurangnya partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan. Dan ketika penolakan warga terjadi, negara cenderung menggunakan kekuatan aparaturnya untuk meredamnya.
JATAM mencatat peningkatan signifikan dalam konflik tambang sepanjang tahun 2020, dengan 45 kasus tercatat, empat kali lipat lebih banyak dibandingkan tahun sebelumnya. Kasus-kasus tersebut melibatkan berbagai bentuk pelanggaran, termasuk pencemaran lingkungan, perampasan lahan, dan kriminalisasi warga yang menentang tambang.
Solusinya? Merah menegaskan perlunya moratorium perizinan tambang dan evaluasi ulang terhadap izin yang telah diberikan. Namun, langkah baru-baru ini dari pemerintah, seperti yang terlihat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2024, telah menimbulkan kontroversi. Izin tambang yang diberikan kepada organisasi masyarakat atau ormas keagamaan menuai kritik dari berbagai pihak, termasuk JATAM dan Walhi.
Walhi Sulawesi Selatan bahkan meminta ormas keagamaan untuk menolak konsesi tambang yang diberikan oleh pemerintah, sebagai langkah untuk menghindari konflik sosial dan mencegah kerusakan lingkungan lebih lanjut.
Dalam konteks ini, penting bagi semua pihak, termasuk pemerintah dan ormas keagamaan, untuk berkolaborasi dalam mencari solusi yang adil dan berkelanjutan bagi masalah kompleks ini. Langkah-langkah yang diambil harus mempertimbangkan kesejahteraan masyarakat, pelestarian lingkungan, dan keadilan sosial.
Organisasi lingkungan, seperti JATAM dan Walhi, menekankan pentingnya untuk tidak mengorbankan kepentingan masyarakat dan pelestarian lingkungan demi keuntungan ekonomi semata. Mereka mengajukan pertanyaan kritis terhadap kebijakan pemerintah yang cenderung memperluas akses terhadap sumber daya alam tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjangnya.
Konflik yang terjadi di sekitar tambang telah menimbulkan penderitaan bagi banyak pihak, termasuk petani, nelayan, dan masyarakat adat. Kriminalisasi terhadap mereka yang menentang tambang juga menjadi sorotan, menunjukkan perlunya perlindungan terhadap hak-hak masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang memengaruhi lingkungan mereka.
Saat ini, muncul perdebatan tentang tanggung jawab ormas keagamaan dalam mengelola tambang. Meskipun ada yang mendukung langkah ini sebagai kesempatan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, banyak pihak juga menyuarakan keprihatinan akan potensi konflik sosial dan kerusakan lingkungan yang lebih luas.
Dalam situasi yang kompleks ini, perlu adanya dialog terbuka dan inklusif antara pemerintah, masyarakat sipil, dan sektor swasta untuk mencari solusi yang adil dan berkelanjutan. Langkah-langkah konkret seperti moratorium perizinan dan evaluasi ulang terhadap izin yang telah diberikan dapat menjadi langkah awal yang penting dalam meredakan ketegangan dan memastikan keberlanjutan lingkungan hidup bagi generasi mendatang. (*)