KABARBURSA.COM - Pengamat ekonomi menilai, transaksi ekonomi menggunakan sistem cashless mampu mengurangi shadow economy yang selama ini terjadi. Sejauh ini, shadow economy masih menjadi tantangan besar bagi pemerintah dalam mengumpulkan penerimaan negara.
Analis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Ajib Hamdani, menyatakan bahwa perputaran uang yang tidak melalui perbankan, alias dalam bentuk tunai atau cash, cenderung tidak tertangkap oleh transaksi neraca berjalan.
“Bagaimana cara mengurangi shadow economy? Upayakan transaksi yang lebih banyak cashless, dengan pembatasan transaksi tunai maksimal Rp10 juta. Hal ini akan mengurangi shadow economy karena jika banyak uang beredar dalam bentuk cash, itu tidak akan masuk radar pemerintah,” kata Ajib.
Menurut dia, data menjadi alat ukur utama untuk mengukur kepatuhan masyarakat dalam membayar pajak. Namun, masalah kepercayaan terhadap pemerintah menggerus kepatuhan masyarakat, terutama dengan banyaknya isu di lingkungan perpajakan.
Pada dasarnya, Indonesia menerapkan sistem self-assessment dalam pelaporan pajak. Oleh karena itu, Ajib meminta pemerintah untuk mempercayai data-data yang dilaporkan oleh masyarakat, sepanjang tidak ada data pembanding. Dengan demikian, data transaksi yang dilakukan secara digital atau cashless menjadi sangat penting.
Cara lain untuk mengurangi praktik ekonomi yang berada di luar radar pemerintah adalah dengan menggunakan single identification number yang saat ini tengah diimplementasikan oleh Direktorat Jenderal Pajak melalui pemadanan Nomor Induk Kependudukan (NIK) dengan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). “Sebenarnya single identification number pernah juga diinisiasi oleh Ditjen Pajak sejak tahun 2000. Ini bukan hal baru, bukan hanya NIK dan NPWP, tetapi 17 nomor unik dijadikan satu nomor tunggal. Itu sudah didesain waktu itu. Ini adalah salah satu cara untuk mengurangi shadow economy,” lanjutnya.
Dari posisi produk domestik bruto (PDB) Indonesia pada 2023 yang mencapai Rp20.892 triliun, sebanyak 60 persen atau sekitar Rp12.000 triliun merupakan konsumsi rumah tangga. Konsumsi rumah tangga yang terekam dalam pendapatan negara dari komponen Pajak Pertambahan Nilai serta Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN/PPnBM) pada 2023 hanya senilai Rp737,64 triliun.
“Dari Rp12.000 triliun, PPN kita hanya Rp700an triliun termasuk PPnBM. Artinya volume konsumsi yang dipajaki adalah Rp7.000 triliun, berarti ada Rp5.000 triliun yang belum dipajaki, sangat mungkin itu adalah shadow economy yang belum dipajaki,” jelasnya.
Pemerintah pun mengakui bahwa persoalan tersebut masih menjadi tantangan besar. Mirisnya, dengan semakin banyak transaksi cashless ataupun digital yang dilakukan, Kementerian Keuangan justru mencatat bahwa meningkatnya shadow economy sebagai konsekuensi perubahan struktur perekonomian yang mengarah pada digitalisasi dan tingginya sektor informal.
Mengatasi shadow economy memerlukan upaya kolaboratif antara pemerintah, sektor perbankan, dan masyarakat. Meningkatkan literasi keuangan dan memperkuat sistem monitoring transaksi digital menjadi langkah penting dalam menangani tantangan ini. Dengan demikian, diharapkan shadow economy dapat dikurangi, meningkatkan penerimaan negara dari sektor pajak, dan mendukung pembangunan ekonomi yang lebih transparan dan berkelanjutan.
Shadow economy atau ekonomi bayangan, merupakan sektor ekonomi bawah tanah yang tidak terdeteksi oleh pemerintah dan mendistorsi kinerja pertumbuhan ekonomi atau produk domestik bruto (PDB) Indonesia. Akibatnya, ratusan triliun pendapatan masyarakat tidak tercatat dalam kas negara karena tidak dilaporkan pajaknya. Pemerintah, dalam Buku Nota II Keuangan dan RAPBN 2024, menyoroti peningkatan shadow economy sebagai tantangan utama dalam pencapaian target penerimaan pajak.
“Meningkatnya shadow economy sebagai konsekuensi perubahan struktur perekonomian yang mengarah pada digitalisasi dan tingginya sektor informal,” tulis buku tersebut, dikutip Kamis, 6 Juni 2024.
Digitalisasi pada berbagai sektor ekonomi memang memberikan kemudahan dalam berusaha dan menyederhanakan proses bisnis. Namun, ada potensi peningkatan penghindaran kewajiban perpajakan jika tidak ada sistem yang mampu menangkap aktivitas ekonomi digital tersebut. Hal ini akan mempengaruhi penerimaan perpajakan di masa mendatang karena basis perpajakan yang stagnan akibat tingginya shadow economy dan rendahnya kepatuhan perpajakan.
Ekonomi digital juga mendorong tingginya pekerja informal. Saat ini, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa distribusi tenaga kerja informal mencapai di atas 50 persen dari total tenaga kerja di Indonesia. Hal ini dapat memengaruhi kestabilan penerimaan perpajakan, mengingat sektor informal belum sepenuhnya tertangkap oleh sistem perpajakan di Indonesia, sehingga kepatuhan perpajakannya masih rendah.
Pemerintah telah mengambil langkah dengan menerapkan NIK menjadi NPWP guna memudahkan administrasi wajib pajak serta pemberlakuan pajak digital. Staf Khusus Menteri Keuangan bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal, menyampaikan bahwa dalam konteks UMKM, sektor informal mencakup 60 persen, sementara yang tergolong UMK mencapai 40 persen. Pihaknya terus berusaha memantau jejak shadow economy melalui pertukaran data hingga tingkat internasional.
“Ini memang tantangan bagi kami. Wajib pajak shadow economy yang sudah memenuhi kriteria tidak lagi UMKM (wajib bayar pajak), tapi berada di bawah radar. Ini kekuatan data, kami coba tingkatkan kualitas dari waktu ke waktu,” ujar Yon.
Menurut Investopedia, shadow economy mengacu pada transaksi ekonomi yang dianggap ilegal karena barang atau jasa yang diperdagangkan melanggar hukum, atau karena transaksi tidak memenuhi persyaratan pelaporan pemerintah. Ekonomi bawah tanah mencakup pendapatan yang tidak dilaporkan, seperti membayar karyawan restoran secara diam-diam atau pekerjaan seperti mengasuh anak yang tidak dilaporkan. Barter yang tidak melibatkan pertukaran uang tunai dan tidak dilaporkan juga dianggap sebagai bagian dari shadow economy.
Ketua Komite Perpajakan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Siddhi Widyaprathama, melihat potensi ekonomi yang tidak terlacak hingga 26 persen atau seperempat dari PDB Indonesia. Jika PDB Indonesia pada kuartal II/2023 mencapai Rp5.226,7 triliun, maka sebesar Rp1.358,9 triliun tidak terpantau radar.
“Pelaku usaha yang benar juga gerah dengan perilaku pengusaha shadow economy. Kalau pelaku usaha yang rajin dan patuh, tapi ada shadow economy yang tidak rajin dan tidak patuh, ini harus ada keberanian (pemerintah),” ungkapnya.
Jadi, diperlukan upaya kolaboratif antara pemerintah, sektor perbankan, dan masyarakat. Meningkatkan literasi keuangan, memperkuat sistem monitoring transaksi digital, dan pemberlakuan kebijakan yang lebih ketat menjadi langkah penting untuk mengatasi tantangan ini. Dengan demikian, shadow economy dapat dikurangi, penerimaan negara dari sektor pajak meningkat, dan pembangunan ekonomi yang lebih transparan dan berkelanjutan dapat tercapai.(*)