KABARBURSA.COM - Sejumlah karyawan swasta mengeluhkan wacana Iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Mereka menilai kebijakan ini cukup memberatkan.
Hermawan, salah satu karyawan swasta di Jakarta, mengaku tidak setuju dengan iuran Tapera. Ia menyatakan keberatan karena gajinya harus terpotong.
"Sekarang coba lihat, potongan Tapera 2,5 persen, berarti kalo gaji karyawan itu Rp5 juta, dipotong Rp125 ribu setiap bulannya," ungkap dia kepada Kabar Bursa, Senin 2 Juni 2024.
Hermawan juga mempertanyakan tujuan iuran Tapera ini. Karena saat ini, karyawan yang telah bekerja sejak 2018 itu, telah mengikuti program BPJS Ketenagakerjaan.
"Terus kalo misalkan tujuannya buat di hari tua, sekarang kan sudah ada BPJS ketenagakerjaan kenapa harus ada potongan (gaji) dengan alasan Tapera?," ujarnya.
"Sekarang hitung aja, misalkan karyawan kerja berusia 30 tahun berarti 28 tahun untuk ngumpulin iuran Tapera. Dan di tahun disaat karyawan itu pensiun memang ada rumah seharga segitu?," tambah dia.
Hermawan memandang iuran Tapera ini memberatkan dirinya. Pasalnya, gaji ia saat ini setara dengan Upah Minimum Regional wilayah Jakarta.
Di sisi lain, pria 29 tahun tersebut memberi masukan kepada pihak terkait. Jika memang kebijakan ini berjalan, ia berharap pemerintah bisa menyediakan rumah khusus bagi peserta Tapera.
"Kalau memang buat Tapera harusnya pemerintah harus menyediakan rumah khusus buat karyawan yang menyumbang Tapera itu, tanpa harus karyawan itu nyari rumah lagi," ucapnya.
Ramadhan, seorang karyawan swasta juga mengeluhkan adanya wacana kebijakan iuran Tapera ini. Ia merasa keberatan karena gajinya harus terkena potongan kembali.
"Saya enggak setuju si iuran Tapera, memberatkan aja si, karena ada tambahan lagi aja untuk potongan yang gak terlalu penting," katanya kepada Kabar Bursa.
"Terlebih lagi saya masih kerja di daerah Jakarta, mana mungkin ada tempat tinggal yang terjangkau sama Tapera itu," tambah dia.
Iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) diklaim bisa memunculkan masalah baru di masyarakat. Pemerintah pun diminta untuk mengkaji kebijakan ini.
Pengamat kebijakan publik, Trubus Rahardiansah, mengatakan bahwa iuran Tapera tidak cocok untuk pekerja swasta. Sebab dia menilai kebijakan ini cukup memberatkan. “Kalau untuk pekerja swasta itu enggak cocok karena mereka sangat tergantung terhadap pemberi kerja,” ujar Trubus kepada Kabar Bursa.
Trubus mengaku khawatir andai kebijakan iuran Tapera tersebut berjalan, para karyawan swasta bakal terkena pengakhiran hubungan kerja (PHK). Sebab, pelaku usaha diklaim juga keberatan karena dibebankan dengan iuran Tapera ini.
“Pelaku usaha bisa keberatan dibebani 0,5 persen sementara sekarang sudah ada kewajiban perusahaan untuk membayar BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) kesehatan, ketenagakerjaan, jadi akan menimbulkan banyak masalah,” katanya.
Tak hanya swasta, Trubus melihat iuran ini juga berpotensi memberatkan pekerja mandiri. Pasalnya, ia berpandangan pekerja mandiri ini tidak memiliki penghasilan tetap.
“Sementara yang (pekerja) mandiri itu kan freelance (pekerja lepas), masa freelance suruh bayar tiga persen,” jelas dia.
Kondisi tersebut membuat Trubus khawatir, karena nantinya masyarakat diperkirakan bakal menunggak dengan tidak membayar iuran Tapera. “Ini malah menimbulkan masalah, ujung-ujungnya nanti pada menunggak enggak mau bayar. Menurut saya itu negara harus hadir,” tegasnya.
kebijakan iuran Tapera ini telah ditolak sejumlah elemen, termasuk Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO). Ketua Umum APINDO, Shinta Kamdani, menyatakan kebijakan tersebut akan sangat memberatkan pekerja dan pelaku usaha.
“Sejak munculnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat, APINDO dengan tegas menolak diberlakukannya UU tersebut. APINDO telah melakukan sejumlah diskusi, koordinasi, dan mengirimkan surat kepada Presiden mengenai Tapera. Sejalan dengan APINDO, Serikat Buruh/Pekerja juga menolak pemberlakukan program Tapera,” ujarnya.
Shinta menjelaskan bahwa APINDO memiliki beberapa pandangan terhadap regulasi tersebut. Pertama, meskipun mendukung kesejahteraan pekerja dengan adanya ketersediaan perumahan, PP No.21/2024 dinilai sebagai duplikasi dari program sebelumnya, yaitu Manfaat Layanan Tambahan (MLT) perumahan pekerja bagi peserta program Jaminan Hari Tua (JHT) BP Jamsostek.
“Tambahan beban bagi pekerja (2,5 persen) dan pemberi kerja (0,5 persen) dari gaji tidak diperlukan karena bisa memanfaatkan sumber pendanaan dari dana BPJS Ketenagakerjaan,” ungkap Shinta.
Kedua, APINDO menilai pemerintah sebaiknya mengoptimalkan dana BPJS Ketenagakerjaan. Sesuai PP, maksimal 30 persen (Rp138 triliun) dari aset JHT yang mencapai total Rp460 triliun dapat digunakan untuk program MLT perumahan pekerja. Dana MLT yang tersedia sangat besar namun pemanfaatannya sangat sedikit.
Ketiga, APINDO menilai aturan Tapera akan menambah beban pengusaha dan pekerja, karena saat ini beban pungutan yang ditanggung pelaku usaha sudah mencapai angka 18,224 persen hingga 19,74 persen dari penghasilan kerja.
APINDO juga telah melakukan diskusi dan koordinasi dengan sejumlah pihak terkait, di antaranya BPJS Ketenagakerjaan dan Himpunan Bank Milik Negara (Himbara), untuk mempercepat perluasan program MLT bagi kebutuhan perumahan pekerja. (yog/prm)