KABARBURSA.COM - Pemerintah baru saja menetapkan peraturan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang bertujuan membantu masyarakat Indonesia, khususnya kalangan karyawan, memiliki rumah atau hunian. Ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang perubahan atas PP No. 25/2020 tentang Tapera.
Peraturan ini memuat pasal sebagai berikut. Pasal 15 ayat (1) regulasi tersebut menyebutkan besaran simpanan peserta ditetapkan sebesar 3 persen dari gaji atau upah untuk peserta pekerja dan penghasilan untuk peserta pekerja mandiri. Ayat (2) berbunyi, "Besaran simpanan peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk peserta pekerja ditanggung bersama oleh pemberi kerja sebesar 0,5 persen dan pekerja sebesar 2,5 persen."
Iuran Tapera ini dimulai sejak 2021, dan pada tahap awalnya hanya diwajibkan untuk pegawai negeri sipil atau aparatur sipil negara (PNS/ASN). Namun, seiring berjalannya waktu, iuran wajib ini akan diperluas ke seluruh pekerja mulai dari TNI/Polri, pegawai BUMN/BUMD/BUMDes, hingga karyawan swasta dan wiraswasta dengan target implementasi penuh pada 2027.
Pengamat Kebijakan Publik dari FISIP Universitas Diponegoro, Satria Aji Imawan menilai, potongan gaji untuk iuran Tapera bisa memberatkan banyak karyawan. Dia menilai, nominal Rp100-Rp200 ribu bernilai besar bagi sebagian besar orang.
"Artinya bukan berarti penghasilan berapa lalu di-press (tekan) sedemikian rupa untuk investasi perumahan tapi kemudian hari per harinya penghidupannya bermasalah," katanya, Rabu, 29 Mei 2024.
Menurut Satria, kebutuhan hidup setiap orang bersifat relatif dan berbeda-beda. Dengan demikian, potongan tersebut tidak bisa dipukul rata. "Tidak bisa dipukul rata 3 persen. Perlu dijelaskan logikanya bagaimana, penghasilan orang itu bervariatif, 3 persen bagi orang yang penghasilannya sekelas ibu kota ya tidak sama dengan yang di kabupaten. Tidak bisa sama, harus ada penyesuaian," katanya.
Satria meyakini bahwa prioritas hidup orang berbeda. Membeli rumah dinilainya bukanlah perkara mudah. Lagipula membeli properti bukan harga mati. “Artinya dia memang orang yang tidak hanya bisa beli rumah, tetapi juga bertanggung jawab dengan rumahnya. Di Britania Raya, dia bisa beli rumah tetapi tidak kesulitan untuk menghidupi dirinya (yang) kemudian jadi beban negara. Kebanyakan skema di luar negeri adalah rumah sewa, orang menyewa terus, bukan membeli,” tuturnya.
Selain itu, Satria juga menyoroti transparansi iuran Tapera. Pemerintah, dalam hal ini BP Tapera harus menjelaskan secara lebih transparan terkait kebijakan ini.
Di samping itu, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W. Kamdani mengatakan keberatannya dengan aturan terbaru iuran Tapera sebesar total 3 persen, lantaran dinilai hanya menambah beban baru bagi pekerja dan pelaku usaha. "Pemerintah sebaiknya mempertimbangkan kembali diberlakukannya Peraturan Pemerintah No.21/2024. Hal ini lantaran tambahan beban bagi pekerja sebesar 2,5 persen dan pemberi kerja 0,5 persen dari gaji yang tidak diperlukan," ungkap Shinta.
Shinta pun mendesak pemerintah untuk mengkaji ulang pemberlakukan PP ini, sebab dalam catatan Apindo pemberi kerja telah menanggung beban pungutan sebesar 18,24 persen-19,74 persen dari penghasilan pekerja.
Karena sebelum adanya program Tapera ini, karyawan, terutama swasta, juga telah memiliki beberapa pemotongan dari penghasilan mereka.
Yang pertama adalah iuran wajib jaminan sosial Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, semacam asuransi kesehatan ini dibebankan sebesar 5 persen dari gaji atau penghasilan per bulan pekerja dengan ketentuan 4 persen dibayarkan pemberi pekerja dan 1 persen oleh pekerja yang menjadi peserta BPJS. Pemerintah menyatakan besaran iuran yang dibayarkan masih merujuk pada aturan lama, yaitu Peraturan Presiden (Perpres) 63/2022. Aturan yang berlaku hingga hari ini tersebut masih memberlakukan sistem kelas 1, 2, 3 BPJS Kesehatan.
Dalam ketentuan iuran Perpres 63/2022, skema perhitungannya terbagi ke dalam beberapa aspek. Pertama ialah bagi peserta Penerima Bantun Iuran (PBI) Jaminan Kesehatan yang iurannya dibayarkan langsung oleh Pemerintah.
Kedua, iuran bagi peserta Pekerja Penerima Upah (PPU) yang bekerja pada Lembaga Pemerintahan terdiri dari Pegawai Negeri Sipil, anggota TNI, anggota Polri, pejabat negara, dan pegawai pemerintah non pegawai negeri sebesar 5 persen dari Gaji atau Upah per bulan dengan ketentuan: 4 persen dibayar oleh pemberi kerja dan 1 persen dibayar oleh peserta.
Ketiga, iuran bagi peserta PPU yang bekerja di BUMN, BUMD dan Swasta sebesar 5 persen dari Gaji atau Upah per bulan dengan ketentuan: 4 persen dibayar oleh Pemberi Kerja dan 1 persen dibayar oleh Peserta. Keempat, iuran untuk keluarga tambahan PPU yang terdiri dari anak keempat dan seterusnya, ayah, ibu dan mertua, besaran iuran sebesar sebesar 1 persen dari dari gaji atau upah per orang per bulan, dibayar oleh pekerja penerima upah.
Kelima, iuran bagi kerabat lain dari PPU seperti saudara kandung/ipar, asisten rumah tangga, dan lainnya, peserta pekerja bukan penerima upah (PBPU) serta iuran peserta bukan pekerja ada perhitungannya sendiri. Keenam, iuran Jaminan Kesehatan bagi Veteran, Perintis Kemerdekaan, dan janda, duda, atau anak yatim piatu dari Veteran atau Perintis Kemerdekaan, ditetapkan sebesar 5 persen dari 45 persen gaji pokok Pegawai Negeri Sipil golongan ruang III/a dengan masa kerja 14 tahun per bulan, dibayar oleh Pemerintah.
Selanjutnya, yang kedua adalah iuran jaminan sosial ketenagakerjaan BPJS Ketenagakerjaan adalah program yang memberikan perlindungan sosial kepada pekerja melalui jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian.
Program ini bertujuan untuk memastikan pekerja mendapatkan perlindungan yang memadai saat terjadi risiko di tempat kerja dan setelah masa kerja berakhir.
Dalam konteks ini, gaji karyawan akan dipotong untuk iuran berupa Jaminan Hari Tua (JHT) sebesar 2 persen dari gaji bulanan yang ditanggung pekerja. Adapun, besaran yang harus dibayarkan perusahaan adalah 3,7 persen, sehingga total potongan JHT adalah sebanyak 5,7 persen. Sementara selanjutnya, Gaji bulanan karyawan juga dipotong untuk iuran BPJS Ketenagakerjaan program JKK dan JKm dengan besaran dibebankan 0,24 persen untuk JKK dan 0,3 persen untuk JKM.
Sementara itu, karyawan juga menanggung iuran BPJS Ketenagakerjaan Jaminan Pensiun dengan tanggungan iuran sebesar 1 persen dari gaji dan 2 persen dibayar perusahaan. Dengan demikian, total potongan Jaminan Pensiun adalah 3 persen.
Yang terakhir, berdasarkan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 serta Peraturan Dirjen Pajak Nomor Per-32/PJ/2015, PPh 21 adalah pajak wajib yang dikenakan baik pada perseorangan maupun badan yang memiliki penghasilan.
Dalam perundangannya, tarif PPh21 dipotong antara 5 persen-35 persen disesuaikan dengan beberapa hal salah satunya gaji pokok dan tunjangan yang masuk ke dalam penghitungan pajak final.
Artikel ini disediakan untuk tujuan informasi semata dan bukan merupakan ajakan, rekomendasi, atau instruksi untuk membeli atau menjual saham. Segala bentuk analisis dan rekomendasi saham sepenuhnya berasal dari pihak analis atau sekuritas yang bersangkutan. KabarBursa.com tidak bertanggung jawab atas keputusan investasi, kerugian, atau keuntungan yang timbul akibat penggunaan informasi dalam artikel ini. Keputusan investasi sepenuhnya merupakan tanggung jawab investor. Investor diharapkan melakukan riset independen dan mempertimbangkan risiko dengan cermat sebelum mengambil keputusan investasi.