Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Ramai-ramai Menolak Iuran Tapera

Rubrik: Market Hari Ini | Diterbitkan: 29 May 2024 | Penulis: KabarBursa.com | Editor: Redaksi
Ramai-ramai Menolak Iuran Tapera

KABARBURSA.COM - Kebijakan pemerintah yang mewajibkan potongan gaji pekerja sebesar 3 persen untuk Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) mendapat penolakan dari berbagai elemen pekerja dan pelaku usaha. Kebijakan ini dinilai memberatkan pekerja dan pengusaha.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Shinta Kamdani, mengungkapkan bahwa regulasi tersebut ditolak oleh banyak pihak. Dan, APINDO telah mengirimkan surat kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menyoroti keberatan ini.

“Sejalan dengan APINDO, serikat buruh/pekerja juga menolak pemberlakuan program Tapera. Program Tapera dinilai memberatkan beban iuran baik dari sisi pelaku usaha dan pekerja/buruh,” ujar Shinta dalam keterangan resminya, Selasa, 28 Mei 2024.

Shinta menjelaskan bahwa APINDO pada dasarnya mendukung kesejahteraan pekerja dengan menyediakan perumahan bagi mereka. Namun, Peraturan Pemerintah No. 21/2024 dianggap duplikasi dengan program sebelumnya, yakni Manfaat Layanan Tambahan (MLT) perumahan pekerja bagi peserta program Jaminan Hari Tua (JHT) BP Jamsostek.

“Tambahan beban bagi pekerja (2,5 persen) dan pemberi kerja (0,5 persen) dari gaji tidak diperlukan karena bisa memanfaatkan sumber pendanaan dari dana BPJS Ketenagakerjaan," tambah Shinta.

APINDO menilai pemerintah sebaiknya mengoptimalkan dana BPJS Ketenagakerjaan, di mana sesuai PP maksimal 30 persen (Rp138 triliun) dari aset JHT yang memiliki total Rp460 triliun dapat digunakan untuk program MLT perumahan pekerja. Dana MLT yang tersedia pun sangat besar, namun penggunaannya sangat sedikit.

Menurut APINDO, aturan Tapera akan menambah beban pengusaha dan pekerja karena saat ini beban pungutan yang ditanggung pelaku usaha sudah mencapai angka 18,224-19,74 persen dari penghasilan kerja.

Rincian Beban Pelaku Usaha kepada Pekerja Menurut APINDO:

I. Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (berdasarkan UU No. 3/1999 'Jamsostek')

- Jaminan Hari Tua (3,7 persen)

- Jaminan Kematian (0,3 persen)

- Jaminan Kecelakaan Kerja (0,24-1,74 persen)

- Jaminan Pensiun (2 persen)

II. Jaminan Sosial Kesehatan (berdasarkan UU No. 40/2004 'SJSN')

- Jaminan Kesehatan (4 persen)

III. Cadangan Pesangon (berdasarkan UU No. 13/2003 Ketenagakerjaan) sesuai dengan PSAK (Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan) No. 24/2004 berdasarkan perhitungan aktuaria sekitar (8 persen).

“Beban ini semakin berat dengan adanya depresiasi Rupiah dan melemahnya permintaan pasar,” kata Shinta.

APINDO terus mendorong penambahan manfaat program MLT BPJS Ketenagakerjaan sehingga pekerja swasta tidak perlu mengikuti program Tapera. APINDO telah melakukan diskusi dan koordinasi dengan BPJS Ketenagakerjaan dan Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) untuk mempercepat perluasan program MLT bagi kebutuhan perumahan pekerja.

Penilaian Pengamat Ekonomi dan Kebijakan Publik

Keputusan pemerintah yang mewajibkan masyarakat membayar iuran Tapera juga dipertanyakan oleh sejumlah pengamat ekonomi dan kebijakan publik. Mohammad Faisal, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia, menilai keputusan ini tidak tepat karena dikeluarkan di tengah melemahnya daya beli masyarakat.

“Saat ini terjadi penurunan dari sisi konsumsi domestik dan penurunan daya beli masyarakat, khususnya dari kalangan kelas menengah,” ujar Faisal, Selasa, 28 Mei 2024.

Faisal menjelaskan bahwa upah riil yang negatif adalah tanda pendapatan masyarakat yang menurun. Proporsi pendapatan rumah tangga yang digunakan untuk konsumsi dan kredit juga semakin turun. Penurunan konsumsi untuk barang-barang sekunder dan tersier seperti kendaraan bermotor dan rumah menunjukkan bahwa kemampuan finansial masyarakat terbatas hanya untuk membeli kebutuhan dasar seperti makanan.

“Kebijakan pemerintah untuk mencicil pembelian rumah lewat Tapera akan membebani konsumsi masyarakat khususnya untuk kebutuhan dasar,” tegas Faisal.

Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah, juga menilai bahwa dikeluarkannya PP No. 21/2024 tidak tepat karena belum ada urgensi dari masyarakat untuk segera memiliki rumah. Kebijakan ini dianggap dipaksakan.

“PP 21 menurut saya belum urgent meskipun niatnya baik. Rumah memang butuh di tengah harga yang tinggi, namun masih ada yang lebih mendesak. Saat ini, orang lebih mementingkan kesehatan daripada mencicil rumah,” jelas Trubus.

Trubus menyarankan agar pemerintah menunda atau merevisi peraturan Tapera terlebih dahulu karena rincian serta aturan main dari regulasi tersebut belum jelas.

“Regulasi harus disosialisasikan dulu. Harus ada komunikasi yang jelas. Edukasinya gimana, masyarakat harus sadar dia membayar Tapera. Ini penting untuk melihat situasi masyarakat kita,” pungkasnya.

UU Tapera Diklaim Penyempurnaan Tabungan Rumah

Presiden Joko Widodo resmi mengesahkan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024, Senin, 20 Mei 2024. Peraturan tersebut mengubah Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2020 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).

Komisioner BP Tapera, Heru Pudyo Nugroho, menyambut baik kebijakan baru ini. Menurutnya, perubahan ini bertujuan untuk menyempurnakan pengelolaan Tapera yang dilakukan melalui penyimpanan oleh peserta secara berkala. Dana ini nantinya hanya bisa dimanfaatkan untuk pembiayaan perumahan atau dikembalikan beserta hasil pemupukannya setelah kepesertaan berakhir.

“PP ini adalah upaya pemerintah untuk meningkatkan efektivitas penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat dan akuntabilitas pengelolaan dana Tabungan Perumahan Rakyat,” kata dia dalam keterangan resmi, Selasa 28 Mei 2024.

Dia pun menjelaskan, peraturan baru ini juga mengatur beberapa hal pokok, seperti kewenangan pengaturan kepesertaan Tapera oleh kementerian terkait dan pemisahan sumber dana antara dana Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) dan dana Tapera.

BP Tapera sendiri dibentuk berdasarkan UU Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat dan diperkuat dengan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2020. Tujuannya adalah untuk menghimpun dan menyediakan dana jangka panjang yang berkelanjutan bagi pembiayaan perumahan, guna memenuhi kebutuhan rumah yang layak dan terjangkau bagi peserta. Selain itu, BP Tapera berfungsi untuk melindungi kepentingan peserta dengan sistem berbasis simpanan yang berlandaskan gotong royong.

Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) yang menjadi peserta Tapera bisa mendapatkan manfaat berupa Kredit Pemilikan Rumah (KPR), Kredit Bangun Rumah (KBR), dan Kredit Renovasi Rumah (KRR) dengan tenor hingga 30 tahun dan suku bunga tetap di bawah pasar.

Dana yang dihimpun akan dikelola oleh BP Tapera sebagai simpanan yang akan dikembalikan kepada peserta beserta hasil pemupukannya saat masa kepesertaan berakhir.

“Dana yang dikembalikan kepada peserta Tapera ketika masa kepesertaannya berakhir, berupa sejumlah simpanan pokok berikut dengan hasil pemupukannya,” jelasnya.

Lebih lanjut, Heru Pudyo Nugroho menjelaskan bahwa masyarakat yang belum memiliki rumah pertama dan masuk dalam kategori berpenghasilan rendah dapat mengajukan manfaat pembiayaan Tapera selama mereka menjadi peserta Tapera. Dalam pengelolaan dana Tapera, BP Tapera menerapkan prinsip transparansi dan akuntabilitas sesuai dengan prinsip Good Corporate Governance (GCG) dan diawasi langsung oleh Komite Tapera, Otoritas Jasa Keuangan, serta Badan Pemeriksa Keuangan.

“Dalam pengelolaan dana Tapera dimaksud, BP Tapera mengedepankan transparansi dan akuntabilitas sesuai prinsip Good Corporate Governance (GCG) dan mendapat pengawasan langsung dari Komite Tapera, Otoritas Jasa Keuangan, serta Badan Pemeriksa Keuangan,” tandas dia.