Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Mencermati Rupiah Tetap Loyo saat Neraca Dagang Surplus

Rubrik: Market Hari Ini | Diterbitkan: 17 May 2024 | Penulis: Syahrianto | Editor: Redaksi
Mencermati Rupiah Tetap Loyo saat Neraca Dagang Surplus

KABARBURSA.COM - Neraca perdagangan Indonesia kembali surplus pada April 2024 sehingga mencatatkan surplus selama 48 bulan berturut-turut, menurut Badan Pusat Statistik (BPS). Ini menandakan bahwa negara menerima lebih banyak valuta asing atau valas daripada melepasnya.

Dalam konteks tersebut, Indonesia seharusnya memiliki faktor yang dapat memperkuat nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing. Namun saat ini, kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) semakin loyo sepanjang 4 tahun terakhir.

Sepanjang 2020, rerata kurs rupiah di pasar spot ada di Rp14.529,06 per dolar AS. Tahun ini, rata-ratanya ada di Rp15.788,78 per dolar AS per 15 Mei. Bahkan tahun ini rupiah sempat berada di atas Rp16.000 per dolar AS, terlemah sejak 2020.

Kelebihan neraca perdagangan memang merupakan aspek yang positif. Namun, terdapat faktor-faktor lain yang menjadi fundamental dalam menentukan nilai tukar suatu negara, dan Indonesia masih memiliki kelemahan dalam hal ini.

Salah satunya adalah transaksi berjalan (current account), yang mencakup lebih dari sekadar neraca perdagangan barang. Indonesia sering mengalami defisit dalam transaksi berjalan, yang mencerminkan hubungan ekspor-impor barang dan jasa serta pergerakan valas.

Dari segi ketahanan dan kestabilan, pasokan valas dari transaksi berjalan cenderung lebih kokoh dan berkelanjutan dalam jangka panjang dibandingkan dengan valas yang berasal dari investasi portofolio di pasar keuangan (hot money). Oleh karena itu, tidak mengherankan bahwa transaksi berjalan menjadi salah satu aspek fundamental yang penting dalam menentukan nilai mata uang suatu negara.

Pada 2023, sebagai contoh, Indonesia mencatat defisit transaksi berjalan sebesar USD1,57 miliar atau setara dengan 0,11 persen. Meskipun neraca perdagangan barang menunjukkan surplus sebesar USD46,35 miliar, hal ini tercermin dari surplus neraca perdagangan yang diumumkan oleh BPS.

Namun, defisit terjadi pada neraca jasa sebesar USD17,92 miliar. Selain itu, neraca pendapatan primer juga mencatat defisit sebesar USD35,36 miliar. Dalam neraca jasa, defisit terbesar disumbangkan oleh sektor transportasi, mencapai USD8,7 miliar. Angka ini lebih besar dibandingkan dengan defisit tahun 2022 sebesar USD8,2 miliar.

Antoni Arif Priadi, Direktur Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan, sebelumnya mengatakan bahwa sekitar 60.000 kapal mengangkut barang hingga 1 miliar ton keluar masuk perairan Indonesia setiap tahunnya. Namun, masih terlihat dominasi pemain asing.

Menurut Antoni, dari semua kapal yang terlibat dalam aktivitas ekspor dan impor di perairan Indonesia antara 2017 dan 2022, sekitar 37 persen merupakan kapal Indonesia, sedangkan 63 persen lainnya berasal dari luar negeri. Pada tahun 2022, jumlah kapal yang aktif di perairan Indonesia mencapai 10.534, dan sekitar 9.458 di antaranya adalah kapal asing.

Artinya, Indonesia  masih lebih banyak ‘membakar’ valas ketimbang menerimanya. Wajar saja neraca jasa masih terus defisit, karena ketergantungan yang sangat tinggi terhadap pelaku usaha asing.

Sementara defisit di neraca pendapatan primer pada 2023 lebih dalam ketimbang 2022 yang sebesar USD35,3 miliar. Penyebab utamanya adalah peningkatan pembayaran imbal hasil investasi sejalan dengan meningkatnya penarikan utang luar negeri dan tingginya suku bunga global.

Tidak cuma di transaksi berjalan, Indonesia juga masih menjalankan defisit fiskal. Saat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) masih defisit, maka pemerintah harus menambalnya dengan menarik utang. Kala utang itu datang dari luar negeri, maka kebutuhan valas pemerintah meningkat. Hasilnya, rupiah akan tertekan.

Presiden Joko Widodo bahkan pernah memberikan wanti-wanti soal ini. Tren suku bunga tinggi, seperti yang disebut sebelumnya, juga membawa risiko dalam pelaksanaan APBN.

"Semua takut masalah itu, karena ketika bunga pinjaman naik sedikit saja, beban terhadap fiskal akan sangat besar," kata Kepala Negara, belum lama ini.

Defisit transaksi berjalan dan defisit fiskal kerap disebut sebagai defisit kembar alias twin deficit. Sayangnya, ini membuat fundamental penyokong rupiah menjadi rapuh.

Dengan fundamental yang rapuh tersebut, maka tidak heran rupiah dalam tren melemah. Tanpa perbaikan struktural, sulit bagi twin deficit untuk pergi dan rupiah akan terus dihantui depresiasi.

Faktor Eksternal Pelemahan Rupiah

Rupiah melemah disebabkan oleh beberapa faktor. Sentimen global menjadi faktor pertama yang menekan rupiah. Di dalamnya adalah proyeksi masih hawkishnya bank sentral AS, The Fed dan ekonomi China yang di bawah ekspektasi pasar.

Pelemahan rupiah dipengaruhi oleh sentimen terkait rilis data fundamental AS, di mana inflasi dan penjualan ritel tercatat berada di atas ekspektasi pasar. Perkembangan data AS tersebut semakin menunjukkan bahwa ekonomi negara itu masih cukup kuat.

Selain itu, memanasnya konflik di Timur Tengah, khususnya konflik Iran-Israel, menyebabkan semakin kuatnya sentimen risk off. Akibatnya, mata uang emerging markets termasuk rupiah mengalami pelemahan terhadap dolar AS.

Yang terakhir ialah indeks dolar AS selama periode libur Lebaran tercatat menguat secara signifikan, dari 104 menjadi di atas 106.