KABARBURSA.COM - Managing Director Energy Shift Institute, Putra Adhiguna mengatakan penggunaan pembangkit listrik bertenaga surya dan angin (PLTS) di Indonesia kalah jauh jika dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya, yakni Vietnam.
Diketahui, penggunaan PLTS di Indonesia hanya mencapai 0,2 persen pada 2022. Sedangkan, Vietnam telah mencapai 13 persen menggunakan PLTS pada 2023.
“Seiring dengan dunia yang berlomba-lomba mengadopsi energi terbarukan, Indonesia ketinggalan dibandingkan Vietnam dan India," kata Putra Adhiguna, Rabu, 8 Mei 2024.
Padahal, kata dia, perusahaan dan investor semakin menuntut ketersediaan energi bersih untuk investasi mereka. Pasalnya kini tenaga surya jadi pemasok utama pertumbuhan listrik di seluruh dunia.
Bahkan, dibandingkan dengan batubara, tenaga surya unggul dengan mampu memberikan tambahan tenaga listrik dua kali lebih banyak.
Adapun tenaga surya mempertahankan status sebagai sumber listrik dengan pertumbuhan tercepat di dunia selama 19 tahun berturut-turut, melampaui tenaga angin, dan menjadikannya sumber listrik baru terbesar selama dua tahun berturut-turut.
"Tenaga surya menghasilkan tambahan dua kali lebih banyak dibandingkan batu bara pada 2023," ungkap dia.
Sementara, jika mengacu pada laporan tahunan Global Electricity Review 2024 pertumbuhan tenaga surya dan angin mendorong listrik energi terbarukan dunia melampaui 30 persen untuk pertama kalinya pada 2023.
Namun, sangat disayangkan pertumbuhan energi terbarukan di Indonesia tak setinggi tren global, dengah hanya 20 persen listrik berasal dari energi terbarukan pada 2022.
Kendati demikian, merujuk pada renewables target tracker milik EMBER, mengatakan Kemitraan Transisi Energi yang Berkeadilan (JETP) mengusulkan agar 44 persen pembangkitan listrik di Indonesia berasal dari energiterbarukan pada 2030.
Namun, hal ini bergantung pada mobilisasi dana JETP di tahun mendatang, untuk merealisasikan proyek-proyek yang diusulkan dalam rencana investasi dan kebijakan komprehensif (CIPP).
“Kita sedang menyaksikan perubahan di tingkat global, dan pemerintahan baru Indonesia perlu mempertimbangkan implikasi makro dan peluang transisi energi, melampaui fikasasi tradisional pada angka biaya-manfaat yang sempit dari operator jaringan listrik,” pungkas Putra.
Artikel ini disediakan untuk tujuan informasi semata dan bukan merupakan ajakan, rekomendasi, atau instruksi untuk membeli atau menjual saham. Segala bentuk analisis dan rekomendasi saham sepenuhnya berasal dari pihak analis atau sekuritas yang bersangkutan. KabarBursa.com tidak bertanggung jawab atas keputusan investasi, kerugian, atau keuntungan yang timbul akibat penggunaan informasi dalam artikel ini. Keputusan investasi sepenuhnya merupakan tanggung jawab investor. Investor diharapkan melakukan riset independen dan mempertimbangkan risiko dengan cermat sebelum mengambil keputusan investasi.