KABARBURSA.COM - Revisi atas Peraturan Pemerintah No. 96/2021 dinilai tidak mendesak atau urgen untuk dilakukan saat ini, terutama di tengah dugaan bahwa alasan revisi tersebut adalah untuk mempercepat pemberian izin usaha pertambangan khusus (IUPK) PT Freeport Indonesia (PTFI) yang baru akan berakhir pada tahun 2041.
Menurut Direktur Eksekutif Energy Watch, Daymas Arangga, sebenarnya tidak ada alasan yang memaksa untuk merevisi PP No. 96/2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara, yang salah satunya mengatur soal perizinan berusaha di bidang pertambangan minerba.
Daymas berpendapat bahwa PP No. 96/2021 justru telah memberikan penegasan mengenai proses pencabutan IUPK sesuai dengan prosedur yang berlaku. Oleh karena itu, revisi terhadap peraturan tersebut dianggap tidaklah mendesak dan seharusnya tidak menjadi prioritas saat ini.
“Kami dari Energy Watch tidak melihat adanya hal buruk ya dari PP No. 96/2021, jadi sebetulnya tidak ada urgensi untuk direvisi,” ujar Daymas dilansir Bloomberg, Senin 18 Maret 2024. Daymas mengatakan belum mengetahui dengan pasti tentang poin-poin yang bakal direvisi dalam PP 96/2021, sehingga tidak bisa menjelaskan konsekuensi dari revisi tersebut.
Namun, bila ada revisi yang terkait dengan tenggat waktu pengajuan perpanjangan IUPK oleh perusahaan tambang, maka ada potensi bahwa izin tersebut dapat diberikan lebih cepat dari yang seharusnya, yaitu minimal 5 tahun sebelum berakhirnya masa penambangan.
Menurut Daymas, ada hal lain yang lebih mendesak untuk ditinjau ulang, yaitu pembentukan Satuan Tugas (Satgas) Penataan Penggunaan Lahan dan Penataan Investasi melalui Peraturan Presiden (Perpres) No. 70/2023 tentang Pengalokasian Lahan Bagi Penataan Investasi.
Lebih lanjut, kewenangan dari satgas yang berafiliasi dengan Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dinilai tumpang tindih dengan tugas pokok dan fungsi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Sebelumnya, Pemerintah Indonesia merencanakan untuk meminta tambahan porsi saham sebesar 10{8cdba62bfb50754487d4178c8d496a33eb803d8113a90f0f8a83093564b6ce12} di PT Freeport Indonesia (PTFI). Rencana penambahan porsi saham tersebut diharapkan bisa dilakukan bersamaan dengan perpanjangan IUPK PTFI dari 2041 menjadi 2061.
Namun, berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 96/2021, permohonan perpanjangan jangka waktu kegiatan operasi produksi untuk pertambangan diajukan paling cepat dalam jangka waktu 5 tahun atau paling lambat dalam jangka waktu 1 tahun sebelum berakhirnya masa operasi.
Sehingga, IUPK Freeport seharusnya baru dapat diperpanjang paling cepat pada 30 Desember 2036.
Namun, Menteri ESDM Arifin Tasrif membenarkan bahwa pemerintah sedang merevisi PP tersebut terkait izin perusahaan tambang asal Amerika setelah 2041. Bahkan, menurut Arifin, aturan tersebut telah dalam tahap harmonisasi dan sedang diproses di Sekretariat Negara.
"PP-nya sudah di Setneg, masih menggunakan draf lama. Tinggal di Setneg, dari kami sudah selesai. Sudah ada kepastian." ujar Arifin baru-baru ini.
Belakangan, Arifin juga menyebut bahwa alasan pemerintah mempercepat pemberian ekstensi IUPK kepada Freeport, meskipun izin eksistingnya masih berlaku hingga 2041, adalah sebagai bentuk insentif bagi perusahaan yang telah membangun smelter di dalam negeri.
Menurut Arifin, ini juga sejalan dengan proses divestasi 10{8cdba62bfb50754487d4178c8d496a33eb803d8113a90f0f8a83093564b6ce12} saham Freeport kepada MIND ID. Dia menjelaskan bahwa UU Minerba mensyaratkan bahwa perpanjangan IUPK harus berdampak pada peningkatan pendapatan pemerintah.
Arifin berdalih bahwa perpanjangan izin tersebut harus dilakukan lebih cepat untuk memaksimalkan potensi cadangan emas, tembaga, serta mineral lainnya di Papua yang selama ini dikelola oleh Freeport.