Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Pengamat: Jangan Salahkan Masyarakat Soal PLTS Atap

Rubrik: Market Hari Ini | Diterbitkan: 08 March 2024 | Penulis: Syahrianto | Editor: Redaksi
Pengamat: Jangan Salahkan Masyarakat Soal PLTS Atap

KABARBURSA.COM - Pengampanye 350 Indonesia Suriadi Darmoko mengkritisi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang menyalahkan masyarakat soal Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap.

Pasalnya, Suriadi menilai permen itu sendiri menggerus minat masyarakat. Itu juga merupakan revisi terhadap Permen ESDM Nomor 49 Tahun 2018 dan Permen ESDM Nomor 26 Tahun 2021.

"Permen Nomor 2 justru menghambat partisipasi masyarakat memasang PLTS Atap atau dalam transisi energi, karena menghilangkan insentif bagi masyarakat yang ingin memasang PLTS Atap," kata dia kepada KabarBursa, Jumat, 8 Maret 2024.

Secara spesifik, pengamat energi itu menyoroti penghapusan skema ekspor-impor listrik PLTS Atap konsumen kepada PT PLN dalam peraturan terbaru.

"Padahal, skema tersebut itu sebagai faktor pengurang tagihan di permen-permen sebelumnya itu meningkatkan antusiasme masyarakat untuk memasang PLTS Atap," tuturnya.

Adapun dalam Permen Nomor 49 disebutkan penghitungan skema ekspor-impor. Penghitungannya, 0,65:1 atau 65 persen banding 100 persen.

"Jadi setiap ekspor oleh rumah tangga dalam jaringan listrik PLN itu angkanya dihitung 0,65 persen, sementara listrik yang dikonsumsi dihitungnya satu jadi ada margin yang untuk PLN," ungkapnya.

Sementara itu dalam Permen Nomor 26 sebetulnya dijelaskan skema ekspor-impor senilai 1:1 atau 100 persen banding 100 persen. Namun peraturan ini tidak pernah diterapkan pemerintah dan PLN.

"Kalau itu diterapkan kan sebenarnya maka sebenarnya antusiasme masyarakat dalam terlibat transisi energi bahkan PLTS Atap makin masif," ucap Suriadi.

Sayangnya, pemerintah malah menerapkan surat edaran PLN yang berisi tentang setiap PLTS Atap hanya mendapat kuota pemakaian 10 sampai dengan 15 persen setiap rumah tangga.

"Jadi hambatan PLTS Atap tidak datang dari partisipasi masyarakat, tidak juga datang dari hambatan biaya, tidak datang dari situ atau itu faktor yang dicari-cari aja alasannya, karena faktor utamanya adalah inkonsistensi kebijakan pemerintah," pungkas Suriadi. (ari/prm)