KABARBURSA.COM - Era SBY disebut lebih gemilang pertumbuhan ekonominya dibandingkan era Jokowi. Sebagai Presiden pertama yang dipilih secara langsung, tantangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sangat besar. Konflik ekonomi, sosial, dan politik banyak terjadi di awal masa reformasi. Namun, hal tersebut mampu diselesaikan dengan baik. Bahkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia mampu menyaingi negara adidaya Amerika Serikat.
Dikutip dari laman perpunas.go.id, Presiden SBY bersama Jusuf Kalla (JK) mencanangkan program 100 hari yang berisi beragam kebijakan.
Seperti menciptakan situasi yang aman dan damai, menciptakan kesejahteraan rakyat, serta menciptakan iklim demokrasi yang berkeadilan.
“Saat era Pemerintahan Partai Demokrat, tidak ada orang dipenjara gara-gara perbedaan politik. Atmosfer kebebasan berpendapat di muka umum berdasarkan undang-undang dibebaskan,” ujar Michael Edy Hariyanto, Ketua DPC Partai Demokrat Banyuwangi. Beragam cobaan masalah sosial, politik, ekonomi, serta keamanan mampu diatasi dengan baik oleh Kabinet Indonesia Bersatu yang dibentuk Pemerintahan SBY-JK.
“Rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia era Pemerintahan Partai Demokrat adalah 6,4{ebdbbc6e6776edee5015c7a1b8b6f85fb1398462916d4269298bb0b7121d79da} selama kurun waktu 5 tahun Pemerintahan,” tutur Michael. Dengan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi tersebut, Pemerintahan era Partai Demokrat mampu melampaui pertumbuhan ekonomi Amerika, Jepang, dan Eropa.
“Padahal waktu itu ada Bom Bali, tsunami di Aceh, Gempa Yogjakarta dan Jawa Tengah, Lumpur Lapindo Porong Sidoarjo, Letusan Gunung Merapi, dan kebakaran hutan. Tapi pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap meningkat,” katanya.
Dengan pertumbuhan ekonomi yang sangat baik, Partai Demokrat berharap dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 mampu kembali memimpin Pemerintahan agar kesejahteraan rakyat kembali menjadi prioritas utama.
“Saya pikir semua sudah tahu dan menyadari bahwa era Pemerintahan Partai Demokrat sangat mensejahterakan rakyat. Itu memang kenyataan yang sudah tidak terbantahkan,” jelas Michael.
Nilai Produk Domestik Bruto (PDB) pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, atau Jokowi, naik 36,7{ebdbbc6e6776edee5015c7a1b8b6f85fb1398462916d4269298bb0b7121d79da} selama delapan tahun masa pemerintahannya. Kenaikan tersebut jauh lebih kecil dibandingkan era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai PDB atas dasar harga konstan 2000 pada awal pemerintahan Presiden SBY atau 2004 tercatat Rp 1.660,6 triliun.
Pada 2013, nilai PDB Indonesia atas dasar harga konstan 2000 tercatat Rp 2.770,3 triliun. Artinya, pada periode tersebut nilai PDB domestik bertambah Rp 1.109,7 triliun atau naik 66,83{ebdbbc6e6776edee5015c7a1b8b6f85fb1398462916d4269298bb0b7121d79da}. BPS mengubah tahun dasar perhitungan PDB dari 2000 menjadi 2010. Berdasarkan hitungan tahun dasar 2010, PDB atas harga konstan pada 2013 tercatat Rp 8.156,49 triliun.
Tahun 2013 adalah masa terakhir Presiden SBY menjabat penuh. Pada akhir Oktober 2014, pemerintahan berganti dari SBY ke Jokowi.
Pada 2014, nilai PDB atas harga konstan tercatat Rp 8.564,87 triliun. Delapan tahun kemudian atau pada 2022, nilai PDB atas harga konstan tercatat Rp 11.710,4 triliun.
Artinya, nilai PDB Indonesia naik Rp 3.145,53 triliun atau 36,73{ebdbbc6e6776edee5015c7a1b8b6f85fb1398462916d4269298bb0b7121d79da} pada era Presiden Jokowi. Secara prosentase, pertumbuhan ekonomi era Presiden SBY juga lebih tinggi. Selama 2004-2013, rata-rata ekonomi Indonesia tumbuh 5,78{ebdbbc6e6776edee5015c7a1b8b6f85fb1398462916d4269298bb0b7121d79da} sementara pada 2014-2022 sebesar 4,12{ebdbbc6e6776edee5015c7a1b8b6f85fb1398462916d4269298bb0b7121d79da}.
Baik Presiden Jokowi ataupun SBY pernah sama-sama diuntungkan oleh booming komoditas. Namun, masa pemerintahan Jokowi diuji oleh pandemi Covid-19 yang meluluhlantakkan ekonomi global dan domestik.
SBY diuntungkan oleh booming komoditas pada pertengahan 2000an yang ditopang oleh pertumbuhan double digit China, sementara booming komoditas Jokowi pada 2022 karena perang Rusia-Ukraina.
Artikel ini disediakan untuk tujuan informasi semata dan bukan merupakan ajakan, rekomendasi, atau instruksi untuk membeli atau menjual saham. Segala bentuk analisis dan rekomendasi saham sepenuhnya berasal dari pihak analis atau sekuritas yang bersangkutan. KabarBursa.com tidak bertanggung jawab atas keputusan investasi, kerugian, atau keuntungan yang timbul akibat penggunaan informasi dalam artikel ini. Keputusan investasi sepenuhnya merupakan tanggung jawab investor. Investor diharapkan melakukan riset independen dan mempertimbangkan risiko dengan cermat sebelum mengambil keputusan investasi.