Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

IHSG Terpuruk, Pasar Modal Indonesia Tetap Bergairah IPO

Meski IHSG melemah tajam dan investor bersikap wait and see, pipeline IPO, obligasi, dan rights issue tetap tumbuh signifikan.

Rubrik: Market Hari Ini | Diterbitkan: 08 May 2025 | Penulis: Desty Luthfiani | Editor: Syahrianto
IHSG Terpuruk, Pasar Modal Indonesia Tetap Bergairah IPO Direktur Penilaian Perusahaan Bursa Efek Indonesia (BEI), I Gede Nyoman Yetna, di Gedung BEI, Jakarta pada Kamis, 8 Mei 2025. (Foto: KabarBursa/Desty Luthfiani)

KABARBURSA.COM - Pasar modal Indonesia masih menunjukkan ketahanan di tengah tekanan global, salah satunya kebijakan Federal Reserve (The Fed) yang kembali menahan suku bunga acuan pada level saat ini.

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) masih mengalami pelemahan dalam beberapa sesi terakhir, merefleksikan sikap wait and see para investor. Performa indeks secara year-to-date (ytd) juga mencatat penurunan tajam, melemah 13 persen hingga awal Mei sehingga menempatkannya sebagai salah satu indeks berkinerja terburuk di kawasan Asia.

Setelah menyentuh level tertinggi di 7.910,56 pada September 2024, IHSG tertekan hingga menyentuh titik terendah sekitar 6.000 pada Maret 2025, menandai koreksi lebih dari 20 persen dari puncaknya. Kondisi pasar yang volatil mencapai puncaknya pada 18 Maret 2025, ketika IHSG sempat anjlok 7,1 persen dalam satu hari, memicu diberlakukannya penghentian sementara perdagangan selama 30 menit sebagai langkah stabilisasi. 

Sebagai gambaran, di akhir 2024, IHSG masih bertahan di kisaran 7.036,57, mencatat kinerja yang cukup positif dari tahun sebelumnya. Namun demikian, tren negatif yang mendominasi awal 2025 memperlihatkan perubahan arah pasar yang cukup signifikan, mencerminkan meningkatnya tekanan baik dari faktor eksternal maupun dinamika domestik yang mempengaruhi sentimen investor. 

Direktur Penilaian Perusahaan Bursa Efek Indonesia (BEI), I Gede Nyoman Yetna, menegaskan bahwa pasar modal Indonesia tetap menjadi pilihan menarik di tengah ketidakpastian global. 

"Teman-teman, investasi di capital market, di Bursa Efek Indonesia, menjadi salah satu pilihan yang menarik di antara kondisi yang ada seperti yang kamu sampaikan tadi. The Fed masih dalam posisi yang saat ini posisi stand still lah," ujar Nyoman di Gedung BEI, Jakarta pada Kamis, 8 Mei 2025.

Saat ditanya mengenai prospek IPO di tengah kondisi pasar yang menantang, Nyoman menepis kekhawatiran penurunan minat. Nyoman dengan tegas menjawab, "Nah ini, enggak. Jadi saya tegasin, teman-teman sekalian, kalau kita komparasi ASEAN dan non-ASEAN, kita yang paling tinggi di ASEAN. Di non-ASEAN, kita sama dengan New York Stock Exchange," ujar dia.

Nyoman juga mengungkapkan bahwa saat ini terdapat sekitar 30 perusahaan yang sudah masuk pipeline IPO. "Pre-active kan model juga, tapi di pipeline ada 30. Tolong dicatat ya," katanya sambil menambahkan bahwa hingga kini belum ada BUMN yang masuk daftar tersebut. "Sepertinya sih belum masuk ke BUMN ya," sambung dia.

Menariknya, ia menyebut ada dua perusahaan yang masuk kategori Lighthouse IPO pada tahun ini. "Ada dua," jawab Nyoman ketika ditanya lebih lanjut. Mengenai sektor usahanya, ia menjelaskan, " Sektornya energi yang satu, satu lagi consumer," kata dia.

Nyoman menegaskan bahwa meskipun tekanan eksternal masih ada, geliat IPO tetap positif dan menjadi bukti daya tarik pasar modal Indonesia. Ia juga menambahkan bahwa BEI terus memantau kondisi pasar untuk memastikan stabilitas dan pertumbuhan berkelanjutan.

Pasar Modal Indonesia Berada di Posisi Terbawah ASEAN

Bedasarkan data Bursa Efek Indonesia, pasar modal Indonesia diklaim menorehkan pencapaian signifikan dalam tren pencatatan saham, mempertegas posisinya sebagai bursa teraktif di kawasan ASEAN. 

Berdasarkan data terbaru dari BEI per 28 April 2025, Indonesia mencatat 57 perusahaan baru yang melantai di bursa sepanjang periode 2024 hingga Maret 2025. Angka ini menempatkan Indonesia di posisi puncak, mengungguli Thailand dengan 55 perusahaan, Singapura 51 perusahaan, Vietnam 37 perusahaan, dan Malaysia yang hanya mencatatkan 16 perusahaan baru.

Tren positif ini memperkuat reputasi BEI sebagai pasar yang dinamis dan terus berkembang, meskipun di tengah tantangan makroekonomi global. Sejak tahun 2015, laju pencatatan saham di Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang konsisten. Pada 2015, BEI hanya mencatat 14 perusahaan dengan total nilai emisi sebesar Rp54,1 triliun. Tren ini terus menanjak hingga mencapai puncaknya pada 2023 dengan 79 pencatatan baru dan nilai emisi Rp62,6 triliun.

Tahun 2024 sempat mengalami penurunan dengan hanya 24 pencatatan saham baru dan nilai emisi Rp6,9 triliun. Namun, pemulihan yang kuat mulai terlihat kembali pada kuartal pertama 2025, menandakan kebangkitan pasar yang cepat dan solid. Grafik pertumbuhan ini menjadi bukti ketahanan pasar modal Indonesia dalam menghadapi berbagai tantangan eksternal.

Di level regional, data juga menunjukkan bahwa Indonesia tidak hanya unggul dalam jumlah pencatatan, tetapi juga secara nilai emisi yang terus stabil dari tahun ke tahun. Dibandingkan dengan bursa lain di ASEAN, BEI memimpin jauh dan mulai mendekati dinamika yang biasa terlihat di bursa-bursa global besar seperti New York Stock Exchange.

Tren Kinerja IHSG di Awal 2025

Diberitakan sebelumnya, Nyoman sempat memaparkan data geliat kenaikan di pasar modal sepanjang 2025 dengan pipeline pencatatan saham, obligasi, dan aksi korporasi yang terus bertumbuh. 

Hingga 2 Mei 2025, sebanyak 13 perusahaan telah resmi mencatatkan sahamnya di BEI, menghimpun dana publik sebesar Rp6,94 triliun. Antusiasme emiten pun terlihat dari daftar antrean yang terus bertambah, dengan 30 perusahaan kini berada dalam pipeline pencatatan saham BEI.

"Terdapat 3 perusahaan yang masuk kategori aset skala kecil dengan total aset di bawah Rp50 miliar, 17 perusahaan berskala menengah dengan aset antara Rp50 miliar hingga Rp250 miliar, dan 10 perusahaan berskala besar dengan aset di atas Rp250 miliar," kata Nyoman melalui keterangan tertulis yang diterima KabarBursa.com, Minggu, 4 Mei 2025.

Peminat dari berbagai sektor cukup merata, mencerminkan luasnya potensi sektor riil yang ingin menghimpun dana melalui pasar modal. Secara sektoral, pipeline pencatatan saham ini mencakup beragam industri.

Tercatat 1 perusahaan berasal dari sektor bahan baku (Basic Materials), 4 perusahaan dari sektor barang konsumsi siklikal (Consumer Cyclicals), serta 5 perusahaan dari sektor barang konsumsi non-siklikal (Consumer Non-Cyclicals). 

Sektor energi diwakili oleh 3 perusahaan, sementara sektor keuangan dan kesehatan masing-masing menyumbang 4 perusahaan.

Di sektor industri terdapat 3 perusahaan yang bersiap melantai, dan sektor infrastruktur mencatat 1 perusahaan. Tidak ada perusahaan dari sektor properti dan real estat dalam pipeline kali ini, sementara sektor teknologi diisi oleh 2 perusahaan dan sektor transportasi & logistik oleh 3 perusahaan.

Di sisi pasar obligasi, aktivitas juga menunjukkan dinamika yang tinggi. Sampai saat ini, telah diterbitkan 44 emisi dari 31 penerbit Efek Bersifat Utang dan Sukuk (EBUS), dengan dana yang dihimpun mencapai Rp57,4 triliun.

Pipeline obligasi turut menunjukkan geliat signifikan, dengan 56 emisi dari 43 penerbit yang tengah menunggu giliran. Menariknya, sektor keuangan menjadi tulang punggung pipeline ini dengan 23 perusahaan, disusul sektor energi sebanyak 8 perusahaan.

Sektor bahan baku menyumbang 4 perusahaan, sektor barang konsumsi non-siklikal tercatat 3 perusahaan, dan sektor industri diwakili oleh 2 perusahaan. Sektor kesehatan, infrastruktur, dan properti & real estat masing-masing mencatat 1 perusahaan, sementara sektor teknologi serta transportasi & logistik tidak tercatat dalam pipeline obligasi saat ini.

Untuk aksi korporasi, khususnya rights issue, BEI mencatat bahwa hingga 2 Mei 2025 telah ada 4 perusahaan yang berhasil menerbitkan rights issue dengan total nilai Rp0,86 triliun.

Pipeline rights issue pun masih berjalan, dengan 4 perusahaan tercatat sedang memproses penerbitannya. Pipeline ini terdiri atas 2 perusahaan dari sektor bahan baku, 1 perusahaan dari sektor kesehatan, serta 1 perusahaan dari sektor transportasi & logistik.

Hal ini juga menjadi sinyal positif bagi investor, karena semakin beragamnya sektor yang masuk ke lantai bursa akan memperkuat fundamental pasar kita ke depan.

Sebelumnya, Nyoman sempat membeberkan ada setidaknya 32 perusahaan yang antre untuk melakukan buyback atau pembelian kembali saham.

"Relaksasi kebijakan buyback tanpa RUPS (rapat umum pemegang saham) yang diberikan OJK (Otoritas Jasa Keuangan) telah dimanfaatkan oleh 21 emiten, dengan total nilai anggaran sebesar Rp14,97 triliun. Hingga saat ini, sebanyak 15 emiten telah melaksanakan buyback dengan realisasi mencapai Rp429,72 miliar atau sebesar 2,87 persen," kata Nyoman dalam keterangannya di Jakarta, Jumat, 11 April 2025. 

Namun, dia tidak menjelaskan perusahaan mana saja yang telah melakukan pembelian kembali. (*)