KABARBURSA.COM - Kementerian Perdagangan (Kemendag) melalui Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) telah memberikan persetujuan kepada Indonesia Commodity Derivatives Exchange (ICDX) sebagai bursa tenaga listrik terbarukan.
Persetujuan ini setelah Kemendag dan Bappebti menerbitkan kontrak komoditas Renewable Energy Certificate (REC) untuk ditransaksikan melalui bursa berjangka di Indonesia.
Kontrak REC digagas Kemendag sebagai langkah untuk mendorong penggunaan energi baru terbarukan (EBT) dan komitmen dalam penurunan emisi karbon.
Kepala Bappebti Tirta Karma Senjaya mengatakan, REC merupakan sertifikat produksi tenaga listrik yang dihasilkan pembangkit listrik EBT sesuai standar nasional dan/atau internasional.
"Adapun landasan hukum dilakukannya perdagangan pasar fisik tenaga listrik terbarukan adalah Peraturan Bappebti (Perba) Nomor 11 Tahun 2024 tentang Tata Cara Pelaksanaan Perdagangan Pasar Fisik Tenaga Listrik Terbarukan di Bursa Berjangka," kata Tirta dalam keterangan tertulisnya, dikutip Rabu, 7 Mei 2025.
Tirta menjelaskan, regulasi tersebut bertujuan mewujudkan pelaksanaan perdagangan pasar fisik tenaga listrik yang bersumber dari energi terbarukan secara teratur, wajar, efisien, efektif, dan transparan dengan mengedepankan perlindungan nasabah.
Kontrak REC adalah bentuk inovasi pengembangan kontrak komoditi di bursa berjangka.
Adapun melalui perizinan ini, maka ICDX resmi menjadi bursa berjangka pertama di Indonesia yang memperdagangkan kontrak fisik REC.
Sementara itu, Direktur Utama ICDX Fajar Wibhiyadi menyatakan, pihaknya menyambut baik kepercayaan sebagai bursa berjangka penyelenggara perdagangan pasar fisik tenaga listrik terbarukan.
"Pemberian izin ini merupakan langkah strategis dalam mendukung transisi energi nasional dan percepatan pemanfaatan energi bersih di Indonesia,” ujar Fajar.
Menurut dia, ICDX berkomitmen menyediakan infrastruktur perdagangan terpercaya bagi pelaku industri energi terbarukan. ICDX akan terus bersinergi dengan Kementerian Perdagangan, kementerian/lembaga terkait, dan seluruh pemangku kepentingan dalam membangun ekosistem perdagangan EBT yang berdaya saing.
Potensi Ekonomi Energi Terbarukan bisa Capai Rp8.824 Triliun
Sebelumnya diberitakan, Indonesia sedang memacu langkah untuk jadi pemain utama dalam industri energi bersih. Menurut Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) yang dirilis akhir 2024, pemerintah menargetkan kapasitas pembangkit energi pada 2060 mencapai 444 gigawatt (GW), dan sebanyak 73,6 persen di antaranya—atau 326 GW—bakal disumbang dari energi baru dan terbarukan (EBT).
Dari jumlah itu, matahari, angin, dan baterai masing-masing diharapkan menyumbang 109 GW, 74 GW, dan 34 GW. Tapi itu belum seberapa. Kalau ditambah produksi hidrogen hijau, kapasitasnya bisa naik signifikan menjadi 266 GW untuk PLTS, 73,5 GW untuk PLTB, dan 58 GW untuk penyimpanan energi. Target ini jadi bagian dari komitmen Indonesia menuju net zero emission (NZE) pada 2060.
Melihat peluang itu, Institute for Essential Services Reform (IESR) mendorong pemerintah agar tak sekadar membangun pembangkit, tapi juga serius mengembangkan industri manufaktur energi terbarukan—dari hulu ke hilir. Idenya bukan cuma soal mengejar target emisi, tapi juga membangun ekonomi yang lebih mandiri, berdaya saing, dan tak gampang goyah oleh krisis global.
Dalam kajian bertajuk Market Assessment for Indonesia’s Manufacturing Industry for Renewable Energy, IESR menghitung kalau sektor manufaktur energi surya, angin, dan baterai digarap serius, potensi ekonominya bisa mencapai USD551,5 miliar atau sekitar Rp8.824 triliun pada 2060. Selain itu, sektor ini juga bisa menyerap hingga 9,7 juta job-years, alias total pekerjaan yang tercipta sepanjang periode waktu tersebut.
Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa bilang, meski potensi energi terbarukan Indonesia lebih dari 3.686 GW, pemanfaatannya masih minim. Ia mencontohkan PLTS, yang baru dimanfaatkan 0,32 GW dari total potensi 3.300 GW. Rendahnya pemanfaatan ini membuat industri manufakturnya mandek.
“Industri manufaktur teknologi energi bersih kita masih tahap awal,” ujar Fabby. Ia mengingatkan, tanpa rantai pasok dalam negeri yang kuat, Indonesia berisiko terlalu bergantung pada impor teknologi. Itu bukan hanya bikin kita rentan terhadap gangguan pasokan global, tapi juga bikin kita kehilangan potensi ekonomi dari transisi energi ini.
Fabby menyebut, temuan IESR bisa jadi referensi untuk program hilirisasi yang jadi prioritas Prabowo-Gibran. Kalau dikembangkan serius, kata dia, tiga sektor energi ini bisa jadi tumpuan transformasi ekonomi jangka panjang Indonesia yang tak lagi mengandalkan komoditas mentah, tapi nilai tambah dan teknologi.
Kajian IESR juga menyisir secara detail tiga sektor teknologi EBT, yakni surya, angin, dan baterai. Untuk PLTS, hingga pertengahan 2024 kapasitas produksi modul surya di dalam negeri tercatat 4,7 GW per tahun. Angka ini diprediksi naik jadi 19 GW per tahun sebelum 2030 seiring pengembangan industri yang terintegrasi dari wafer hingga sel silikon. Potensinya bahkan sampai USD236,3 miliar dan 5,7 juta job-years pada 2060.
Menurut laporan Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA), tenaga surya merupakan opsi paling realistis untuk mempercepat pencapaian target 75,6 GW pada 2035. Dari 45 GW proyek pembangkit listrik yang prospektif, sekitar 16,5 GW di antaranya berasal dari tenaga surya, jauh lebih besar dibandingkan target yang disebutkan dalam Just Energy Transition Partnership (JETP) sebesar 3,1 GW dan juga 30 persen lebih tinggi dari target RUKN 2030 sebesar 12,8 GW.
PLTB, sayangnya, masih jalan di tempat. Padahal secara global, kapasitasnya tumbuh 36 persen tahun lalu. Indonesia sendiri baru punya dua PLTB aktif dengan kapasitas 154,3 MW, meski potensi totalnya tembus 155 GW. Kalau digarap, sektor ini bisa menyumbang USD75,2 miliar dan menyerap 1,8 juta pekerjaan dalam tiga dekade ke depan.
Lain cerita dengan baterai. Sektor ini lagi naik daun. Terutama karena permintaan baterai kendaraan listrik yang meroket sampai 25 kali lipat dibanding 2022. Jika tren ini dijaga, potensi ekonominya bisa tembus USD240 miliar dan menciptakan 2,2 juta pekerjaan sampai 2060.
Analis Data Energi IESR, Abyan Hilmy Yafi, menekankan pentingnya membangun industri manufaktur EBT dalam negeri agar Indonesia tidak cuma jadi pasar, tapi juga produsen yang mengendalikan rantai pasok dan bahan baku. Ia bilang, kalau ini dikelola baik, kita bisa menghindari risiko fluktuasi harga global dan jadi lebih tahan banting dalam menghadapi gejolak dunia.
Hilmy menambahkan, “Untuk memastikan keuntungan dari pengembangan ini, pemerintah perlu mendukung dengan kebijakan, insentif, dan pendanaan yang jelas serta konsisten.”
Studi IESR kemudian menawarkan empat rekomendasi konkret. Pertama, perkuat rantai pasok, minimal untuk perakitan panel surya, turbin angin, dan baterai. Kedua, pemerintah harus menyusun peta jalan adopsi EBT yang sejalan dengan peta jalan industri manufaktur.
Ketiga, strategi industri harus dijadikan strategi ekonomi nasional, lengkap dengan insentif, pembiayaan, dan kebijakan yang terintegrasi dari hulu ke hilir. Keempat, siapkan tenaga kerja lewat pendidikan dan pelatihan yang ramah lingkungan agar siap menghadapi industri masa depan.(*)