KABARBURSA.COM - Efisiensi anggaran yang dilakukan pemerintah tampaknya mulai memberikan dampak pada sektor riil, khususnya di industri pariwisata.
Peneliti Pusat Makro Ekonomi dan Keuangan INDEF, Abdul Manap Pulungan, menyebutkan bahwa pelemahan pertumbuhan kredit pada subsektor penyediaan akomodasi serta makan dan minuman menjadi sinyal penting melemahnya aktivitas ekonomi pada kuartal pertama 2025.
“Lalu ini ada satu data yang bisa menggambarkan bagaimana dampak efisiensi anggaran. Kita melihat dari kredit penyediaan akomodasi, penyediaan makan dan minum untuk perhotelan,” jelas Abdul Manap dalam diskusi virtual ekonomi melambat pertanda gawat? Selasa, 6 Mei 2025.
Ia menjelaskan bahwa pada Februari 2025, pertumbuhan kredit di sektor ini hanya berada di angka 4,5 persen. Angka tersebut jauh lebih rendah dibandingkan kondisi Juli 2024 yang masih mampu tumbuh sekitar 10 persen, terutama karena terdorong oleh momentum liburan anak sekolah.
Tren pelambatan ini dipandang sebagai gambaran nyata bagaimana kebijakan efisiensi anggaran berdampak langsung pada kegiatan ekonomi yang melibatkan sektor jasa dan konsumsi masyarakat menengah atas.
“Kalau kita bandingkan dengan tahun lalu, memang kredit penyediaan akomodasi, makan dan minum cenderung melambat. Ini yang memproyeksikan bagaimana efisiensi anggaran itu mempengaruhi sektor-sektor yang terkait,” tegas Abdul Manap.
Diberitakan Kabarbursa.com sebelumnya, Industri perhotelan di Indonesia mengalami tekanan akibat kebijakan penghematan anggaran pemerintah yang mulai diterapkan sejak November 2024.
Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Hariyadi Sukamdani, menyebutkan bahwa pemangkasan belanja perjalanan dinas dan kegiatan MICE (Meeting, Incentives, Conferences, and Exhibitions) memberikan dampak signifikan terhadap tingkat hunian hotel, terutama di wilayah yang bergantung pada permintaan dari instansi pemerintah.
"Kebijakan ini memang bertujuan untuk menjaga stabilitas keuangan negara di tengah ketidakpastian global. Namun, dampaknya terhadap industri perhotelan cukup besar, terutama bagi hotel yang selama ini bergantung pada permintaan dari instansi pemerintah dan sektor MICE," ujar Hariyadi dalam keterangannya kepada KabarBursa.com, Minggu, 23 Maret 2025.
Ia memaparkan daata survei yang dilakukan PHRI bersama Horwath HTL mengungkapkan bahwa permintaan kamar hotel dari pemerintah menyumbang sekitar 5 persen hingga 7 persen dari total bisnis hotel di Indonesia. Sementara itu, kegiatan MICE memiliki kontribusi yang lebih besar, berkisar antara 6 persen hingga 21 persen, terutama di hotel berbintang tiga ke atas.
Menurut dia, ketergantungan pengeluaran pemerintah dan permintaan terkait MICE sangat mendominasi di segmen hotel bintang 3 ,4 dan 5. Serta destinasi pintu masuk gerbang domestik yang populer. Namun gejolak muncul setelah kebijakan efisiensi ini.
"Tren historis 2018 dan 2019 menunjukkan bahwa keputusan untuk mengurangi anggaran perjalanan resmi dan dinas tidak hanya mempengaruhi akun pemerintah tapi juga mengganggu dinamika pasar secara keseluruhan," ujar dia.
Padahal menurut dia, bisnis MICE memiliki efek ganda karena sebagai pendominasi sektor pemasok makanan dan minuman, transportasi dan keuangan.
Pemangkasan anggaran ini, kata dia berimbas pada perubahan sentimen pasar yang cukup drastis dalam beberapa bulan terakhir.
PHRI melakukan survei kepada 726 responden dengan mencakup 717 hotel dari 30 provinsi dan kota di Indonesia. " Hotel-hotel di Pulau Jawa sering dijadikan aktivitas kegiatan pemerintah merupakan kontributor utama dalam survei ini," kata dia.
Proporsi surveinya Jawa Barat 19 persen, Jawa Tengah 15 persen, DKI Jakarta 10 persen, Bali 8 persen, Jawa Timur 7 persen, Daerah Istimewa Yogyakarta 5 persen, Sumatra Barat 5 persen, Aceh 4 persen, Kalimantan Selatan 3 persen dan Sumatra Utara 3 persen.
Pada November 2024, lebih dari 50 persen responden dalam survei PHRI masih optimistis bahwa kinerja tahun 2024 akan lebih baik dibandingkan tahun sebelumnya. Namun, pada Desember 2024, sentimen mulai netral, dengan 29 persen responden menyatakan bahwa dinamika pasar berubah, meski destinasi wisata populer masih mampu menahan dampak negatif selama musim liburan setelah adanya kebijakan efisiensi.
Memasuki Januari 2025, mayoritas pelaku industri perhotelan mulai merasakan dampak penuh dari kebijakan ini. "Sebanyak 83 persen responden merasa berada dalam posisi yang tidak menguntungkan untuk memulai tahun fiskal baru," ungkap Hariyadi.
Dampak terbesar terjadi di hotel-hotel yang berlokasi di Pulau Jawa, yang menjadi pusat aktivitas pemerintahan. Beberapa perubahan signifikan yang terjadi akibat kebijakan ini meliputi penurunan tingkat hunian, penyesuaian tarif kamar, serta efisiensi operasional yang mengarah pada pengurangan tenaga kerja dan layanan.
Survei itu mencatat bahwa 42 persen hotel mengalami fasilitas ruang pertemuan yang tidak terpakai akibat berkurangnya kegiatan MICE. Ruang ballroom, meeting room, dan function hall yang sebelumnya menjadi andalan hotel untuk menjaring pemasukan kini lebih sering kosong, bahkan pada hari kerja yang biasanya ramai dengan acara pemerintah.
Selain itu, beberapa fasilitas pendukung juga terdampak secara signifikan, antara lain:
Pusat bisnis (business center) yang biasanya digunakan untuk rapat kecil dan kerja remote kini sepi peminat.
Layanan katering dan banquet mengalami penurunan pemesanan karena minimnya acara berskala besar.
Area lounge eksekutif dan VIP rooms yang biasa dipakai untuk jamuan makan pejabat atau tamu korporat kini jarang digunakan.
Paket full-board meeting yang mencakup penginapan, konsumsi, dan ruang konferensi mengalami penurunan drastis.
Kondisi ini membuat hotel harus mencari strategi baru untuk memaksimalkan ruang yang ada, seperti menawarkan paket meeting hybrid dengan teknologi konferensi online atau menyewakan ruangan untuk kegiatan lain seperti co-working space dan event komunitas.
Hariyadi menambahkan bahwa pelaku industri perhotelan tengah berupaya beradaptasi dengan kondisi ini, salah satunya dengan meningkatkan promosi untuk wisatawan domestik dan mengembangkan paket wisata yang menarik bagi segmen korporasi.
"Perlu dicatat bahwa dalam jangka panjang akan menciptakan pasar sensitif red ocean yang mengganggu pertumbuhan destinasi jangka panjang," ujar dia.
Namun, tanpa adanya dukungan kebijakan yang lebih akomodatif, pemulihan sektor ini diperkirakan akan berjalan lebih lambat. Ia berharap pemerintah dapat meninjau kembali kebijakan ini, terutama yang berkaitan dengan perjalanan dinas dan kegiatan MICE, karena industri perhotelan masih menjadi salah satu pilar penting dalam pertumbuhan ekonomi nasional.
Pelaku industri juga mengusulkan berbagai insentif yang dapat mendorong peningkatan permintaan dari sektor lain agar dampak kebijakan ini tidak semakin dalam. Tanpa strategi yang lebih komprehensif, industri perhotelan dikhawatirkan akan terus mengalami tekanan yang lebih berat sepanjang 2025.(*)