Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Pertanian Tumbuh Dua Digit, Saham Sektor Pangan Rebound?

Produksi padi dan jagung melonjak, saham emiten pangan menguat meski ekonomi melambat.

Rubrik: Market Hari Ini | Diterbitkan: 06 May 2025 | Penulis: Desty Luthfiani | Editor: Syahrianto
Pertanian Tumbuh Dua Digit, Saham Sektor Pangan Rebound? Seorang petani tengah menggarap perkebunan. (Foto: KabarBursa/Abbas Sandji)

KABARBURSA.COM - Badan Pusat Statistik (BPS) baru saja merilis data pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal I 2025 yang tercatat sebesar 4,87 persen secara tahunan (yoy), menjadi level terendah sejak kuartal IV tahun 2021. 

Di balik kelesuan itu, satu sektor justru mencuri perhatian yakni sektor pertanian. Sektor ini malah  melonjak 10,52 persen dan menyumbang 1,11 persen poin terhadap pertumbuhan nasional atau angka yang langsung memicu optimisme sekaligus tanda tanya besar.

Di sela laju ekonomi yang melambat, pertanian muncul seperti pahlawan dadakan. Sub-sektor tanaman pangan, terutama padi dan jagung, mendominasi dengan lonjakan produksi lebih dari 50 persen dibanding periode yang sama tahun lalu. Fenomena tersebut disebabkan panen raya yang lebih merata dan cuaca yang bersahabat, bukan semata hasil kebijakan struktural yang baru berjalan.

Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, memandang capaian itu harus dipandang dari berbagai sisi. 

“Kami harus objektif melihat bahwa pertumbuhan tinggi sektor pertanian saat ini lebih bersifat musiman, bukan karena ada lonjakan produktivitas yang bersifat struktural,” ujar Achmad di Jakarta pada Selasa, 6 Mei 2025.

Menurut Achmad, narasi yang menyebut pertanian sebagai bukti keberhasilan kebijakan pemerintah perlu dikritisi dengan hati-hati. "Sektor lain sedang lesu, itu sebabnya pertanian terlihat menonjol. Tapi ini bukan solusi jangka panjang,” tutur dia.

Di sisi lain, industri pengolahan yang selama ini menjadi motor penggerak ekonomi hanya tumbuh 4,55 persen, sementara sektor perdagangan turut melemah. Konsumsi pemerintah bahkan terkoreksi hingga minus 1,38 persen karena absennya belanja pemilu yang sempat memompa pertumbuhan tahun lalu.

Achmad menyoroti bahwa situasi tersebut mengingatkan pada krisis 1998, ketika sektor pertanian menjadi tumpuan ekonomi karena sektor modern tumbang. 

“Ini sinyal bahwa kita (Indonesia) harus waspada. Jangan sampai euforia sesaat di sektor pertanian menutupi perlunya reformasi sektor produktif yang lain,” ungkapnya.

Pemerintah memang tengah menjalankan berbagai program swasembada pangan seperti cetak sawah baru, digitalisasi pupuk bersubsidi, dan penyediaan alat mesin pertanian. Namun, efek kebijakan tersebut dinilai belum terasa signifikan dalam jangka pendek. “Untuk bicara swasembada yang berkelanjutan, butuh restrukturisasi besar di hulu hingga hilir, termasuk distribusi dan teknologi,” kata Achmad.

Achmad juga menegaskan bahwa target pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 5,2 persen tahun ini akan sangat menantang jika tak ada percepatan kebijakan. “Belanja pemerintah perlu didorong lebih agresif, insentif sektor industri harus diperluas, dan moneter tetap dijaga akomodatif agar konsumsi rumah tangga tetap kuat,” jelasnya.

Sementara, pengamat pertanian sekaligus pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Komite Pendayagunaan Pertanian (KPP), dan Anggota Kelompok Kerja Dewan Ketahanan Pangan (2010-2020), Khudori, mengatakan pertumbuhan tajam tersebut didorong oleh panen raya padi dan jagung serta meningkatnya permintaan domestik selama Ramadan dan Idulfitri. 

Data BPS menunjukkan subsektor tanaman pangan mencatat pertumbuhan spektakuler sebesar 42,26 persen (yoy), sementara subsektor peternakan tumbuh 8,83 persen seiring naiknya konsumsi daging dan telur.

Produksi beras dan jagung juga melonjak drastis. Triwulan I-2025 mencatat produksi beras mencapai 9,04 juta ton dan jagung 4,64 juta ton, naik signifikan dibanding periode yang sama tahun lalu yang hanya mencatat 5,6 juta ton dan 3,4 juta ton. Faktor utama pendorong lonjakan ini adalah kondisi iklim yang normal di akhir 2024, berbeda dari tahun sebelumnya yang terimbas El Nino.

"El Nino yang terjadi sejak pertengahan 2023 hingga April 2024 sangat memukul sektor pertanian, terutama padi dan jagung. Namun, program pompanisasi yang digalakkan Kementerian Pertanian saat itu cukup menyelamatkan agar dampaknya tidak terlalu parah," ujar Khudori melalui keterangan resminya yang diterima KabarBursa.com pada Selasa, 6 Mei 2025.

Khudori menambahkan bahwa rebound yang terjadi pada kuartal I 2025 tidak lepas dari normalisasi iklim yang mendorong irama tanam lebih optimal. 

"Puncak panen padi dan jagung tahun ini bergeser lebih awal dibanding 2024. Kalau tahun lalu puncaknya terjadi di April dan Februari, tahun ini maju ke Maret dan Februari. Ini berpengaruh besar terhadap kinerja triwulan pertama," ujar dia.

Menurut Khudori, meski rebound ini menggembirakan, pola pertanian Indonesia tetap sangat bergantung pada faktor iklim atau cuaca. 

"Ketergantungan yang tinggi ini jadi masalah struktural yang harus dipecahkan. Selama masih bergantung penuh pada iklim, risiko anjloknya produksi selalu ada setiap kali terjadi fenomena seperti El Nino," ungkapnya.

Dia menekankan perlunya terobosan teknologi dan inovasi untuk mengurangi ketergantungan ini. Inovasi seperti pengembangan varietas tahan kekeringan, perluasan irigasi modern, dan teknologi modifikasi cuaca harus dipercepat. Pemerintah juga harus mempertahankan komitmen jangka panjang untuk memperkuat ketahanan pangan.

Kementerian Pertanian sejak 2023 memang gencar mengoptimalkan program pompanisasi, penggunaan alat dan mesin pertanian (alsintan), serta memulihkan alokasi subsidi pupuk hingga 9,5 juta ton. Di bawah kepemimpinan Menteri Pertanian Amran Sulaiman, fokus anggaran dan tenaga dikerahkan untuk menggenjot produksi padi dan jagung sebagai prioritas.

Khudori juga mengapresiasi langkah pemerintah yang mempertahankan subsidi pupuk dan menyederhanakan mekanismenya. "Itu keputusan tepat. Namun, ke depan, pembangunan infrastruktur air dan sistem irigasi harus diperkuat agar produksi bisa lebih stabil tanpa tergantung cuaca ekstrem," kata dia.

Peningkatan Sektor Pertanian dan Pengaruhnya ke Laju Saham

Pergerakan indeks sektor pertanian di Bursa Efek Indonesia (BEI) hari ini menunjukkan dinamika yang menarik, mencerminkan kondisi pasar yang penuh tantangan sekaligus peluang. 

Data perdagangan pasar modal hari ini menunjukkan sejumlah saham perkebunan terpantau bergerak negatif misal PT Astra Agro Lestari Tbk. (AALI) misalnya, harus rela turun 1,24 persen ke level Rp5.975, diikuti PT Dharma Satya Nusantara Tbk (DSNG) yang melemah 1,90 persen ke Rp775, serta PT Sinar Mas Agro Resources and Technology Tbk (SMAR) yang terkoreksi tipis 0,27 persen ke Rp3.640. 

Tekanan tersebut tak lepas dari pergerakan harga minyak kelapa sawit mentah (CPO) yang masih bergejolak di pasar global meski sektor pertanian dianggap bertumbuh namun tidak dengan minyak mentah. 

Kendati demikian, tidak semua emiten berkinerja lesu PT Austindo Nusantara Jaya Tbk. (ANJT) justru mencatat kenaikan sebesar 2,33 persen ke Rp1.755, sementara PT Citra Borneo Utama Tbk (CBUT) melonjak cukup signifikan sebesar 4,25 persen ke Rp1.105. 

Dari sektor pangan, PT FKS Food Sejahtera Tbk (AISA) mencuri perhatian dengan kenaikan 3,50 persen ke Rp148, didukung ekspektasi peningkatan konsumsi domestik menjelang momen hari raya. Sementara itu, raksasa industri makanan PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP) turut menorehkan kenaikan sebesar 0,67 persen ke level Rp11.275. Kinerja positif ICBP dipandang pasar sebagai hasil konsistensi strategi bisnis dan manajemen risiko yang solid dalam menghadapi fluktuasi biaya bahan baku.

Secara umum, jika PDB sektor pertanian menunjukkan tren pertumbuhan yang positif. Dampaknya, kepercayaan investor terhadap emiten-emiten sektor pertanian cenderung menguat karena potensi kenaikan pendapatan dan laba bersih perusahaan.

Namun, jika PDB sektor pertanian melambat atau terkontraksi akibat faktor seperti cuaca ekstrem, gangguan distribusi, atau harga komoditas yang melemah, hal ini bisa menjadi katalis negatif bagi saham-saham di sektor tersebut. Misalnya, pelemahan harga CPO (minyak kelapa sawit mentah) sering memukul kinerja emiten seperti AALI dan SMAR karena pengaruhnya langsung terhadap pendapatan mereka. (*)