Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Rupiah Menguat: Ekonomi Waspada!

Pengamat Mata Uang, Ibrahim Assuaibi mengatakan saat ini pasar optimis, konsumsi atau belanja pemerintah akan terus dipercepat.

Rubrik: Market Hari Ini | Diterbitkan: 06 May 2025 | Penulis: Hutama Prayoga | Editor: Pramirvan Datu
Rupiah Menguat: Ekonomi Waspada! Perkantoran Sudirman. foto: Abbas/KabarBursa.com

KABARBURSA.COM - Nilai tukar rupiah ditutup menguat sebesar 6 poin ke level Rp16.449 terhadap dolar AS pada perdagangan Selasa, 6 Mei 2025.

Penguatan rupiah terjadi di tengah sikap optimisme pasar setelah Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 4,87 persen secara tahunan pada kuartal I 2025. Baju 

Pengamat Mata Uang, Ibrahim Assuaibi mengatakan saat ini pasar optimis, konsumsi atau belanja pemerintah akan terus dipercepat dan mitigasi dampak ketidakpastian terus dilakukan. 

"Pemerintah terus memperluas cakupan implementasi program prioritas bernilai tambah lebih tinggi seperti Makan Bergizi Gratis (MBG)," ujar dia dalam keterangan tertulis di Jakarta, Selasa, 6 Mei 2025.

Ibrahim menyebut anggaran program MBG telah ditambah menjadi Rp171 triliun. Sementara realisasinya mulai terjadi percepatan sejak Maret dan mencapai Rp2,3 triliun per April. Sebelumnya dalam dua bulan pertama tahun ini, realisasi hanya mencapai Rp300 miliar.  

Ibrahim bilang, pemerintah turut memberikan dukungan untuk sektor perumahan melalui insentif perpajakan, termasuk dengan perluasan target perumahan.

"Melalui Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) menjadi lebih tinggi dari sebelumnya 220.000," katanya. 

Adapun, lanjut dia, belanja pemerintah memang sempat tertahan akibat efisiensi dan realokasi anggaran yang dilakukan pada awal tahun. Alhasil, belanja K/L tertahan sejak Januari hingga Sri Mulyani membuka blokir anggarannya pada Maret 2025.

Untuk perdagangan besok, Ibrahim memprediksi mata uang rupiah akan bergerak fluktuatif namun ditutup menguat direntang  Rp16.390 - Rp16.450.

Ekonomi RI Tumbuh Tapi Rapuh, Apa Sinyal untuk Kuartal II?

Sebelumnya diberitakan, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan I tahun 2025 tercatat sebesar 4,87 persen secara tahunan (year-on-year/yoy). 

Kinerja ini ditopang oleh sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan yang mencatat pertumbuhan tertinggi, yaitu 10,52 persen. Namun, di balik angka positif itu, terdapat kontraksi ekonomi sebesar 0,98 persen secara kuartalan (quarter-to-quarter), yang memunculkan kekhawatiran mengenai ketahanan ekonomi nasional memasuki kuartal II.

Direktur Neraca Produksi BPS, Puji Agus Kurniawan, menjelaskan bahwa Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga berlaku pada Januari–Maret 2025 mencapai Rp5.665,9 triliun, atau Rp3.264,5 triliun berdasarkan harga konstan 2010. 

Menurutnya, kontraksi secara kuartalan mencerminkan pelemahan aktivitas domestik akibat rendahnya serapan belanja negara. “Penurunan signifikan dalam konsumsi pemerintah sebesar 39,89 persen menjadi penyebab utama kontraksi. Ini mencerminkan pola musiman sekaligus tantangan struktural dalam realisasi belanja fiskal,” ujar Puji dalam Berita Resmi Statistik (BPS), Senin, 5 Mei 2025.

Dari sisi lapangan usaha, sektor pertanian menjadi penopang utama dengan kontribusi kuat, diikuti oleh jasa lainnya, jasa perusahaan, serta transportasi dan pergudangan yang juga mencatatkan pertumbuhan tinggi. Namun, sektor pertambangan dan penggalian mengalami kontraksi cukup dalam secara kuartalan, yakni 7,42 persen, seiring volatilitas harga komoditas global.

Sementara itu, dari sisi pengeluaran, ekspor barang dan jasa tumbuh 6,78 persen yoy, menjadi motor pendorong di tengah lesunya konsumsi rumah tangga. Konsumsi domestik hanya tumbuh 4,89 persen, yang meskipun dominan secara struktur PDB (54,53 persen), dinilai belum cukup kuat menahan tekanan ekonomi eksternal dan internal.

Direktur Neraca Pengeluaran BPS, Pipit Helly Sorayan, mencatat bahwa selain konsumsi pemerintah, hampir semua komponen pengeluaran mengalami tekanan. “Ekspor dan impor barang serta jasa masing-masing terkontraksi 6,11 persen dan 10,20 persen secara kuartalan. Ini memberikan sinyal perlambatan aktivitas ekonomi yang lebih luas,” jelasnya.

Secara spasial, Pulau Jawa masih menjadi kontributor utama dengan porsi 57,43 persen dan pertumbuhan 4,99 persen. Sulawesi bahkan mencatat pertumbuhan tertinggi sebesar 6,40 persen. Namun, ketimpangan masih terlihat, terutama di wilayah timur Indonesia seperti Maluku dan Papua yang hanya tumbuh 1,69 persen.

Situasi triwulan I 2025 ini menjadi semacam "peringatan dini" bagi para pemangku kebijakan dan pelaku pasar. Meski angka tahunan masih dalam jalur positif, tren kuartalan menurun bisa menjadi indikasi tekanan yang lebih dalam apabila tidak segera diantisipasi.

Sejumlah ekonom menyoroti lemahnya daya beli masyarakat sebagai sinyal utama yang perlu diwaspadai. Bahkan momentum Ramadan dan Lebaran yang biasanya mendorong konsumsi, dinilai gagal memberikan efek maksimal. Jika konsumsi rumah tangga tidak segera digenjot, misalnya lewat insentif fiskal atau pengendalian inflasi, risiko perlambatan lebih tajam di kuartal II akan meningkat.

Prospek pertumbuhan pada triwulan berikutnya pun dipengaruhi oleh banyak faktor: realisasi belanja APBN, penguatan nilai tukar rupiah, pemulihan sektor ekspor di tengah perang dagang global, hingga efektivitas komunikasi kebijakan pemerintah pasca transisi kekuasaan. Di tengah tantangan ini, strategi koordinasi fiskal dan moneter menjadi krusial untuk menjaga ritme pertumbuhan tetap berada di jalur target pemerintah sebesar 5,2 persen.

“Beberapa indikator konsumsi dan ekspor masih menunjukkan resiliensi. Tapi sinyal-sinyal pelemahan tetap harus diwaspadai dengan serius,” kata Puji Agus menutup paparan BPS.

Belanja Pemerintah Mulai Mengalir

Salah satu penopang utama penguatan rupiah adalah percepatan belanja pemerintah. Program Makan Bergizi Gratis (MBG) mulai menunjukkan realisasi yang signifikan—dari hanya Rp300 miliar pada dua bulan pertama tahun ini, menjadi Rp2,3 triliun hingga April. Akselerasi ini dimungkinkan setelah pemerintah membuka blokir anggaran Kementerian/Lembaga sejak Maret.

Tak hanya itu, sektor perumahan juga ikut terdongkrak lewat perluasan target Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) menjadi lebih dari 220.000 unit. Kebijakan ini ditopang insentif fiskal dan diyakini bisa membantu menjaga konsumsi di tengah tantangan daya beli.

Di Balik Optimisme, Ada Risiko yang Perlu Diantisipasi

Meski indikator makro mulai membaik, tekanan di beberapa sektor masih terasa. Konsumsi rumah tangga, misalnya, hanya tumbuh 4,89 persen. Padahal kontribusinya terhadap produk domestik bruto (PDB) lebih dari separuh. Bahkan momen Ramadan dan Lebaran tak mampu mengangkat daya beli secara signifikan.

Dari sisi eksternal, tekanan juga datang dari kinerja perdagangan. Ekspor dan impor barang serta jasa mengalami kontraksi masing-masing sebesar 6,11 persen dan 10,20 persen. Di saat yang sama, sektor pertambangan juga melemah cukup dalam dengan penurunan 7,42 persen akibat fluktuasi harga komoditas global.

Ketimpangan pertumbuhan antardaerah pun menjadi sorotan. Pulau Jawa tetap mendominasi dengan kontribusi 57,43 persen terhadap ekonomi nasional, sementara wilayah seperti Maluku dan Papua hanya tumbuh 1,69 persen. Ketidakseimbangan ini bisa menjadi batu sandungan dalam upaya menjaga pertumbuhan yang inklusif.

Apa Artinya Bagi Investor?

Bagi pelaku pasar, kondisi saat ini menciptakan kombinasi peluang dan tantangan. Di satu sisi, langkah agresif pemerintah dalam belanja dan stimulus memberikan prospek cerah bagi sektor properti, konsumsi dasar, dan infrastruktur. Emiten-emiten domestik yang berada di ekosistem tersebut berpotensi terdampak positif.

Namun di sisi lain, sinyal perlambatan dari sisi konsumsi dan ekspor menuntut kehati-hatian. Investor disarankan untuk tetap selektif dalam memilih instrumen maupun sektor, serta mempertimbangkan strategi lindung nilai terhadap fluktuasi nilai tukar.

Untuk menjaga ritme pertumbuhan tetap berada di jalur, sinergi antara kebijakan fiskal dan moneter menjadi kunci. Pemerintah perlu memastikan realisasi belanja tetap konsisten, sementara Bank Indonesia diharapkan menjaga stabilitas kurs dan inflasi dalam koridor yang kondusif.

Situasi ekonomi memang belum sepenuhnya stabil, tapi bukan berarti tertutup peluang. Bagi investor yang cermat membaca arah kebijakan dan pergerakan pasar, fase ini justru bisa menjadi momen yang strategis untuk reposisi portofolio.(*)