Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

IHSG Dibuka Menguat 0,56 Persen ke Level 6.870

Merujuk data perdagangan RTI Business, IHSG kuat karena 235 saham berada di zona hijau. Sementara 58 saham melemah dan 242 saham stagnan.

Rubrik: Market Hari Ini | Diterbitkan: 06 May 2025 | Penulis: Hutama Prayoga | Editor: Pramirvan Datu
IHSG Dibuka Menguat 0,56 Persen ke Level 6.870 Hall Bursa Efek Indonesia di Bilangan SCBD, Jakarta Selatan. Foto: KabarBursa.com/Abbas

KABARBURSA.COM - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dibuka menguat sebesar 0,56 persen atau mengalami kenaikan 38 poin ke level 6.870.

Merujuk data perdagangan RTI Business, IHSG kuat karena 235 saham berada di zona hijau. Sementara 58 saham melemah dan 242 saham stagnan. 

Sedangkan pada pembukaan pagi ini, volume perdagangan tercatat sebesar 381,176 juta lembar saham dengan nilai transaksi sebesar Rp253.612 miliar.

Adapun berdasarkan data dari Stockbit, pergerakan positif IHSG di sesi I juga tidak lepas dari kenaikan di sejumlah sektor utama. Seperti infrastruktur yang naik 0,67 persen, diikuti sektor non-siklikal dengan penguatan 0,79 persen dan sektor barang konsumsi dasar (basic industry) yang naik sebesar 0,91 persen. 

Di sisi lain, saham PT Ketrosden Triasmitra Tbk (KETR) menjadi salah satu top gainer pagi ini dengan kenaikan sebesar 28,32 persen ke level 222. 

Saham PT Megapower Makmur Tbk (MPOW) juga menguat 15,79 persen ke harga 110. Emiten  PT Teknologi Indonesia Tbk (JATI) menambah daftar saham penguat dengan lonjakan 15,56 persen ke posisi 104.

Selain itu, PT Jaya Trishindo Tbk (HELI) dan Duta Intidaya Tbk (DAYA) masing-masing mengalami kenaikan 15,08 persen dan 10,64 persen. 

Berpindah ke sisi top loser, PT Harta Djaya Karya Tbk (MEJA) tercatat sebagai salah satu saham dengan koreksi terdalam dengan penurunan 9,26 persen ke harga 98. 

Disusul oleh PT Nusantara Almazia Tbk (NZIA) yang turun 7,25 persen, dan PT Teladan Prima Agro Tbk (TLDN) yang melemah 6,35 persen.

PT Tekno9 Indonesia Tbk (NINE) dan Lavender Bina Cendikia Tbk (BMBL) juga mencatat penurunan masing-masing 6,25 persen dan 5,88 persen. 

Awas Koreksi IHSG Hari ini, Analis Bocorkan Level Kritisnya

Sebelumnya diberitakan, IHSG kembali mencatatkan penguatan pada perdagangan terakhir, Senin, 5 Mei 2025, dengan naik sebesar 0,24 persen ke level 6.831. 

Meski secara teknikal menunjukkan tren jangka pendek yang masih positif, sejumlah analis menilai bahwa ruang penguatan indeks mulai terbatas. Hal ini dikaitkan dengan posisi indeks yang saat ini berada pada akhir fase wave [a] dari pola korektif wave B, menurut analisis gelombang (Elliott Wave). 

Herditya Wicaksana, Head of Research Retail MNC Sekuritas, menjelaskan bahwa posisi IHSG saat ini tengah mendekati titik jenuh penguatan teknikal. 

“Kami menilai bahwa IHSG saat ini berada di ujung wave [a] dari wave B, yang berarti ada potensi indeks akan segera memasuki fase koreksi wave [b],” ujar Herditya dalam laporan riset teknikal harian, Selasa, 6 Mei 2025.

Menurut Herditya, level resistance penting yang perlu dicermati dalam waktu dekat berada pada kisaran 6.877 hingga 6.933. Jika penguatan IHSG hari  terus berlanjut, maka area 6.899 menjadi target jangka pendek selanjutnya. Namun ia juga mewanti-wanti bahwa fase ini bersifat terbatas, sehingga investor perlu berhati-hati terhadap potensi pembalikan arah dalam waktu dekat.

"Kami melihat area 6.899 sebagai titik potensial penguatan maksimal. Namun, apabila terjadi reversal, maka IHSG berisiko menguji support kuat di area 6.364–6.618 sebagai bagian dari wave [b]," tegas Herditya.

Dari sisi indikator teknikal lainnya, IHSG masih disokong oleh volume pembelian yang cukup stabil dalam dua sesi terakhir. Namun momentum penguatan mulai melambat, ditandai dengan mulai datarnya indikator RSI (Relative Strength Index) di atas level 60.

Ini menunjukkan bahwa meskipun belum memasuki area overbought, tekanan jual mulai muncul di beberapa saham berkapitalisasi besar.

Dalam konteks dukungan teknikal, level support jangka pendek IHSG saat ini berada di 6.759 dan 6.708. Jika indeks turun ke bawah level ini, potensi terbentuknya wave [b] menjadi lebih kuat, dengan target koreksi berada di rentang 6.364–6.618. 

Herditya menyarankan agar pelaku pasar melakukan pendekatan “wait and see” terlebih dahulu, sembari mencermati pergerakan saham-saham big caps yang selama ini menjadi motor penggerak indeks. 

Di tengah potensi koreksi teknikal pada indeks domestik, pelaku pasar juga perlu mencermati tekanan eksternal yang datang dari pasar global. Pergerakan indeks saham utama di Wall Street menunjukkan sinyal waspada yang patut diperhatikan oleh investor regional, termasuk di Indonesia. 

Sentimen global yang memburuk kerap menjadi pemicu volatilitas di bursa negara berkembang, apalagi saat indeks berada pada fase teknikal yang rentan. Salah satu faktor eksternal terbaru yang memicu guncangan pasar berasal dari Amerika Serikat. 

Rebound Dan Kembali Tembus Level Psikologis

 Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) diperkirakan masih berpeluang melanjutkan penguatan pada pekan ini setelah pekan lalu berhasil rebound dan kembali menembus level psikologis 6.800.

Kendati demikian, pergerakan indeks diproyeksikan akan diwarnai volatilitas tinggi seiring penantian data inflasi global serta arah kebijakan suku bunga The Fed.

"Secara teknikal, IHSG menunjukkan sinyal rebound yang cukup kuat dan berhasil keluar dari tekanan di bawah 6.800. Jika sentimen eksternal membaik dan capital inflow berlanjut, kami melihat peluang IHSG untuk menguji resistance di kisaran 6.900–6.950 cukup terbuka," ujar Equity Analyst PT Indo Premier Sekuritas (IPOT), David Kurniawan saat dihubungi KabarBursa.com melalui pesan singkat pada Selasa, 6 Mei 2025.

David menjelaskan, terdapat sejumlah faktor yang memengaruhi pergerakan IHSG saat ini. Di antaranya adalah arah kebijakan The Fed dan pergerakan yield obligasi AS yang menjadi acuan utama pasar global. Selain itu, rilis laporan keuangan kuartal I 2025 dari emiten-emiten domestik turut menjadi katalis penting yang memengaruhi sentimen investor. 

"Arah aliran dana asing yang mulai kembali masuk dan harga komoditas—terutama batu bara serta CPO—masih menjadi penopang utama sektor energi dan agribisnis," tambahnya.

Untuk peluang investasi, David merekomendasikan beberapa saham yang dinilai berpotensi mencatat kinerja positif. 

"BMRI di sektor perbankan tetap menarik karena fundamentalnya defensif dan mencetak laba yang solid. Sementara di sektor tambang, MDKA dan ANTM memiliki prospek cerah seiring ekspektasi penguatan harga emas dan nikel. Untuk sektor yang lebih tahan gejolak, ACES dan MIKA patut diperhatikan," ucap dia.

Di sisi produk reksa dana, IPOT merekomendasikan Reksa Dana PFS XIIF yang berbasis emiten perbankan dengan laporan keuangan kuat sebagai opsi bagi investor yang ingin tetap bertahan di pasar dengan risiko moderat.

David juga memberikan saran bagi investor menghadapi volatilitas pasar pekan ini. 

"Kami menyarankan agar investor tetap disiplin dalam mengelola portofolio dan menerapkan diversifikasi. Bagi investor agresif, momentum teknikal ini bisa dimanfaatkan untuk akumulasi bertahap. Sedangkan untuk investor konservatif, reksa dana dengan profil risiko moderat tetap menjadi pilihan sambil memantau perkembangan katalis global," ucap dia.

Memasuki bulan Mei pasar modal diisukan dengan maraknya investor yang meninggalkan investasinya atau melakukan Sell in May and Go Away. Namun istilah ini ternyata hanya terkenal di kalangan barat. 

Terkait fenomena Sell in May and Go Away, David menilai hal tersebut tidak sepenuhnya berlaku di pasar Indonesia. "Memang secara historis ada kecenderungan tersebut di pasar global, tapi di Indonesia peluang cuan tetap terbuka, apalagi dengan kondisi makroekonomi domestik yang relatif stabil. Kuncinya adalah tetap aktif dan adaptif dalam menyusun strategi investasi," ujar dia.

Diberitakan sebelumnya, istilah Sell in May and Go Away kembali mencuat di kalangan pelaku pasar modal seiring memasuki bulan kelima tahun ini. Ungkapan legendaris tersebut merujuk pada strategi investasi yang menyarankan investor untuk menjual saham mereka pada bulan Mei dan kembali masuk pasar pada periode November, dengan asumsi bahwa performa pasar cenderung melemah selama musim panas di belahan bumi barat.

Strategi ini didasarkan pada pola historis di mana pasar saham cenderung mengalami kinerja yang lebih buruk selama musim panas atau Mei hingga Oktober dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya. Namun khusus untuk Eropa.

Asal-usulnya terkait dengan kebiasaan investor di Eropa dan Amerika yang mengurangi aktivitas perdagangan mereka selama bulan-bulan musim panas, terutama karena banyak dari mereka yang berlibur. Meskipun ada tren yang menunjukkan bahwa pasar memang sering mengalami penurunan atau stagnasi selama periode ini, penting untuk dicatat bahwa sell in May and go away tidak selalu sesuai prediksi.

Fenomena ini berakar dari pola historis yang diamati di bursa global, di mana return saham cenderung lebih rendah pada periode Mei hingga Oktober dibandingkan November hingga April.

Sebuah studi terbaru yang dipublikasikan dalam Financial Services Review menganalisis efektivitas strategi Sell in May bagi investor ritel di pasar Amerika Serikat. Penelitian tersebut memfokuskan kajiannya pada empat reksa dana yang tersedia secara luas sejak tahun 1986 hingga 2016, yakni Vanguard 500 Index Fund (Large-Cap), Clearbridge Small-Cap Fund, Dreyfus Mid-Cap Fund, dan Vanguard Wellesley Income Fund (Balanced Fund).(*)