KABARBURSA.COM - Laju pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan I 2025 diproyeksi melambat dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Sejumlah ekonom memperkirakan angka pertumbuhan berada di bawah 5 persen, lebih rendah dari capaian pada triwulan I 2024 yang sempat menembus kisaran 5 persen. Faktor utama yang menekan laju pertumbuhan adalah pelemahan daya beli masyarakat yang berlangsung hingga Maret 2025.
Fenomena Ramadan dan Lebaran, yang biasanya menjadi pengungkit signifikan perputaran uang nasional, juga menunjukkan tren melambat tahun ini. Perputaran uang selama Ramadan dan Lebaran 2025 lebih rendah dibandingkan dengan periode yang sama pada 2024.
Badan Pusat Statistik atau BPS baru saja merilis bahwa ekonomi Indonesia hanya tumbuh 4,48 persen di kuartal I 2025 ini. Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti melalui siaran resminya menyebut kegiatan ekonomi cenderung melambat dibanding tahun sebelumnya.
"Pertumbuhan ekonomi kuartal I 2025 sejalan dengan tahun-tahun sebelumnya. Setiap kuartal I itu relatif rendah dengan kuartal IV tahun sebelumnya," kata Amalia dalam saluran YouTube BPS pada Senin, 5 Mei 2025.
Sementara itu, Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda menilai lemahnya daya beli masyarakat menjadi sinyal yang harus diwaspadai pemerintah.
"Kami melihat pertumbuhan ekonomi di triwulan I 2025 ini sulit mencapai 5 persen. Kunci utama yang menahan laju ekonomi adalah penurunan daya beli masyarakat, yang belum sepenuhnya pulih sejak tahun lalu. Bahkan momentum Ramadan dan Lebaran, yang seharusnya mendorong konsumsi rumah tangga, justru gagal memberi dorongan signifikan," ujar Nailul Huda kepada KabarBursa.com di Jakarta, Senin, 5 Mei 2025.
Dampak perlambatan tersebut terasa di pasar modal, khususnya pada kinerja indeks LQ45 yang tertekan sejak Januari hingga Maret 2025. Indeks yang berisi 45 saham unggulan di Bursa Efek Indonesia tersebut mencatat pelemahan bertahap, seiring melemahnya sentimen pasar.
"Selain faktor fundamental ekonomi yang melambat, ada katalis negatif dari kebijakan pemerintah terkait perbankan BUMN. Kebijakan tersebut memicu kekhawatiran investor dan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap beberapa emiten perbankan pelat merah," ujar Nailul.
Dia menambahkan bahwa tekanan di sektor perbankan berdampak signifikan karena emiten perbankan memiliki bobot besar dalam indeks LQ45. "Sektor perbankan masih menjadi tulang punggung IHSG dan LQ45. Jika sektor ini mengalami tekanan, hampir pasti indeks akan sulit bertahan," imbuhnya.
Meski demikian, Nailul menyarankan investor untuk tetap selektif dan memanfaatkan momentum koreksi untuk akumulasi saham-saham dengan fundamental kuat.
"Momentum pelemahan ini bisa dimanfaatkan bagi investor jangka panjang untuk masuk secara bertahap di saham-saham yang valuasinya mulai atraktif," ujar dia.
Hingga akhir Maret 2025, indeks LQ45 tercatat melemah sekitar 4,8 persen secara kuartalan, dengan sektor perbankan dan konsumsi menjadi penyumbang koreksi terbesar.
Diberitakan sebelumnya, Indeks LQ45, atau indeks saham yang terdiri atas saham paling likuid dan berkinerja baik, melemah sepanjang 2025. Hingga akhir April, indeks ini telah terkoreksi cukup dalam sebesar 7,88 persen sejak awal tahun, bertengger di posisi 761,52 atau turun 65,14 poin dibandingkan level awal tahun. Kondisi tersebut mencerminkan bahwa sentimen pasar masih lesu, meskipun volume perdagangan tetap aktif.
Di tengah situasi ini, musim rilis laporan keuangan kuartal I 2025 membuka peluang bagi investor yang menerapkan strategi value investing yakni memilih saham-saham dengan fundamental kokoh yang dinilai masih undervalued.
Pengamat pasar modal, Ibrahim Assuaibi menilai bahwa penurunan signifikan pada indeks LQ45 sepanjang kuartal I 2025 merupakan hal yang wajar dalam konteks tekanan global yang sedang berlangsung.
Ia menjelaskan bahwa gejolak utama dipicu oleh perang dagang yang semakin memanas, di mana Amerika Serikat memberlakukan tambahan tarif impor sebesar 32 persen untuk Indonesia dan semua negara.
Bahkan untuk domestik, pelemahan diperkuat dengan statment-statment Presiden Prabowo Subianto yang salah satunya menilai main saham adalah judi.
"Nah, di sisi lain pun juga kami melihat bahwa kondisi kuartal pertama itu cukup memprihatinkan ya bagi pasar global. Banyak komentar-komentar dari Presiden kita, Prabowo yang nyeleneh. Salah satunya tentang main saham itu judi. Kemudian indikator saham gabungan turun," kata Ibrahim kepada KabarBursa.com melalui telepon pada Jumat, 2 Mei 2025 lalu.
Ibrahim menyebut situasi itu kemudian direspon memicu kekhawatiran pasar yang luas dan membuat indeks-indeks utama, termasuk LQ45, tertekan hebat. "Saham-saham unggulan banyak yang berguguran, bahkan mendekati batas auto-rejection bawah hingga 8 persen,” ujar Ibrahim.
Ia menambahkan, meskipun pasar domestik sempat terpukul, pemerintah Indonesia akhirnya berbenah dan memilih pendekatan negosiasi ketimbang konfrontasi, yang menurutnya cukup efektif untuk meredam gejolak lebih dalam.
"Kami lihat Presiden Prabowo juga berupaya memperbaiki komunikasi publik setelah sempat terjadi mispersepsi terkait pasar modal, seperti pernyataannya yang menyebut saham sebagai judi. Itu sudah diklarifikasi, dan ada langkah konkret dari pemerintah untuk menjaga stabilitas pasar,” imbuhnya.
Lebih lanjut, Ibrahim menyoroti bahwa sektor perbankan masih menjadi tumpuan utama di tengah pelemahan pasar dan masih cukup diminati investor meski indeks sedang anjlok.
“Saham-saham bank besar seperti BCA tetap menunjukkan fundamental yang solid. Harga saham mereka memang lebih tinggi, tetapi itu mencerminkan kekuatan dan kinerja yang stabil, terutama dalam mendukung aktivitas ekspor-impor,” ucap dia.
Ibrahim juga mencatat bahwa pelemahan LQ45 turut didorong oleh merosotnya sektor konsumsi dan otomotif akibat melemahnya daya beli masyarakat serta meningkatnya angka PHK pada kuartal pertama. Meski demikian, ia melihat peluang bagi investor untuk mulai melirik saham-saham undervalued.
Di tengah kondisi ini, Ibrahim menyarankan kepada investor untuk berinvestasi ke saham-saham diskonan tapi tetap memperhatikan fundamentalnya. Salah satunya memilih saham di bawah Rp100 per lembarnya.
“Ada peluang di saham-saham dengan harga di bawah Rp100 yang berpotensi memberikan imbal hasil menarik dalam jangka menengah hingga panjang, apalagi jika tensi perang dagang mereda,” katanya.
Dari sisi kebijakan moneter, Ibrahim menilai langkah Bank Indonesia yang melakukan triple intervention sangat membantu menjaga kestabilan nilai tukar rupiah, yang sempat menguat ke bawah Rp16.500 per dolar AS.
“Penguatan rupiah ini memberikan ruang bagi emiten, khususnya BUMN, untuk kembali melakukan pembelian dolar secara lebih terukur menjelang musim dividen,” kata dia.
Bursa Efek Indonesia menampilkan dinamika menarik dalam perdagangan saham-saham unggulan yang tergabung dalam indeks LQ45 pada Jumat, 2 Mei 2025. Dari 45 saham yang terdaftar, sebagian besar mencatatkan pelemahan, meskipun beberapa saham unggulan berhasil mencatatkan kenaikan signifikan. Ada setidaknya 19 saham yang mengalami kenaikan, 22 saham turun dan 4 saham stagnan.(*)