KABARBURSA.COM - Harga minyak turun lebih dari 1 persen pada Sabtu, 3 Mei 2025, dan mencatat kerugian mingguan terbesar sejak akhir Maret. Para trader mengambil posisi hati-hati menjelang rapat penting OPEC+ yang akan menentukan kebijakan produksi untuk bulan Juni.
Dilansir dari Reuters di Jakarta, Sabtu, Minyak West Texas Intermediate (WTI) AS ditutup melemah 95 sen atau 1,6 persen di USD58,29 per barel, sementara Brent turun 84 sen atau 1,4 persen menjadi USD61,29 per barel. Untuk sepekan, Brent amblas lebih dari 8 persen, sedangkan WTI kehilangan sekitar 7,7 persen.
Menariknya, rapat OPEC+ dimajukan menjadi Sabtu hari ini, padahal awalnya dijadwalkan Senin. Belum jelas alasan perubahan jadwal ini. Dua sumber Reuters menyebut anggota OPEC+—yang mencakup negara-negara OPEC dan sekutunya—masih mempertimbangkan apakah akan menaikkan produksi secara agresif di Juni atau tetap dengan kenaikan yang lebih kecil.
Apa pun keputusannya, pasar minyak sudah bersiap menghadapi tambahan pasokan di tengah kekhawatiran perlambatan ekonomi akibat perang dagang AS-China. Banyak analis pasar bahkan mulai menurunkan proyeksi pertumbuhan permintaan minyak untuk tahun ini. “Pasar sekarang sepenuhnya fokus ke OPEC, bahkan perang tarif pun jadi nomor dua,” ujar Scott Shelton, spesialis energi United ICAP.
Reuters melaporkan pekan ini bahwa pejabat Saudi Arabia—pemimpin de facto OPEC+—telah memberi sinyal kepada sekutu dan pelaku industri bahwa mereka enggan terus menopang pasar minyak dengan pemangkasan pasokan tambahan. Saat ini, OPEC+ sudah memangkas produksi lebih dari 5 juta barel per hari.
Selain itu, para trader juga berhati-hati menanti potensi meredanya tensi dagang AS-China, setelah Beijing pada Jumat mengumumkan sedang mengevaluasi proposal dari Washington untuk membuka pembicaraan terkait tarif Presiden Donald Trump. “Ada sedikit optimisme soal hubungan AS-China, tapi tandanya masih sangat samar,” kata Kepala Riset di Onyx Capital Group, Harry Tchilinguirian.
Meski demikian, penurunan harga minyak pada Jumat agak tertahan oleh kenaikan pasar saham. Analis UBS Giovanni Staunovo mencatat, Wall Street menguat setelah data ketenagakerjaan AS menunjukkan jumlah pekerja yang bertambah lebih besar dari perkiraan.
Ancaman Trump pada Kamis yang menyebut akan memberlakukan sanksi sekunder kepada pembeli minyak Iran juga membantu menahan tekanan harga. Sanksi ini bisa memperketat pasokan global dan sekaligus mempersulit negosiasi dagang dengan China yang merupakan importir utama minyak Iran.
Dari sisi lain, tanda-tanda perlambatan pertumbuhan produksi minyak AS juga dinilai bisa menjadi faktor pendukung harga dalam jangka panjang. Data Baker Hughes menunjukkan, jumlah rig pengeboran minyak AS turun empat menjadi 479 unit pekan ini—penurunan pertama dalam tiga minggu. Jumlah rig ini menjadi indikator awal untuk proyeksi output ke depan.
Prediksi terbaru soal harga minyak dunia makin bikin heboh setelah Goldman Sachs buka suara. Dalam laporan bertanggal 7 April, bank investasi papan atas ini memproyeksikan harga minyak Brent akan berada di kisaran USD62 per barel (sekitar Rp1.036.019) pada Desember 2025, lalu turun ke level USD55 (sekitar Rp919.995) setahun kemudian.
Sementara itu, harga minyak WTI diperkirakan bakal mencapai USD58 per barel (sekitar Rp969.064) pada akhir 2025 sebelum turun lebih jauh ke USD51 (sekitar Rp854.139) di Desember 2026.
Namun, proyeksi ini tentu saja disertai dua asumsi penting. Pertama, ekonomi Amerika Serikat berhasil menghindari ancaman resesi berkat kebijakan pemangkasan tarif yang cukup signifikan dan direncanakan berlaku mulai 9 April.
Kedua, suplai dari delapan anggota OPEC+ meningkat secara moderat, dengan tambahan produksi sekitar 130.000 hingga 140.000 barel per hari pada bulan Juni dan Juli. Dengan kedua asumsi ini, Goldman memandang harga minyak global akan cenderung stabil meskipun tetap rentan terhadap gejolak pasar.
Sayangnya, kalau Amerika Serikat kejeblos resesi seperti siklus biasanya, Goldman Sachs memperkirakan harga minyak dunia bakal jatuh lebih dalam. Dalam skenario ini, harga Brent diprediksi turun ke USD58 per barel (sekitar Rp969.064) pada Desember 2025, lalu lanjut longsor ke USD50 (sekitar Rp835.450) pada Desember 2026. Ancaman resesi ini bikin outlook harga minyak dunia makin seram buat para investor.
Masih belum cukup dramatis? Kalau terjadi pembalikan tajam kebijakan tarif, harga minyak dunia bisa saja lebih tinggi dari prediksi. Namun, situasi yang lebih realistis adalah skenario suram, yakni Goldman Sachs bahkan sampai memangkas lagi proyeksi harga rata-rata tahunan Brent dan WTI untuk 2026. Risiko resesi yang makin gede dan potensi suplai OPEC+ yang lebih banyak jadi penyebabnya. Semua ini membuat harga minyak dunia sulit berharap banyak.
Dalam skenario perlambatan pertumbuhan global, sambil tetap memakai asumsi dasar OPEC+, Goldman Sachs memperkirakan harga minyak dunia jenis Brent akan turun ke USD54 per barel (sekitar Rp902.086) pada Desember 2025 dan ke USD45 (sekitar Rp751.905) pada Desember 2026. Harga minyak dunia yang makin tertekan ini jadi mimpi buruk baru bagi pasar energi global.
Lebih ekstrem lagi, kalau dunia benar-benar mengalami pelambatan ekonomi plus terjadi pembatalan total pemangkasan produksi OPEC+, harga minyak dunia bisa benar-benar ambruk.
Dalam skenario ini, Brent diprediksi bakal meluncur ke bawah USD40 per barel (sekitar Rp668.360) pada akhir 2026. Bayangin aja, harga minyak dunia anjlok sedalam itu—dampaknya bisa kacau balau buat negara-negara penghasil minyak.(*)