KABARBURSA.COM – Harga minyak mentah dunia turun nyaris 2 persen pada Rabu, 30 April 2025, dini hari WIB dan menandai posisi terendah dalam dua pekan terakhir. Pasar mencium kekhawatiran ganda, yakni rencana OPEC+ yang diduga akan menambah produksi, serta dampak lanjutan dari kebijakan tarif Presiden Amerika Serikat, Donald Trump yang dikhawatirkan menekan ekonomi global dan menurunkan permintaan energi.
Dilansir dari Reuters di Jakarta, Rabu, kontrak Brent ditutup melemah USD1,61 atau setara 2,4 persen di level USD64,25 per barel. Sementara minyak acuan West Texas Intermediate (WTI) turun USD1,63 atau 2,6 persen menjadi USD60,42 per barel—keduanya merupakan level penutupan terendah sejak 10 April lalu.
Dalam survei Reuters, mayoritas ekonom memprediksi bahwa tarif agresif Trump terhadap barang impor bisa menyeret perekonomian global menuju jurang resesi tahun ini. China yang jadi sasaran utama tarif, merespons dengan balasan serupa terhadap produk Amerika, memperuncing perang dagang antara dua negara konsumen minyak terbesar dunia.
Direktur perdagangan energi Mizuho, Bob Yawger, menyebut arus perdagangan antara AS dan China kini “seperti embargo setengah jalan.” Ia memperingatkan bahwa setiap hari tanpa solusi dagang hanya akan semakin mendekatkan dunia pada skenario “kehancuran permintaan global.”
Bahkan, defisit perdagangan barang AS pada Maret mencetak rekor tertinggi sepanjang masa. Banyak pelaku usaha diketahui buru-buru memasukkan barang sebelum tarif baru Trump diberlakukan, yang akhirnya menjadi beban pertumbuhan ekonomi kuartal pertama.
Efek perang dagang ini juga mengguncang dunia korporasi. Raksasa logistik UPS menyatakan akan memangkas 20.000 pekerja demi efisiensi. General Motors pun menarik proyeksi keuangannya dan menunda panggilan investor sampai Kamis, menanti kejelasan soal arah kebijakan dagang terbaru.
Presiden Trump disebut tengah menyiapkan perintah eksekutif untuk mengurangi dampak tarif mobil, termasuk kombinasi keringanan bea terhadap komponen otomotif demi meredam tekanan industri otomotif dalam negeri.
Dari sisi korporasi energi, BP melaporkan laba bersih yang anjlok 48 persen jadi USD1,4 miliar, jauh di bawah ekspektasi, akibat lemahnya margin di sektor hilir dan bisnis gas. Pasar kini menanti laporan keuangan dari dua raksasa minyak Amerika: ExxonMobil dan Chevron.
Sumber Reuters menyebutkan, sejumlah anggota OPEC dan sekutunya dalam aliansi OPEC+ akan mengusulkan kenaikan produksi lagi untuk bulan Juni—kali kedua berturut-turut. Analis Saxo Bank, Ole Hansen, menyebut keputusan itu bisa jadi sangat buruk waktunya, karena sentimen pasar sedang lemah, apalagi dengan sikap Kazakhstan yang ogah memangkas produksi.
Negara anggota OPEC+ itu justru menaikkan ekspor minyak sebesar tujuh persen pada Januari-Maret 2025 dibanding tahun sebelumnya, berkat peningkatan pasokan dari jalur pipa Laut Kaspia.
Sementara itu, data persediaan minyak mentah Amerika dari American Petroleum Institute dijadwalkan keluar Selasa malam waktu setempat, disusul data resmi dari Badan Informasi Energi AS (EIA) pada Rabu. Konsensus analis memperkirakan penambahan sekitar 0,5 juta barel untuk pekan yang berakhir 25 April.
Jika prediksi itu akurat, maka ini akan menjadi kenaikan stok mingguan kelima berturut-turut. Sebagai perbandingan, pada periode yang sama tahun lalu, stok minyak AS naik 7,3 juta barel. Rata-rata lima tahun terakhir (2020–2024) pun mencatat penambahan sebesar 3,2 juta barel di pekan yang sama.
Prediksi soal harga minyak dunia makin panas setelah Goldman Sachs angkat bicara. Dalam catatan tertanggal 7 April, bank investasi top ini memperkirakan harga minyak dunia jenis Brent bakal bertengger di USD62 per barel (sekitar Rp1.036.019) pada Desember 2025, lalu turun ke USD55 (sekitar Rp919.995) setahun berikutnya. Sementara minyak WTI diprediksi bakal mencapai USD58 per barel (sekitar Rp969.064) pada Desember 2025 dan anjlok ke USD51 (sekitar Rp854.139) pada Desember 2026.
Tapi tenang, ramalan ini datang dengan dua asumsi. Pertama, ekonomi Amerika Serikat sukses menghindari resesi berkat pemangkasan tarif yang cukup besar, yang dijadwalkan berlaku 9 April. Kedua, pasokan dari delapan negara anggota OPEC+ naik secara moderat, dengan tambahan produksi 130.000 sampai 140.000 barel per hari di bulan Juni dan Juli. Dengan dua asumsi ini, harga minyak dunia diprediksi tetap sedikit stabil meski tetap rawan goyang.
Sayangnya, kalau Amerika Serikat kejeblos resesi seperti siklus biasanya, Goldman Sachs memperkirakan harga minyak dunia bakal jatuh lebih dalam. Dalam skenario ini, harga Brent diprediksi turun ke USD58 per barel (sekitar Rp969.064) pada Desember 2025, lalu lanjut longsor ke USD50 (sekitar Rp835.450) pada Desember 2026. Ancaman resesi ini bikin outlook harga minyak dunia makin seram buat para investor.
Masih belum cukup dramatis? Kalau terjadi pembalikan tajam kebijakan tarif, harga minyak dunia bisa saja lebih tinggi dari prediksi. Namun, situasi yang lebih realistis adalah skenario suram: Goldman Sachs bahkan sampai memangkas lagi proyeksi harga rata-rata tahunan Brent dan WTI untuk 2026. Risiko resesi yang makin gede dan potensi suplai OPEC+ yang lebih banyak jadi penyebabnya. Semua ini membuat harga minyak dunia sulit berharap banyak.(*)