KABARBURSA.COM - Bank Indonesia (BI) menyampaikan likuiditas perekonomian atau uang beredar dalam arti luas (M2) bergerak tumbuh per Maret 2025.
Kepala Departemen Komunikasi BI Ramdan Denny Prakoso mengatakan pertumbuhan M2 pada bulan ketiga tahun ini sebesar 6,1 persen (yoy), relatif stabil dibandingkan dengan pertumbuhan bulan sebelumnya sebesar 6,2 persen (yoy) sehingga tercatat Rp9.436,4 triliun.
"Perkembangan tersebut didorong oleh pertumbuhan uang beredar sempit (M1) sebesar 7,1 persen (yoy) dan uang kuasi sebesar 3,0 persen (yoy)," ujar dia dalam keterangan resmi tertulis, dikutip, Jumat, 25 April 2025.
Ramdan menerangkan perkembangan M2 pada Maret 2025 utamanua dipengaruhi oleh perkembangan penyaluran kredit dan aktiva luar negeri bersih.
Dia bilang, penyaluran kredit pada Maret 2025 mengalami pertumbuhan sebesar 8,7 persen (yoy), setelah pada bulan sebelumnya juga naik sebesar 9,7 persen (yoy).
Adapun, lanjut dia, aktiva luar negeri bersih tumbuh sebesar 6,0 persen (yoy), meningkat dibandingkan pertumbuhan pada Februari 2025 sebesar 4,1 persen (yoy).
"Sementara itu, tagihan bersih kepada Pemerintah Pusat (Pempus) terkontraksi sebesar 8,6 persen (yoy), setelah terkontraksi sebesar 5,8 persen (yoy) pada bulan sebelumnya," pungkas dia.
BI Kasih Sinyal Turunkan Suku Bunga
Bank Indonesia (BI) mulai memberi sinyal kemungkinan menurunkan suku bunga acuannya dalam waktu mendatang, meski saat ini masih bertahan di angka 5,75 persen. Langkah ini diambil dengan tetap memperhatikan keseimbangan antara stabilitas dan pertumbuhan ekonomi nasional.
Gubernur BI Perry Warjiyo menegaskan bahwa keputusan tersebut masih dalam kajian mendalam, mengingat pentingnya menjaga nilai tukar rupiah serta mengendalikan laju inflasi.
"Ke depan, Bank Indonesia terus mencermati ruang penurunan BI rate lebih lanjut dengan mempertimbangkan stabilitas nilai tukar rupiah, prospek inflasi dan perlunya mendorong pertumbuhan ekonomi ke depan," ujar Perry dalam konferensi pers Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) di Jakarta, Kamis 24 April 2025.
Sebelumnya, dalam hasil Rapat Dewan Gubernur yang digelar pada 22–23 April 2025, BI memutuskan untuk mempertahankan suku bunga Deposit Facility tetap di level 5 persen dan Lending Facility tetap di angka 6,5 persen.
Di tengah tekanan ekonomi global, BI pun memperkuat strategi stabilisasi nilai tukar rupiah. Salah satunya dilakukan melalui instrumen intervensi pasar, khususnya pada transaksi non-delivery forward (NDF) di pasar luar negeri atau offshore.
Perry mengungkapkan bahwa sejak 7 April 2025, intervensi secara berkala dilakukan di pasar NDF di wilayah Asia, Eropa, dan New York. Langkah ini dinilai efektif dalam menjaga kestabilan rupiah di tengah gejolak eksternal yang tinggi.
"Respon kebijakan ini memberikan hasil positif terjamin dari perkembangan rupiah yang terkendali stabil dan bahkan cenderung menguat yang tadi telah disampaikan oleh Bu Menteri Keuangan," jelas Perry.
BI Suntik Likuiditas Ratusan Triliun: Tengah Gejolak Global
BI menggelontorkan ratusan triliun rupiah ke sistem perbankan di tengah tekanan global yang belum juga reda. Bukan tanpa alasan, langkah ini diambil untuk menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional yang dikhawatirkan tersendat.
Perry Warjiyo menyampaikan bahwa bank sentral kini mengandalkan pelonggaran kebijakan makroprudensial sebagai tumpuan utama. Lewat skema insentif likuiditas, BI berharap bank-bank lebih leluasa menyalurkan pembiayaan ke sektor-sektor prioritas.
"Insentif likuiditas makroprudensial ditingkatkan dari paling besar 4 persen menjadi sampai dengan 5 persen dari dana pihak ketiga. Hingga minggu ke-2 April 2025 Bank Indonesia telah memberikan insentif kebijakan likuiditas makroprudensial dengan jumlah sebesar Rp370,6 triliun. Jumlah itu meningkat sebesar Rp78,3 triliun dari minggu ke-4 Maret 2025 yang sebesar Rp292,3 triliun,” kata Perry.
Salah satu fokus utama pelonggaran ini adalah sektor perumahan, yang menurut BI perlu dorongan ekstra. Namun, kebijakan ini juga sekaligus membuka pertanyaan: apakah dorongan moneter saja cukup ketika problem struktural di sektor perumahan masih menumpuk?
“Khusus sektor perumahan, insentif kebijakan likuiditas makroprudensial meningkat sebesar Rp84 triliun dari minggu ke-4 Maret 2025 seiring dengan implementasi penguatan kebijakan likuiditas makroprudensial pada 1 April 2025,” jelas Perry.
Insentif yang diberikan BI disebar ke berbagai kelompok bank: bank BUMN menerima Rp161,7 triliun, bank swasta nasional Rp167,4 triliun, Bank Pembangunan Daerah Rp35,7 triliun, dan bank asing Rp5,8 triliun. Tapi publik patut bertanya: bagaimana efektivitas distribusi ini dalam mendorong ekonomi riil?
Sektor yang jadi target antara lain pertanian, real estate, perdagangan, manufaktur, transportasi, ekonomi kreatif, hingga UMKM ultra mikro. Tapi tak sedikit yang menilai kebijakan ini belum cukup menjawab persoalan ketimpangan distribusi kredit dan pembiayaan yang masih timpang di lapangan.
Dari sisi aturan, BI juga melonggarkan sejumlah rasio penting. Pendekatannya sangat permisif, dengan rasio penyangga modal 0 persen, uang muka properti dan kendaraan bermotor 0 persen, hingga kelonggaran intermediasi kredit.
“Kedua, di bidang kebijakan makroprudensial Bank Indonesia juga mempertahankan rasio countercyclical capital buffer sebesar 0 persen, rasio intermediasi makroprudensial (RIM) pada kisaran 84–94 persen, rasio loan to value financing to value ratio atau yang sering disebut kebijakan uang muka, kredit pembiayaan properti yaitu tetap uang mukanya 0 persen, dan uang muka kredit pembiayaan kendaraan bermotor 0 persen,” papar Perry.
"Pemberlakunya diperpanjang efektif 1 Januari sampai dengan 31 Desember 2025 dan pada waktunya kami akan tetap review terus,” imbuhnya.(*)