KABARBURSA.COM – Penerapan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2025 yang mengatur jenis dan tarif atas Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) di sektor Energi dan Sumber Daya Mineral menimbulkan tekanan baru bagi pelaku industri nikel nasional, khususunya yang sudah terdaftar sebagai emiten di pasar modal Indonesia.
Aturan ini mengubah struktur tarif royalti terhadap sejumlah komoditas tambang strategis, termasuk nikel, emas, tembaga, hingga timah. Dari seluruh komoditas tersebut, nikel menjadi sorotan utama karena berkaitan erat dengan agenda hilirisasi nasional dan nilai tambah ekspor berbasis energi baru terbarukan.
Managing Director Research and Digital Production PT Samuel Sekuritas Indonesia, Harry Su, menilai bahwa dampak negatif dari kebijakan ini akan paling terasa pada emiten nikel yang fokus pada pengolahan menggunakan smelter RKEF (Rotary Kiln-Electric Furnace), serta pada produsen nickel matte.
“Emiten dengan eksposur tinggi terhadap produk nikel stainless seperti FeNi, NPI, atau nickel matte akan terdampak langsung dari kenaikan tarif royalti,” kata Harry saat dihubungi Kabarbursa.com, Kamis, 24 April 2025.
Sementara itu, lanjut dia, perusahaan yang fokus pada produk bahan baku baterai seperti bijih limonit justru memperoleh angin segar. Penurunan tarif dari 10 persen menjadi 2 persen untuk limonit, serta tidak adanya perubahan tarif untuk produk HPAL, membuka peluang efisiensi biaya bagi pelaku yang sudah terintegrasi dalam rantai nilai baterai.
Harry menyebut, emiten seperti PT Merdeka Battery Materials Tbk (MBMA) dan PT Trimegah Bangun Persada Tbk (NCKL) diperkirakan lebih tahan terhadap tekanan kebijakan ini, karena memiliki kapasitas HPAL yang terus dikembangkan dan proporsi penjualan bijih limonit yang signifikan.
Sebaliknya, PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) dan PT Vale Indonesia Tbk (INCO) disebut berada di posisi yang lebih rentan akibat eksposur tinggi pada produk nikel matte dan feronikel yang tarif royaltinya dinaikkan.
Pengamat pasar modal, Wahyu Tri Laksono, menambahkan bahwa emiten yang mayoritas pendapatannya berasal dari penjualan bijih nikel mentah akan langsung merasakan beban kebijakan baru. Ia mencontohkan PT Central Omega Resources Tbk (DKFT) dan PT Ifishdeco Tbk (IFSH) sebagai emiten yang kemungkinan besar terdampak cukup besar karena belum memiliki instrumen hilirisasi yang kuat.
Menurut Wahyu, meskipun beberapa emiten seperti ANTM dan NCKL tergolong memiliki struktur usaha yang lebih terintegrasi, mereka tetap akan terkena dampak, terutama dari sisi kenaikan tarif untuk feronikel. Namun, integrasi dengan smelter dan kemampuan mereka menjual produk hilir seperti HPAL bisa sedikit meredam tekanan margin.
“NCKL bahkan disebut-sebut memiliki eksposur NPI yang tidak dikenai royalti karena statusnya di bawah Izin Usaha Industri (IUI), bukan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK),” ujarnya kepada Kabarbursa.com, Rabu, 23 April 2025.
Di Antara Beban Baru dan Harapan Hilirisasi
Sementara itu, dari sisi asosiasi industri, Sekretaris Umum Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey, menyebut bahwa Indonesia kini berpotensi menjadi negara dengan tarif royalti nikel tertinggi dibandingkan negara penghasil lainnya. Ia menilai struktur baru ini akan menambah beban industri yang sudah harus menghadapi kenaikan harga bahan bakar (B40), kebijakan Devisa Hasil Ekspor (DHE), serta PPN yang naik menjadi 12 persen.
Meidy menekankan pentingnya keseimbangan antara penerimaan negara dan keberlangsungan industri tambang, terutama di tengah fluktuasi harga komoditas global. Menurutnya, skema berbasis produksi seperti yang ditetapkan pemerintah saat ini lebih berat dibanding sistem berbasis keuntungan yang digunakan beberapa negara lain.
Langkah ini mencerminkan dilema klasik dalam pengelolaan sumber daya alam: pemerintah ingin meningkatkan kontribusi fiskal sektor tambang, sementara pelaku industri mendesak adanya ruang insentif agar daya saing tetap terjaga. Di sisi lain, DPR RI dan pemerintah juga tengah membahas revisi UU Minerba yang menyentuh aspek perizinan dan hilirisasi.
Anggota Badan Legislasi DPR RI, Sugeng Suparwoto, menegaskan bahwa revisi ini ditujukan untuk memperluas akses pengelolaan tambang, bukan hanya untuk korporasi besar, tetapi juga koperasi, ormas keagamaan, hingga badan usaha milik masyarakat. Ia juga menyoroti potensi nikel Indonesia sebagai bahan baku utama baterai energi terbarukan, sehingga kebijakan royalti seharusnya tidak membebani sektor yang justru mendukung transisi energi.
Sugeng memperingatkan bahwa pengelolaan sumber daya alam harus dilakukan secara cermat agar tidak memicu kelebihan pasokan. Ia mencontohkan nikel yang sempat mengalami oversupply pada 2024, hingga menyebabkan harga anjlok di pasar global.
Dengan arah kebijakan yang kompleks, para pelaku pasar dan investor kini dihadapkan pada tantangan untuk menilai ulang eksposur dan ketahanan model bisnis masing-masing emiten nikel terhadap kombinasi tekanan fiskal dan peluang hilirisasi. Emiten dengan struktur usaha terintegrasi dan produk berbasis baterai akan lebih adaptif, sementara yang masih bergantung pada bijih mentah akan perlu segera bertransformasi agar tidak kehilangan daya saing. (*)
Artikel ini disediakan untuk tujuan informasi semata dan bukan merupakan ajakan, rekomendasi, atau instruksi untuk membeli atau menjual saham. Segala bentuk analisis dan rekomendasi saham sepenuhnya berasal dari pihak analis atau sekuritas yang bersangkutan. KabarBursa.com tidak bertanggung jawab atas keputusan investasi, kerugian, atau keuntungan yang timbul akibat penggunaan informasi dalam artikel ini. Keputusan investasi sepenuhnya merupakan tanggung jawab investor. Investor diharapkan melakukan riset independen dan mempertimbangkan risiko dengan cermat sebelum mengambil keputusan investasi.