KABARBURSA.COM - PT Bank SMBC Indonesia Tbk (BTPN) mengumumkan bakal membagikan dividen setelah disetujui melalui Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST).
Dalam rapat tersebut, disetujui pembayaran dividen tunai sebesar 20 persen dari laba bersih SMBC atau senilai Rp562,5 miliar. Dengan begitu, pemegang saham akan menerima dividen sebesar Rp52,85 per lembar saham.
Berikut tata cara pembagian dividen SMBC:
Manajemen SMBC menyampaikan, dividen tunai akan dibagikan kepada pemegang saham Perseroan yang namanya tercatat dalam Daftar Pemegang Saham (DPS) pada recording date yaitu tanggal 5 Mei 2025
"Dan/atau pemegang saham perseroan yang tercatat sebagai pada sub rekening efek di PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) pada penutupan perdagangan Bursa Efek Indonesia tanggal 5 Mei 2025," tulis manajemen.
Dilanjutkan manajemen, bagi pemegang saham yang sahamnya tercatat dalam Penitipan kolektif KSEI, pembayaran dividen sesuai dengan jadwal di atas akan dilakukan dengan cara pemindahbukuan melalui KSEI, dan selanjutnya KSEI akan mendistribusikannya ke Rekening Dana Nasabah (RDN) pada Perusahaan Efek atau Bank Kustodian tempat dimana para pemegang saham membuka rekening efek.
"Sedangkan bagi pemegang saham Perseroan yang sahamnya tidak tercatat dalam penitipan kolektif KSEI maka pembayaran dividen tunai akan ditransfer ke rekening pemegang saham Perseroan," jelas manajemen.
Catat Kinerja Positif di 2025
SMBC sukses mencatatkan kinerja positif dalam laporan keuangan periode tahun 2024. Perseroan berhasil membukukan peningkatan laba bersih, penyaluran kredit, dana pihak ketiga, dan aset.
Dikutip dari keterangan perusahaan pada 3 Maret 2025, secara konsolidasi total aset SMBC Indonesia naik 20 persen menjadi Rp241,1 triliun pada akhir tahun 2024. Laba bersih setelah pajak tahun 2024 turut naik sebesar 10 persen dibandingkan tahun sebelumnya menjadi Rp2,8 triliun.
Di luar dampak akusisi Grup OTO, laba bersih entitas Bank dan BTPN Syariah setelah pajak mengalami peningkatan sekitar 8 persen.
Penyaluran kredit secara konsolidasi SMBC juga meningkat sebesar 15 persen menjadi Rp179,4 triliun per akhir 2024. Faktor penopang terbesar berasal dari kredit retail yang tumbuh signifikan sebesar 31 persen, berkat penyaluran di segmen Joint Finance, Jenius, dan Mikro yang masing-masing naik 389 persen, 51 persen, dan 40 persen.
Selain itu, kredit untuk usaha kecil dan menengah (UKM) ikut tumbuh sebesar 8 persen, sedangkan dari sisi kredit korporasi turun 6 persen dikarenakan dinamika dan persaingan suku bunga yang ketat.
Total dana pihak ketiga SMBC Indonesia meningkat sebesar 12 persen menjadi Rp121,3 triliun, dengan saldo rekening koran dan rekening tabungan (current account & saving account/CASA) tumbuh 3 persen menjadi Rp45,6 triliun dan total deposito naik 18 persen menjadi Rp75,7 triliun per akhir Desember 2024.
Peningkatan laba bersih konsolidasi didorong oleh pendapatan operasional yang meningkat 27 persen mencapai Rp17,4 triliun, yang dikontribusikan oleh pendapatan bunga bersih yang tumbuh 26 persen menjadi Rp15,2 triliun serta pendapatan lainnya yang naik 31 persen senilai Rp2,2 triliun.
Pendapatan bunga bersih secara konsolidasi meningkat sejalan dengan margin bunga bersih (net interest margin/NIM) yang naik ke level 7,10 persen per Desember 2024 dari 6,45 persen pada Desember 2023.
Rasio cakupan likuiditas (liquidity coverage ratio/LCR) dan rasio pendanaan stabil bersih (net stable funding ratio/NSFR) tetap sehat di level 253,71 persen dan 125,02 persen per Desember 2024. Rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR) berada di 30,02 persen.
Direktur Utama SMBC Indonesia Henoch Munandar mengatakan, pencapaian gemilang pada tahun lalu bakal dijadikan landasan perusahaan untuk berupaya memberikan solusi keuangan yang relevan untuk nasabah.
"Transformasi merek SMBC Indonesia yang dimulai akhir tahun lalu juga akan terus bergulir dengan menciptakan pertumbuhan yang berkelanjutan dan memberikan manfaat nyata bagi masyarakat serta perekonomian melalui sinergi dengan berbagai pemangku kepentingan dan semangat bersama lebih bermakna," ujar dia dalam keterangannya.
Saham Ditutup Stabil
Hingga penutupan perdagangan bursa, Rabu sore, 23 April 2024, saham PT Bank BTPN Tbk diperdagangkan di harga Rp2.060,00 per lembar saham, tanpa mengalami perubahan nilai pada sesi perdagangan terakhir. Dengan kapitalisasi pasar yang mencapai Rp21,70 triliun, saham ini menunjukkan posisi yang cukup kuat di antara bank-bank menengah di Bursa Efek Indonesia.
Rasio harga terhadap laba atau price to earnings (P/E ratio) perusahaan berada di level 7,39, yang menandakan valuasi relatif moderat jika dibandingkan dengan rata-rata sektor perbankan nasional. P/E ratio ini mengindikasikan bahwa investor saat ini membayar Rp7,39 untuk setiap satu rupiah laba bersih perusahaan, memberikan gambaran bahwa saham BTPN belum berada dalam zona overvalued, dan masih menyimpan potensi menarik dari sisi valuasi.
Rentang pergerakan harga saham selama satu tahun terakhir memperlihatkan bahwa titik tertinggi berada di level Rp2.520,00 dan titik terendah tercatat di Rp1.800,00. Rentang ini memberikan indikasi fluktuasi yang cukup lebar, mencerminkan adanya pergerakan harga yang dinamis dalam periode 52 minggu terakhir. Dalam konteks ini, harga saat ini masih berada dalam kisaran menengah antara batas bawah dan atas tersebut.
Stabilitas harga di Rp2.060,00 mengindikasikan tidak adanya tekanan jual atau beli yang signifikan dalam jangka pendek. Belum adanya informasi terkait dividend yield juga menandakan bahwa perusahaan kemungkinan belum mengumumkan distribusi dividen untuk tahun berjalan atau saat ini belum memberikan imbal hasil dividen yang dapat dihitung berdasarkan harga pasar terkini.
Secara keseluruhan, dengan kapitalisasi pasar yang kuat, P/E ratio yang masih berada di level wajar, dan posisi harga saat ini yang relatif stabil di tengah rentang fluktuasi tahunan, saham BTPN dapat dipandang sebagai entitas yang masih mencerminkan nilai fundamental yang cukup solid di pasar. Namun, pergerakan selanjutnya akan sangat tergantung pada perkembangan kinerja keuangan, strategi pertumbuhan, serta respons investor terhadap arah kebijakan manajemen dan kondisi pasar makroekonomi yang lebih luas.(*)