KABARBURSA.COM – Penurunan ekspor batubara Indonesia ke China mulai berdampak langsung pada kinerja sejumlah saham tambang besar di Bursa Efek Indonesia (BEI).
Meski Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) menyatakan bahwa penurunan nilai ekspor lebih disebabkan oleh oversupply di China ketimbang implementasi Harga Batubara Acuan (HBA), tekanan tetap terasa di pasar modal.
Plt Direktur Eksekutif APBI, Gita Mahyarani, menyebut bahwa peningkatan produksi domestik batubara China menyebabkan impor mereka menyusut. Saat ini, hanya sekitar 9 persen dari kebutuhan batubara China dipenuhi dari impor, dan Indonesia hanya menyuplai 5 persen dari total itu.
Menurutnya, stok batubara di China pun masih melimpah dan pasar global tengah memasuki fase wait and see, yang turut memengaruhi harga jual dan nilai ekspor Indonesia.
“Dari 9 persen kebutuhan impor tersebut, sekitar 5 persennya dipasok dari Indonesia. Jadi 4 persen sisanya berasal dari negara lain,” jelas Gita Mahyarani kepada kabarbursa.com, Rabu, 23 April 2025.
Data dari General Administration of Customs China mencatat bahwa impor batu bara China dari Indonesia pada Maret 2025 mengalami penurunan sebesar 9 persen secara tahunan, menjadi 17,96 juta ton.
Penurunan ini terjadi seiring penerapan Harga Batubara Acuan (HBA) sebagai batas minimum transaksi ekspor oleh pemerintah Indonesia mulai 1 Maret 2025. Kebijakan tersebut berdampak pada tingkat daya saing harga batu bara Indonesia di pasar global.
Faktor lain yang turut menekan volume impor adalah tingginya cadangan batu bara di pelabuhan-pelabuhan China serta lemahnya permintaan dari dalam negeri. Kondisi ini menyebabkan harga spot batu bara anjlok hingga menyentuh titik terendah dalam empat tahun terakhir.
Beberapa pelaku industri juga menyoroti bahwa kebijakan baru Indonesia, yang mewajibkan penggunaan HBA sebagai harga referensi ekspor, turut memberikan pengaruh.
Kendati pemerintah memberikan ruang fleksibilitas terhadap kontrak lama yang masih memakai acuan Indonesian Coal Index (ICI), disparitas harga antara HBA—yang cenderung lebih tinggi—dengan ICI dinilai berpotensi mengurangi daya saing batu bara Indonesia di pasar ekspor.
Dalam jangka pendek, kondisi ini bisa berdampak negatif terhadap performa sejumlah perusahaan tambang besar yang sangat bergantung pada ekspor ke China, seperti Adaro Energy Indonesia Tbk (ADRO), Bukit Asam Tbk (PTBA), dan Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG).
Pada kuartal pertama tahun 2025, ketiga emiten sektor tambang tersebut melaporkan penurunan pendapatan yang cukup besar dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.
PT Adaro Energy Indonesia Tbk (ADRO) mencatatkan pendapatan sebesar Rp14,77 triliun, turun dari Rp20,20 triliun pada kuartal I 2024, atau menurun sekitar 26,9 persen.
PT Bukit Asam Tbk (PTBA) mengalami penurunan dari Rp9,57 triliun menjadi Rp7,03 triliun, yang berarti merosot sekitar 26,6 persen. Sedangkan PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG) membukukan pendapatan sebesar Rp7,45 triliun, turun dari Rp9,36 triliun di periode sebelumnya, atau melemah sekitar 20,5 persen.
Pilih ITMG, ADRO, atau PTBA?
Berdasarkan pendekatan investasi ala Warren Buffett yang menekankan pada kualitas bisnis, profitabilitas konsisten, valuasi wajar, dan keuangan sehat, ketiganya layak dianalisis lebih dalam. Berikut perbandingan ketiga saham perusahaan yang bergerak di bidang batu bara ini:
Dari sisi profitabilitas, ketiga emiten ini mencatatkan kinerja mengesankan. Return on equity (ROE) PTBA mencapai 22,68 persen, ADRO sebesar 21,32 persen, dan ITMG 19,04 persen. Meski ITMG memiliki ROE sedikit lebih rendah, perusahaan ini unggul dari sisi laba bersih per saham (EPS) yang mencapai Rp5.247, jauh di atas PTBA dan ADRO yang masing-masing membukukan Rp443 dan Rp687. Ini mencerminkan efisiensi operasional dan kapasitas laba yang tinggi dari ITMG.
Valuasi menjadi pertimbangan utama dalam gaya investasi Buffett. Di sini, ITMG kembali menonjol dengan price to earnings (PE) ratio hanya 4,25 kali dan price to book value (PBV) sebesar 0,81 kali.
Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan PTBA dan ADRO, menandakan bahwa saham ITMG sedang “diskon” dibanding nilai wajarnya. Earnings yield ITMG pun paling menarik di antara ketiganya, yaitu 23,53 persen. Ini mengindikasikan potensi imbal hasil yang tinggi dari laba bersih terhadap harga saham saat ini.
Dari sisi kekuatan neraca keuangan, ketiganya tergolong sangat sehat dengan debt to equity ratio (DER) yang rendah. PTBA memiliki DER sebesar 0,10, ADRO di angka 0,22, dan ITMG hanya 0,04. Bahkan ITMG memiliki posisi kas bersih terbesar, yaitu minus Rp14,79 triliun, menandakan kelebihan kas dibanding total utang. Ini membuat ITMG sangat tangguh terhadap gejolak ekonomi.
Ketika dilihat dari arus kas dan dividen, ketiga emiten juga membuktikan diri sebagai “mesin uang”. ITMG mencatat free cash flow (FCF) sebesar Rp5,86 triliun dalam setahun terakhir dan membagikan dividen senilai Rp3.473 per saham, dengan dividend yield sebesar 15,57 persen.
Payout ratio ITMG tercatat 66,18 persen—lebih konservatif dibanding PTBA dan ADRO, memberi ruang untuk pertumbuhan dan investasi kembali. Pola ini menunjukkan ITMG menjaga keseimbangan yang baik antara reward untuk pemegang saham dan penguatan fundamental bisnis.
Dengan pendekatan penilaian nilai intrinsik menggunakan proyeksi arus kas bebas, saham PTBA diperkirakan memiliki nilai intrinsik sekitar Rp3.700 per saham, ADRO sekitar Rp3.300, dan ITMG sekitar Rp31.000 per saham. Saat ini, harga saham ITMG masih berada di kisaran Rp26.000, menandakan potensi kenaikan harga yang cukup signifikan. Hal ini menjadikan ITMG terlihat paling “undervalued” dan memiliki margin of safety terbaik.
Dalam horizon investasi, ketiga saham memiliki daya tarik masing-masing. PTBA cocok bagi investor jangka pendek dan menengah yang mengincar dividen besar dari BUMN dengan stabilitas pendapatan. ADRO sesuai untuk diversifikasi portofolio, dengan posisi sebagai perusahaan batu bara terintegrasi dan eksposur proyek energi baru.
Namun, untuk strategi jangka panjang ala Warren Buffett, ITMG menjadi kandidat paling kuat. Dengan kombinasi valuasi murah, neraca keuangan yang sangat sehat, arus kas yang kuat, dan disiplin dalam manajemen dividen, ITMG tampak seperti perusahaan “hebat” yang dijual dengan harga wajar atau yang sesuai dengan pendekatan Buffett.(*)
Artikel ini disediakan untuk tujuan informasi semata dan bukan merupakan ajakan, rekomendasi, atau instruksi untuk membeli atau menjual saham. Segala bentuk analisis dan rekomendasi saham sepenuhnya berasal dari pihak analis atau sekuritas yang bersangkutan. KabarBursa.com tidak bertanggung jawab atas keputusan investasi, kerugian, atau keuntungan yang timbul akibat penggunaan informasi dalam artikel ini. Keputusan investasi sepenuhnya merupakan tanggung jawab investor. Investor diharapkan melakukan riset independen dan mempertimbangkan risiko dengan cermat sebelum mengambil keputusan investasi.