Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

APBI Ungkap Penyebab Penurunan Ekspor Batubara ke China

Ekspor batubara ke China terpantau lesu. APBI memberikan penjelasan terkait dengan penyebab penurunan ekspor batubara. Lalu apa dampaknya ke emiten batubara?

Rubrik: Market Hari Ini | Diterbitkan: 23 April 2025 | Penulis: Desty Luthfiani | Editor: Citra Dara Vresti Trisna
APBI Ungkap Penyebab Penurunan Ekspor Batubara ke China Ilustrasi penurunan ekspor batubara ke China. Foto dibuat oleh AI untuk Kabar Bursa

KABARBURSA.COM – Pelaksana tugas (Plt) Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI), Gita Mahyarani menegaskan, penurunan nilai ekspor batu bara Indonesia ke China lebih disebabkan oleh kondisi oversupply di negara tersebut, bukan implementasi Harga Batu Bara Acuan (HBA).

“Kami tidak bisa simpulkan hal tersebut pengaruh HBA. Karena kondisi di sana memang oversupply,” ujar Gita melalui pesan singat kepada KabarBursa.com pada Rabu, 23 April 2025.

Menurut Gita, produksi domestik batubara di China tengah mengalami peningkatan signifikan, yang berdampak langsung pada penurunan kebutuhan impor batu bara dari luar negeri, termasuk dari Indonesia. Dari total kebutuhan batu bara China, hanya sekitar 9 persen yang berasal dari impor.

“Dan dari 9 persen kebutuhan impor tersebut, sekitar 5 persennya dipasok dari Indonesia. Jadi 4 persen sisanya berasal dari negara lain,” sambung dia.

Lebih lanjut Gita menyebut bahwa saat ini stok batubara di China masih melimpah, dan kondisi pasar global masih dalam fase wait and see. Dalam situasi seperti ini, ekspor batubara Indonesia ke China secara volume masih berlangsung normal, namun nilai ekspor mengalami penurunan akibat turunnya harga jual.

“Sejauh ini ekspor ke china juga masih normal. Untuk volume ekspor bisa ditanyakan ke pemerintah datanya karena yang saya pahami yang menurun adalah nilai ekspor dipengaruhi penurunan harga,” ujar dia.

Penurunan Impor China dan Polemik HBA

Dilansir dari Reuters, data terbaru dari General Administration of Customs China menunjukkan bahwa pada Maret 2025, impor batu bara China dari Indonesia turun 9 persen secara tahunan menjadi 17,96 juta ton.

Penurunan ini terjadi setelah Indonesia mulai menerapkan Harga Batubara Acuan (HBA) sebagai harga minimum transaksi ekspor mulai 1 Maret 2025, yang berdampak pada daya saing harga batu bara Indonesia di pasar internasional. ​

Selain itu, penurunan impor ini juga dipengaruhi oleh tingginya stok batu bara di pelabuhan-pelabuhan China dan lemahnya permintaan domestik, yang menyebabkan harga spot batu bara mencapai level terendah dalam empat tahun terakhir

Namun, sebagian pelaku industri menyoroti bahwa faktor lain yang turut berpengaruh adalah kebijakan baru dari pemerintah Indonesia, yang mewajibkan penggunaan HBA sebagai referensi ekspor.

Meski pemerintah memberikan kelonggaran bagi kontrak lama yang masih menggunakan Indonesian Coal Index (ICI), perbedaan harga antara HBA yang lebih tinggi dibanding ICI dinilai dapat menurunkan daya saing ekspor batu bara Indonesia.

Dalam jangka pendek, situasi ini berisiko menekan kinerja sejumlah emiten tambang besar seperti Adaro Energy Indonesia Tbk (ADRO), Bukit Asam Tbk (PTBA), dan Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG), yang memiliki ketergantungan tinggi pada pasar ekspor, khususnya ke China.

Pada kuartal pertama tahun 2025, tiga emiten besar sektor tambang mencatatkan penurunan pendapatan yang signifikan dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. PT Adaro Energy Indonesia Tbk (ADRO) membukukan pendapatan sebesar Rp14,77 triliun, turun dari Rp20,20 triliun pada kuartal I 2024, atau mengalami penurunan sekitar 26,9 persen.

Sementara itu, PT Bukit Asam Tbk (PTBA) mengalami penurunan pendapatan dari Rp9,57 triliun menjadi Rp7,03 triliun, yang berarti penurunan sekitar 26,6 persen. Di sisi lain, PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG) mencatat pendapatan sebesar Rp7,45 triliun, lebih rendah dari Rp9,36 triliun pada kuartal sebelumnya, atau menyusut sekitar 20,5 persen.

Perbandingan pendapatan ketiga perusahaan ini antara kuartal I 2024 dan kuartal I 2025.
Sekadar informasi, kebijakan HBA sendiri mulai diberlakukan sejak September 2008, mengacu pada Permen ESDM No. 17 Tahun 2010, dan disempurnakan melalui revisi, termasuk Permen ESDM No. 07 Tahun 2017. Tujuan utamanya adalah untuk menciptakan transparansi, keadilan, serta memastikan optimalisasi penerimaan negara dari sektor tambang.

Namun, perbedaan antara HBA dan ICI menimbulkan tantangan. ICI disusun berdasarkan transaksi riil pasar, sementara HBA ditetapkan oleh pemerintah dengan komponen rata-rata harga internasional. Dalam kondisi pasar global yang fluktuatif, selisih ini dapat mempengaruhi keputusan pembeli, terutama dari negara-negara dengan tekanan harga tinggi.

APBI dan Peluang Diversifikasi Pasar

Dalam kesempatan yang sama, Gita juga menegaskan peran APBI sebagai asosiasi yang menaungi 99 perusahaan tambang batu bara di Indonesia, termasuk pemain besar dan menengah di industri ini.

Meski pasar China sedang melambat, tekanan ini bisa menjadi momentum untuk mendorong diversifikasi ekspor batu bara ke negara lain seperti India, Jepang, Korea Selatan, Taiwan, dan kawasan ASEAN. Pasar ekspor batu bara saat ini masih akan seputar China, India, Asia Tenggara, Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan. 

Selain itu, perusahaan tambang nasional juga berpotensi meningkatkan efisiensi operasional dan memperkuat strategi bisnis mereka di tengah tren global menuju energi baru terbarukan (EBT).

Gita menegaskan kembali bahwa asosiasi tidak menyimpulkan penurunan ekspor semata karena kebijakan HBA.

“Sekedar catatan, saya tidak menyimpulkan jika aturan HBA mempengaruhi penurunan ekspor. Lebih karena alasan-alasan di atas. Mohon kiranya dapat dipahami,” kata dia.(*)