Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

RI Klarifikasi Tarif Ekspor Tekstil ke AS

Amerika Serikat memiliki tiga jenis tarif impor yang baru, yakni tarif dasar baru, tarif resiprokal, dan tarif sektoral.

Rubrik: Market Hari Ini | Diterbitkan: 22 April 2025 | Penulis: Dian Finka | Editor: Pramirvan Datu
RI Klarifikasi Tarif Ekspor Tekstil ke AS Hasil Temuan 60.000 produk tekstil (TPT) bernilai Rp60 miliar disita Kemeneterian Perdagangan, di Pergudangan Kamal Muara, Jakarta Utara, Jumat, 8 November 2024 Foto: KabarBursa/Dian Finka.

KABARBURSA.COM - Kementerian Perdagangan telah melakukan simulasi terhadap besaran tarif yang dikenakan oleh Amerika Serikat pada produk ekspor asal Indonesia. Hasil simulasi menunjukkan bahwa tarif yang berlaku saat ini berkisar antara 15 hingga 30 persen, bukan 47 persen.

“Tolong diluruskan, yang tadi menulisnya 47 persen, jangan ditulis 47 persen ya, karena yang sebenarnya adalah misalnya tekstil 15 persen sampai 30 persen. Kita harus pas menyampaikan informasi kepada masyarakat,” ujar Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan Djatmiko Bris Witjaksono, di Kementerian Perdagangan, Jakarta, Senin 21 April 2025.

Djatmiko mengatakan, Amerika Serikat memiliki tiga jenis tarif impor yang baru, yakni tarif dasar baru, tarif resiprokal, dan tarif sektoral. Tarif yang saat ini memengaruhi produk tekstil adalah tarif dasar baru sebesar 10 persen.

Tarif dasar yang baru (new baseline tariff) mulai diberlakukan pada 5 April 2025. Sementara itu, tarif resiprokal sebesar 32 persen yang ditujukan kepada Indonesia masih ditangguhkan selama 90 hari sebelum resmi diterapkan.

Sebelum kedua skema tarif ini diberlakukan, produk tekstil dan pakaian asal Indonesia telah dikenai berbagai jenis bea masuk oleh Amerika Serikat, dengan kisaran tarif antara 5 hingga 20 persen.

Oleh karena itu, besaran tarif yang saat ini berlaku untuk produk tekstil adalah besaran tarif awal (5–20 persen) ditambah tarif dasar baru sebesar 10 persen.“Jadi, tingkat tarif yang beragam untuk satu sektor, contoh untuk tekstil dan pakaian, itu akan ditambah 10 persen, sehingga nanti range yang baru adalah 15–30 persen,” kata dia.

Kenaikan serupa juga diterapkan pada sejumlah komoditas lainnya, seperti produk alas kaki yang sebelumnya dikenai tarif 8–20 persen, kini naik menjadi 18–30 persen. Untuk furnitur berbahan kayu, tarif meningkat dari 0–3 persen menjadi 10–13 persen. Produk perikanan mengalami lonjakan tarif dari 0–15 persen menjadi 10–25 persen, sementara produk berbahan karet naik dari 2,5–5 persen menjadi 12,5–15 persen.

Apabila tarif resiprokal mulai diberlakukan di Indonesia pada 9 Juli 2025, maka bea masuk untuk produk tekstil dan pakaian akan berada di kisaran 37–52 persen. Dengan begitu, skema tarif dasar yang baru (new baseline tariff) tidak akan lagi digunakan.

“Untuk tekstil yang tadinya 5–20 persen, ditambah 32 persen (tarif resiprokal) menjadi 37–52 persen,” tutupnya.

Ekspor Paling Strategis

Amerika Serikat tidak hanya menjadi salah satu penyumbang utama surplus neraca perdagangan Indonesia dalam 10 tahun terakhir, tetapi juga terbukti sebagai pasar ekspor paling strategis bagi sejumlah komoditas unggulan nasional. Khususnya produk pakaian dan alas kaki.

Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasanti menyampaikan bahwa kontribusi AS terhadap ekspor komoditas pakaian dan alas kaki Indonesia sangat dominan jika dibandingkan dengan negara-negara tujuan lainnya.

“Amerika Serikat merupakan negara tujuan utama ekspor Indonesia untuk produk pakaian dan alas kaki,” ujar Amalia dalam konferensi pers di kantornya, Senin 21 April 2025.

Untuk komoditas pakaian dan aksesoris rajutan (HS61), ekspor Indonesia ke AS mencapai pangsa pasar sebesar 63,40 persen. Angka ini jauh melampaui negara tujuan ekspor lainnya seperti Jepang dan Korea Selatan.

Sementara itu, pada komoditas pakaian dan aksesoris bukan rajutan (HS62), ekspor ke AS menyumbang 42,96 persen dari total ekspor Indonesia. “Disusul oleh Jepang dan kemudian ke Korea Selatan,” jelas Amalia.

Berdasarkan data BPS periode Januari hingga Maret 2025, Jepang dan Korea Selatan masing-masing menempati posisi selanjutnya dengan volume 3,30 ribu ton (5,41 persen) dan 3,12 ribu ton (5,14 persen). Negara-negara lainnya menyumbang 26,05 persen atau sekitar 15,87 ribu ton.

Pada kategori pakaian dan aksesorinya bukan rajutan (HS 62), Amerika Serikat juga masih menjadi pasar ekspor terbesar, dengan volume 17,70 ribu ton atau 42,96 persen dari total ekspor kategori ini. Jepang menyusul dengan 4,28 ribu ton (10,39 persen), disusul Korea Selatan dengan 2,89 ribu ton (7 persen). 

Sementara itu, negara-negara lainnya berkontribusi sebesar 39,65 persen atau sekitar 16,34 ribu ton.

Sementara itu, pada kategori alas kaki (HS 64), dominasi Amerika Serikat masih kuat meski tidak sebesar dua kategori sebelumnya. Volume ekspor ke negeri Paman Sam tercatat sebesar 33,27 ribu ton, menyumbang 34,16 persen dari total ekspor produk alas kaki Indonesia. 

Belanda menempati posisi kedua dengan 8,18 ribu ton (8,40 persen), diikuti Belgia dengan 6,95 ribu ton (7,14 persen), Jepang dengan 5,75 ribu ton (5,90 persen), dan Tiongkok dengan 5,47 ribu ton (5,61 persen). Negara-negara lainnya mencakup porsi terbesar di kategori ini, yaitu 38,78 persen atau setara dengan 37,77 ribu ton.

Ekspor Non-Migas ke China

Berdasarkan data BPS, komoditas ekspor non-migas lain yang menunjukkan kinerja positif selain besi, baja, CPO adalah bijih logam, terak dan abu mencatatkan kenaikan sebesar 4.154,80 persen, mencapai USD573,6 juta.

Sektor besi dan baja mengalami pertumbuhan yang mencolok sebesar 19,64 persen. Di posisi berikutnya, mesin dan peralatan elektrik mencatatkan peningkatan sebesar 19,58 persen.

“Sebaliknya, ada beberapa komoditas yang mengalami penurunan ekspor, seperti mesin dan peralatan mekanis yang turun sebesar 20,58 persen serta bahan bakar mineral yang mengalami penurunan 2,44 persen,” jelas Amalia.

Pada Maret 2025, ekspor nonmigas Indonesia ke tiga negara tujuan utama seperti China, Amerika Serikat, dan India, di mana masing-masing tercatat sebesar USD5.197,2 juta, USD2.629,0 juta, dan USD1.409,8 juta. Pengiriman barang ke China melonjak 21,50 persen, sementara ekspor ke Uni Eropa juga naik 16,12 persen.

Sebaliknya, ekspor ke negara seperti Thailand dan Australia mengalami kontraksi yang cukup dalam, yakni masing-masing sebesar 47,22 persen dan 23,20 persen.

Dilihat dari sektornya, produk hasil industri pengolahan tetap menjadi kontributor utama dalam ekspor nonmigas Indonesia, dengan pertumbuhan sebesar 2,98 persen. Sementara sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan juga turut mengalami kenaikan 1,73 persen, didorong terutama oleh peningkatan pengiriman produk tanaman obat, aromatik, serta rempah-rempah.(*)