KABARBURSA.COM - Emiten batu bara dinilai bakal terkena dampak positif setelah pemerintah menerbitkan ihwal penyesuaian tarif royalti mineral dan batu bara (minerba).
Salah satu surat yang diterbitkan ialah Peraturan Pemerintah No.18 Tahun 2025 yang menjelaskan tentang Perlakukan Perpajakan dan Penerimaan Negara Bukan Pajak di Bidang Usaha Pertambangan Batu Bara. Peraturan ini merupakan perubahan dari Peraturan Pemerintah No.15 Tahun 2022.
Analis Stocknow.id Abdul Haq Al Faruqy Lubis mengatakan, dalam aturan baru ini, tarif royalti disesuaikan berdasarkan Harga Batubara Acuan (HBA) dan jenis batu bara yang diproduksi.
"Tujuan utama dari kebijakan ini adalah untuk meningkatkan penerimaan negara dari sektor batu bara, yang selama ini menjadi salah satu penyumbang devisa terbesar dengan menyesuaikan dengan fluktuasi harga batubara global dan domestik," ujar dia kepada KabarBursa.com, Senin, 21 April 2025.
Menurut Abdul, tarif pada kebijakan baru tersebut mengadopsi pendekatan bertingkat berdasarkan rentang HBA yang lebih luas, misal, 70–<120, 120–<140. Sementara dalam PP No.15 Tahun 2022, kenaikan tarif royalti terjadi lebih tajam dalam kisaran harga yang lebih sempit.
"Sementara itu, tarif royalti untuk penjualan domestik tetap datar di angka 14 persen baik dalam aturan lama maupun baru, menandakan bahwa kebijakan ini lebih berfokus untuk mengatur ulang pungutan dari ekspor batu bara yang menjadi sumber devisa lebih besar," jelasnya.
Abdul menegaskan, kebijakan baru ini memberikan sedikit ruang bernapas kepada produsen. Hal ini tidak lepas dari harga batu bara global yang turun ke kisaran USD95,05/ton dan HBA pada April 2025 di USD 120,20/ton.
Dalam kondisi pasar melemah, lanjut dia, pemerintah menurunkan tarif royalti dibandingkan aturan sebelumnya dari 28 persen ke 19 persen.
"Hal ini menunjukkan bahwa PP No. 18/2025 memiliki pendekatan yang lebih adaptif terhadap fluktuasi harga, dan tidak serta-merta menambah beban pajak dalam kondisi pasar yang menurun," terangnya.
Abdul menilai bahwa wacana penyesuaian tarif berpotensi meningkatkan kinerja emiten terkait, mengingat HBA per April 2025 sebesar USD120/ton.
"Emiten produsen batu bara yang beroperasi dengan kontrak IUPK adalah BUMI, INDY, dan AADI," katanya.
Lebih jauh Abdul memandang, kebijakan baru ini disambut baik para investor. Hal ini dikatakannya usai berkaca dari pergerakan harga saham batubara seperti AADI, PTBA, ataupun ITMG.
Menurut Abdul, ketiga saham tersebut masih dalam trend bearish dalam jangka menengah, tetapi sudah mulai bergerak bullish dalam trend jangka pendek sejak 25 Maret 2025.
"Sehingga dapat dikatakan bahwa pasca isu penerbitan peraturan terbaru yang menguntungkan emiten batubara ini disambut positif oleh para investor," terangnya.
Adapun, lanjut Abdul, penguatan saham related mulai dari 25 maret – 17 april 2025 seperti PTBA menguat +18,7 persen dan ITMG terdongkrak +12,3 persen.
Abdul menyebut, pihaknya merekomendasikan saham AADI dan PTBA untuk jangka waktu pendek di tengah penyesuaian royalti terhadap batu bara:
Harga Batu Bara Anjlok 75 Persen
Harga batu bara di pasar internasional pada Maret 2025 mengalami penurunan signifikan, menyentuh level terendah sejak Mei 2021. Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasanti, menyatakan bahwa penurunan harga komoditas energi, termasuk batu bara dan minyak mentah, menjadi faktor utama dalam tren penurunan harga komoditas energi secara keseluruhan.
"Secara umum perubahan harga komoditas di pasar internasional bervariasi, baik secara month to month maupun secara year on year,” ujar Amalia dalam konferensi pers di kantornya, Senin, 21 April 2025.
Ia menjelaskan kelompok komoditas logam dan mineral serta logam mulia mengalami kenaikan harga secara bulanan. Sementara itu, harga komoditas energi dan pertanian justru menunjukkan tren penurunan. Penurunan harga komoditas energi ini didorong oleh turunnya harga minyak mentah dan batu bara.
“Penurunan harga komoditas energi didorong oleh menurunnya harga minyak mentah dan batu bara,” katanya.
Berdasarkan data World Bank, harga batu bara dunia pada Maret 2025 tercatat sebesar 103,97 dolar AS per metrik ton, menyentuh level terendah sejak Mei 2021. Sebagai perbandingan, pada puncaknya pertengahan 2022 lalu, harga batu bara sempat melambung hingga hampir mencapai 450 dolar AS per metrik ton.
Kondisi ini patut menjadi perhatian, mengingat batu bara merupakan salah satu komoditas ekspor unggulan Indonesia. Tren penurunan tajam harga batu bara bisa mempengaruhi kinerja neraca perdagangan nasional ke depan, terlebih jika tidak dibarengi dengan diversifikasi ekspor atau penguatan produk hilirisasi.
Di sisi lain, Amalia juga menyinggung aktivitas industri mitra dagang utama Indonesia yang turut memengaruhi permintaan terhadap komoditas ekspor. Ia menyebutkan, Purchasing Managers’ Index (PMI) manufaktur di beberapa negara seperti Tiongkok (51,2), Amerika Serikat (50,2), dan India (58,1) masih berada di zona ekspansif, yang menandakan aktivitas industri sedang tumbuh. Namun, Jepang tercatat berada di zona kontraksi dengan angka 48,4.
“Dan pada Maret 2025, PMI manufaktur di beberapa negara mitra dagang utama Indonesia berada pada zona ekspansif. Sementara untuk Jepang berada di zona kontraksi,” terang Amalia.(*)
Artikel ini disediakan untuk tujuan informasi semata dan bukan merupakan ajakan, rekomendasi, atau instruksi untuk membeli atau menjual saham. Segala bentuk analisis dan rekomendasi saham sepenuhnya berasal dari pihak analis atau sekuritas yang bersangkutan. KabarBursa.com tidak bertanggung jawab atas keputusan investasi, kerugian, atau keuntungan yang timbul akibat penggunaan informasi dalam artikel ini. Keputusan investasi sepenuhnya merupakan tanggung jawab investor. Investor diharapkan melakukan riset independen dan mempertimbangkan risiko dengan cermat sebelum mengambil keputusan investasi.