KABARBURSA.COM – Rencana kerja sama perdagangan bebas (FTA) antara Indonesia dan Rusia menjadi sorotan baru di pasar modal. Selain membuka peluang ekspor jangka panjang, kesepakatan ini juga memunculkan risiko persaingan yang perlu dicermati investor, terutama kalangan ritel.
Pengamat Pasar Modal Wahyu Tri Laksono menilai, dinamika global seperti FTA tak bisa hanya dilihat dari sisi peluang, tapi juga bagaimana kesiapan investor menghadapi risiko di baliknya.
“Investor ritel jangan hanya fokus pada potensi return. Perlu strategi yang adaptif dan berbasis analisis,” tegas Wahyu, kepada KabarBursa.com di Jakarta, Minggu 20 April 2025.
Menurutnya, ada beberapa hal krusial yang perlu diperhatikan investor untuk tetap kompetitif di tengah dinamika seperti ini:
“Jangan terlalu berat di satu atau dua sektor. Kalau ada sektor yang terpukul dampak FTA, portofolio kamu bisa tetap aman,” ujar Wahyu. Diversifikasi, lanjutnya, adalah langkah klasik tapi tetap relevan untuk mengelola risiko.
Investor juga diminta tak hanya terpaku pada rumor atau sentimen sesaat. “Pelajari emiten yang kamu incar. Cek apakah mereka bakal diuntungkan atau justru terdampak negatif dari FTA ini,” katanya.
Wahyu menyarankan agar investor tidak pasif menunggu kabar. “Ikuti perkembangan implementasi FTA Indonesia-Rusia. Ini penting untuk memahami sektor mana yang akan terdampak langsung,” ujarnya.
Lanjutnya Ia menekankan bahwa efek FTA mungkin tidak langsung terasa. “Bagi investor jangka panjang, FTA bisa jadi peluang besar. Tapi bagi trader harian, sentimen jangka pendek tetap perlu diwaspadai,” imbuh Wahyu.
Secara garis besar, Wahyu menyebut FTA Indonesia-Rusia merupakan peluang strategis untuk memperluas pasar ekspor. Namun ia mengingatkan agar investor ritel tidak terburu-buru mengambil keputusan tanpa data dan analisis.
“Ini bukan hanya soal mana saham yang akan naik, tapi bagaimana kamu membaca arah pasar, memetakan risiko, dan menyiapkan strategi,” pungkasnya.
Perkuat Hubungan Dagang
Sebelumnya, Wakil Menteri Perindustrian dan Perdagangan Rusia Alexey Gruzdev menegaskan komitmen negaranya untuk memperkuat hubungan dagang dengan Indonesia melalui skema Perjanjian Perdagangan Bebas atas FTA.
Gruzdev mengatakan Rusia akan menghapus hambatan perdagangan demi memperdalam kerja sama bilateral.
“Kami sangat ambisius terkait FTA ini, jadi kami berupaya sefleksibel mungkin dari kedua belah pihak,” ujarnya di forum bisnis Rusia-Indonesia.
Ia menambahkan, target utama dari kesepakatan ini adalah mengeliminasi sebagian besar hambatan dagang. Namun, karena masih dalam tahap negosiasi, detail lebih lanjut belum dapat diungkapkan.
Menanggapi pertanyaan mengenai tarif timbal balik dari Amerika Serikat (AS) dan apakah Rusia akan memanfaatkannya untuk kepentingan bilateral dengan Indonesia, Gruzdev menegaskan isu tersebut seharusnya ditangani secara terpisah.
“Itu adalah hal yang seharusnya ditangani secara independen, tapi dalam hal ini, FTA (Perjanjian Perdagangan Bebas) justru bisa menjadi jaminan bagi perdagangan bilateral, terlepas dari semua tarif timbal balik,” jelasnya.
"Kami akan memastikan bahwa setidaknya perdagangan bilateral kami tetap menjadi saluran yang terpisah," imbuhnya.
Gruzdev mengatakan Rusia tidak akan memanfaatkan situasi ketika suatu negara sedang menghadapi tekanan ekonomi dari negara lain sebagai celah untuk mendistribusikan barang. Menurutnya, tindakan semacam itu bukanlah pendekatan yang akan diambil Rusia.
Pernyataan ini mencerminkan pendekatan Rusia yang berhati-hati namun strategis dalam memperluas kemitraan global di tengah dinamika geopolitik dan ketegangan dagang global.
Sebelumnya, Pemerintah Indonesia akan mengirimkan sejumlah menteri ke Washington DC pada 16 hingga 23 April mendatang sebagai bagian dari upaya strategis menghadapi kebijakan tarif baru yang diberlakukan AS.
Arah Strategi Ekspor-Impor
Gagasan kerja sama perdagangan bebas (free trade agreement/FTA) antara Indonesia dan Rusia mulai memantik spekulasi arah strategi ekspor-impor nasional. Namun di balik potensi pasar baru, pelaku pasar mulai menghitung siapa yang berpotensi cuan, dan siapa yang harus pasang kuda-kuda lebih dulu.
Menurut pengamat pasar modal Wahyu Tri Laksono kesepakatan FTA ini bisa menjadi “angin segar” bagi sejumlah sektor ekspor unggulan Indonesia.
Namun ia juga mengingatkan adanya risiko tekanan bagi beberapa industri dalam negeri jika gelombang impor dari Rusia tak dikendalikan secara strategis.
“Kalau skenario FTA ini benar-benar berjalan, kita bicara bukan hanya potensi ekspor yang melejit, tapi juga potensi tekanan dari sisi impor. Dan ini perlu dikaji sektoral,” ujarnya kepada Kabarbursa.com, Sabtu, 19 Maret 2025.
Menurut Wahyu, sektor komoditas berada di posisi terdepan dalam skenario optimistis. “Minyak sawit, karet, rempah, kopi, tambang, itu semua punya pasar di Rusia yang bisa digarap lebih agresif kalau tarif turun,” ungkapnya.
Selain komoditas, beberapa produk manufaktur seperti tekstil, alas kaki, hingga furnitur juga disebut punya peluang menembus pasar Rusia.
“Produk-produk ini punya daya saing harga. Kalau hambatan tarif dipangkas, bisa jadi game-changer buat UMKM manufaktur,” tambahnya.
Sektor perikanan dan pertanian juga dinilai bisa ikut terdongkrak. “Produk hortikultura, perikanan laut dalam, udang, dan olahan lainnya bisa jadi unggulan ekspor baru,” ujar Wahyu.
Namun, ia mengingatkan ada risiko dari sisi persaingan produk impor. “Beberapa sektor manufaktur domestik kita masih lemah di efisiensi dan ketergantungan bahan baku impor. Kalau barang dari Rusia masuk dengan harga kompetitif, ini bisa jadi tekanan,” jelasnya.
Wahyu juga menyoroti potensi tumpang tindih sektor industri, khususnya di logam dan pupuk. “Kalau Rusia masuk lewat jalur pupuk atau produk logam, dan harga mereka lebih murah, sektor dalam negeri bisa terdorong mundur kalau tidak siap,” kata dia.
Selain itu, perubahan rantai pasok akibat insentif impor baru juga bisa jadi tantangan. “Kalau tiba-tiba bahan baku lebih murah datang dari Rusia, produsen yang selama ini tergantung negara lain harus adaptasi cepat. Kalau enggak, cost bisa naik,” ujarnya.
Di sisi lain, Wahyu menilai bahwa dari kaca mata pasar modal, reaksi terhadap rencana FTA ini masih tergolong tenang. “Investor akan bergerak kalau sudah ada sektor yang jelas diuntungkan. Sekarang masih banyak noise soal geopolitik dan suku bunga,” pungkasnya. (*)