Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Prapenjualan DMAS Lompat, Efeknya ke Portofolio Investor?

Emiten pengembang properti khususnya real estat, PT Puradelta Lestari Tbk atau Deltamas baru saja memamerkan angka marketing sales sebesar Rp466 miliar.

Rubrik: Market Hari Ini | Diterbitkan: 17 April 2025 | Penulis: Syahrianto | Editor: Syahrianto
Prapenjualan DMAS Lompat, Efeknya ke Portofolio Investor? Ilustrasi: Desain maket kota yang akan dikembangkan PT Puradelta Lestasi Tbk atau Deltamas (DMAS). (Foto: Dok. Deltamas)

KABARBURSA.COM - Emiten pengembang properti khususnya real estat, PT Puradelta Lestari Tbk atau Deltamas baru saja memamerkan angka marketing sales sebesar Rp466 miliar di kuartal I tahun 2025. Nilai yang ditunjukkan ini setara dengan 26 persen dari total target tahunan, yakni Rp1,81 triliun. 

Menurut Direktur dan Sekretaris Perusahaan Deltamas Tondy Suwanto, menyebut permintaan lahan industri masih tinggi, sekitar 80 hektare. Apabila ini dikonversi ke penjualan, potensi tambahan pemasukan bisa sangat besar. Artinya, laba bersih Deltamas bisa makin tebal sehingga biasanya langsung diikuti oleh dividen yang makin gemuk. 

"Pada kuartal pertama 2025, perseroan berhasil menjual 14,2 hektare lahan industrinya. Penjualan awal tahun ini didominasi oleh sektor data center, yaitu sekitar 86 persen," ujar Tondy, melalui siaran pers Kamis, 17 April 2025. 

Meskipun capaian tersebut sangat positif untuk Deltamas, muncul satu pertanyaan yang mungkin menggantung di benak investor: apa efeknya ke portofolio investor? Jawabannya kemungkinan ada dua, yakni capital gain dan potensi dividen yang gemuk. 

Sebagaimana diketahui, emiten berkode saham DMAS ini dikenal sebagai salah satu emiten properti dengan dividen yield jumbo, bahkan sempat tembus 10-12 persen di tahun-tahun sebelumnya. Dengan pencapaian awal yang sudah sepertiga jalan, ini menjadi sinyal bagus bahwa perusahaan punya napas panjang buat tetap royal membagikan hasil.

Sahamnya Masih bisa Naik?

Sementara itu, bagi investor yang sudah menggenggam saham DMAS, capaian marketing sales kuartal I 2025 sebesar Rp466 miliar bukan cuma angka di laporan keuangan, melainkan adalah aset tidur yang sedang dibangunkan. 

Walau harga saham masih mandek di Rp140 (per 17 April 2025, pukul 12.00 WIB) dan seolah tak peduli, performa operasional ini menyimpan potensi capital gain yang sedang diracik perlahan.

Sayangnya harga saham DMAS belum banyak memberikan cerita indah. Selama lima tahun terakhir, return DMAS tercatat minus 25 persen. Bahkan secara year to date (ytd), saham ini turun lebih dari 6 persen, padahal indeks utama sempat menguat.

Ini menciptakan kesan bahwa meskipun fundamentalnya kokoh, pasar belum melihat katalis yang cukup kuat untuk mendorong re-rating. Valuasi DMAS sangat murah jika dibandingkan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) secara keseluruhan.

Dengan valuasi Price to Earning Ratio (PER) hanya 5,06x dan Price to Book Value (PBV) di bawah 1, saham ini secara teknikal sudah undervalued. Artinya, saat emiten lain mungkin sudah overpriced, DMAS justru punya ruang naik lebih lebar, tinggal menunggu pemantik.

Namun karena ini sektor properti, dan karena dividen sedang mati suri, pasar memilih menunggu.

Padahal, jika DMAS berhasil menarik satu atau dua pemain besar global ke Kawasan Deltamas sebagai pusat data center, narasi tentang kawasan industri digital akan langsung naik kelas. 

Ini bukan Cuma jual tanah, tapi positioning kawasan jadi digital hub. Kalau pasar percaya Deltamas bakal jadi “Silicon Valley-nya Timur Jakarta,” harga lahan naik, valuasi DMAS naik sehingga harga saham ikut naik.

Belum lagi jika akses tol Japek II benar-benar meningkatkan aktivitas kawasan. Semua ini bisa menjadi bahan bakar untuk kenaikan harga saham yang signifikan.

Dividen Yield Lumayan Tinggi

Di samping itu, bagi investor yang tidak terburu-buru mencari capital gain, DMAS menawarkan satu godaan klasik, yaitu dividen yield jumbo. Kalau melihat rekam jejaknya, Deltamas bukan pendatang baru dalam hal royal ke pemegang, Meski nilainya mencapai Rp25 per lembar di 2020 dan Rp12 per saham di 2023, menarik untuk diperhatikan.

Dengan harga saham saat ini hanya Rp140, pembagian dividen Rp12 saja setara dengan dividend yield hampir 8,6 persen. Ini sudah dua kali lipat dari bunga deposito. 

Kalau skenario optimistis terjadi, yakni target marketing sales Rp1,81 triliun 2025 tercapai, dan sebagian besar laba dikembalikan ke pemegang saham seperti tradisi sebelumnya, dividen 2025 bisa kembali mendekati angka dua digit, bahkan tembus 15–20 persen yield.

Ini bisa menjadikan DMAS sebagai dividen monster yang diremehkan pasar. Sahamnya memang belum lari, tapi bayangkan kalau kamu dibayar besar setiap tahun hanya untuk tetap duduk diam di kursi penonton, dividen sebesar itu bisa jadi cash cow di tengah market yang volatil.

Dengan asumsi margin laba bersih 40 persen dan payout ratio 90–100 persen, dividen per saham bisa berkisar antara Rp13,5 hingga Rp15. Bahkan jika laba bersih naik 20 persen dari ekspektasi konservatif, angka itu bisa menyentuh Rp18 per saham. 

Dengan harga saham saat ini di level Rp140, investor bisa mengantongi yield antara 9,6 persen hingga hampir 13 persen. Tanpa perlu berharap harga saham naik, investor sudah bisa duduk manis menikmati hasil. (*)