KABARBURSA.COM - Harga emas global terus menunjukkan tren penguatan seiring pelemahan indeks dolar Amerika Serikat dan meningkatnya ekspektasi pemangkasan suku bunga oleh The Fed pada tahun ini.
Pengamat pasar uang dan komoditas, Ibrahim Assuaibi, memprediksi harga emas dunia berpotensi menembus level USD3.310 per troy ounce dalam waktu dekat.
“Secara teknikal harian dan mingguan, harga emas saat ini sudah berada di level USD3.285 dan ada potensi besar minggu ini atau pekan depan menyentuh USD3.310. Jadi level USD3.300 itu sudah menjadi titik penting,” ujar Ibrahim Assuaibi, kepada media di Jakarta, Senin, 16 April 2025.
Tren penguatan harga emas ini didorong oleh pelemahan indeks dolar AS. Hingga pukul 12.03 WIB, indeks dolar tercatat berada di posisi 99,653 dan secara teknikal diprediksi akan terus menurun menuju area 97 dalam beberapa pekan ke depan.
Sinyal Pemangkasan Suku Bunga Semakin Kuat
Ibrahim menjelaskan, penurunan indeks dolar tak lepas dari rilis data inflasi Amerika Serikat yang menunjukkan perlambatan. “Inflasi turun dari 3 persen ke 2,5 persen sesuai ekspektasi. Ini membuka peluang besar bagi The Fed untuk memangkas suku bunga,” jelasnya.
Bahkan, menurut Ibrahim, pasar memperkirakan The Fed bisa memangkas suku bunga lebih dari tiga kali pada tahun ini dengan total penurunan yang bisa mencapai lebih dari 1 persen.
“Beberapa pejabat bank sentral negara bagian juga sudah memberi sinyal bahwa langkah ini dibutuhkan untuk merespons ketegangan perang dagang yang kian memanas,” ungkapnya.
Sementara pertemuan The Fed yang dijadwalkan pada April ini disebut menjadi momentum penting untuk mengonfirmasi arah kebijakan suku bunga ke depan.
Perang Dagang dan Gejolak Global Menambah Sentimen Positif Emas
Di sisi lain, ketegangan dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok disebut Ibrahim sebagai faktor tambahan yang memperkuat daya tarik emas sebagai aset safe haven.
“Tiongkok saat ini melakukan penahanan terhadap barang-barang impor AS, termasuk pesawat Boeing. Ini berdampak langsung ke saham-saham teknologi yang mulai berguguran,” katanya.
Meski ekonomi Tiongkok mencatat pertumbuhan 5,4 persen pada kuartal I 2025 yang melampaui ekspektasi 5,2 persen, Ibrahim menilai proyeksi ke depan masih penuh ketidakpastian.
“Kinerja kuartal pertama belum tentu terulang, apalagi jika eskalasi perang dagang berlanjut,” tutupnya.
Dengan kombinasi antara tekanan makroekonomi, tensi geopolitik, serta sinyal dovish dari The Fed, Ibrahim menilai tren bullish emas masih akan berlanjut dalam jangka pendek hingga menengah.
Harga Emas Masih jadi Primadona di 2025
Kenaikan harga emas yang terjadi berulang kali dalam beberapa waktu terakhir mencerminkan upaya pelaku pasar dalam mencari perlindungan. Di tengah situasi global yang penuh ketidakstabilan, logam mulia ini kembali memainkan perannya sebagai "bunker" kepercayaan investor.
Ketegangan geopolitik belum menunjukkan tanda-tanda mereda, baik di kawasan Eropa Timur maupun Timur Tengah. Di sisi lain, Presiden Donald Trump di Amerika Serikat kembali memantik eskalasi perang dagang jilid dua melalui kebijakan tarif baru. Kedua faktor ini saling berkelindan menambah lapisan ketidakpastian di pasar global.
Sebagaimana pola yang telah lama dikenal, ketika risiko meningkat, investor cenderung menjauhi aset-aset berisiko tinggi. Emas kembali menjadi sorotan sebagai aset klasik yang terbukti tangguh saat menghadapi gejolak ekonomi. Sementara itu, ancaman inflasi masih menghantui. Harga kebutuhan pokok terus mengalami kenaikan, padahal pemulihan ekonomi global belum sepenuhnya mapan.
Sentimen pasar yang saat ini memasuki fase risk-off membuka ruang bagi harga emas untuk terus bergerak naik. Dalam kondisi dunia yang kian sulit diprediksi, arah kenaikan harga emas justru semakin jelas terlihat.
Dari sisi kebijakan moneter, munculnya ekspektasi bahwa The Fed akan menurunkan suku bunga turut memperkuat tren positif harga emas. Ketika bunga acuan menurun, emas yang tidak memberikan imbal hasil bunga menjadi alternatif investasi yang lebih menarik. Suku bunga yang rendah juga membuat biaya menyimpan dana dalam bentuk emas terasa lebih masuk akal bagi investor.
Mengutip laporan dari Economic Times, sejumlah bank besar dunia telah menaikkan proyeksi harga emas mereka untuk tahun 2025. HSBC, misalnya, telah menyesuaikan target harga emas menjadi USD3.015 per ons dari sebelumnya USD2.687. Mereka menyebutkan bahwa ketidakpastian global dan potensi penurunan suku bunga menjadi dua faktor utama pendorongnya.
Bank of America bahkan lebih agresif dalam prediksinya, memperkirakan harga emas bisa menembus USD3.063 pada tahun ini. Mereka menekankan bahwa ketidakstabilan perdagangan internasional serta meningkatnya permintaan dari bank sentral menjadi faktor kunci.
Sementara itu, Standard Chartered memproyeksikan harga emas bisa mencapai titik tertinggi USD3.300 per ons pada kuartal kedua tahun ini. Analis mereka menilai lonjakan permintaan dari sektor ritel dan bank sentral sebagai penggerak utama.
Citigroup pun turut memberikan prediksi yang optimistis. Dalam proyeksinya, harga emas berpotensi menyentuh angka USD3.000 dalam kurun waktu 6 hingga 18 bulan ke depan. Proyeksi ini didasarkan pada kombinasi tekanan keuangan dan meningkatnya ketegangan geopolitik yang mereka gambarkan sebagai “badai sempurna”.
Menariknya, pergerakan harga emas saat ini tidak hanya dipengaruhi oleh investor ritel atau hedge fund semata. Bank sentral dari berbagai negara juga memperbesar cadangan emas mereka secara signifikan. Langkah ini dilakukan untuk mengurangi ketergantungan pada dolar AS sekaligus memperkuat kestabilan mata uang masing-masing.
Dalam laporan World Gold Council, tercatat bahwa negara-negara seperti China, India, dan Rusia telah secara aktif menambah kepemilikan emas sepanjang setahun terakhir. Ketika institusi sebesar bank sentral membeli dalam volume besar, harga emas cenderung terdorong naik.
Tren ini diprediksi akan berlanjut hingga akhir tahun ini. Banyak analis meyakini bahwa permintaan dari bank sentral masih berpotensi mencetak rekor baru, melanjutkan tren yang terjadi pada 2023 dan 2024 lalu. (*)