KABARBURSA.COM – Harga emas kembali menguat pada perdagangan Rabu, 16 Aptip 2025, dini hari WIB karena didorong oleh meningkatnya permintaan aset lindung nilai di tengah ketidakpastian arah kebijakan tarif Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Selain itu, pelemahan nilai tukar dolar AS turut memberi dorongan tambahan.
Dilansir dari Reuters di Jakarta, Rabu, harga emas di pasar spot naik 0,6 persen ke level USD3.230,18 per ons troy (setara Rp52,3 juta dengan kurs Rp16.200 per USD) per pukul 13.47 waktu New York. Sehari sebelumnya, emas sempat mencetak rekor tertinggi baru di level USD3.245,42 per ons troy.
Sementara itu, harga emas berjangka AS naik 0,4 persen dan ditutup di level USD3.240,40 per ons troy. “Pelaku pasar saat ini masih menunggu perkembangan fundamental selanjutnya yang bisa menggerakkan pasar emas. Tapi dari sisi teknikal, tren masih bullish. Permintaan safe haven masih cukup kuat,” kata Jim Wyckoff, analis senior dari Kitco Metals.
Kondisi ini diperkuat dengan dokumen yang dirilis Federal Register pada Senin lalu, yang menunjukkan bahwa pemerintahan AS sedang melanjutkan investigasi terhadap impor obat-obatan dan semikonduktor sebagai upaya menuju penerapan tarif baru.
Trump sendiri pada hari Minggu mengatakan akan mengumumkan besaran tarif untuk produk semikonduktor impor dalam sepekan ke depan.
Sebagai aset lindung nilai klasik, harga emas telah melonjak lebih dari 23 persen sepanjang 2025, dan berulang kali mencetak rekor tertinggi. Dalam catatan Commerzbank, kenaikan harga emas tak hanya disebabkan oleh keresahan geopolitik, tapi juga karena melemahnya dolar AS secara umum.
“Penguatan harga emas juga sejalan dengan pelemahan dolar, yang menandakan makin terkikisnya posisi dolar sebagai aset aman. Banyak investor yang kini mulai mengalihkan lindung nilainya ke emas,” tulis Commerzbank dalam catatannya.
Dari sisi moneter, ekspektasi pelonggaran suku bunga oleh bank sentral AS (The Fed) juga menjadi katalis positif. Dolar mendekati posisi terlemah dalam tiga tahun terakhir terhadap mata uang utama lain, membuat emas kian menarik bagi pemegang mata uang non-dolar.
Pasar kini memperkirakan The Fed akan kembali menurunkan suku bunga pada bulan Juni setelah sempat menahan pada Januari, dengan potensi penurunan total hingga 100 basis poin tahun ini. Pelaku pasar kini menantikan pidato Ketua The Fed, Jerome Powell, yang dijadwalkan berlangsung Rabu waktu setempat. Pasar berharap ada petunjuk lebih lanjut soal arah kebijakan moneter ke depan.
Sementara itu, logam mulia lainnya mencatatkan pergerakan beragam. Perak sedikit turun 0,1 persen ke level USD32,32 per ons troy. Sementara platinum naik 0,9 persen ke USD959,75 dan palladium menguat 1,7 persen ke level USD972,57 per ons troy.
Harga Emas Masih Jadi Primadona di 2025
Kenaikan harga emas yang terus berulang dalam beberapa waktu terakhir menunjukkan bahwa pelaku pasar sedang mencari perlindungan. Dalam situasi global yang tidak stabil, logam mulia ini kembali berfungsi sebagai “bunker” kepercayaan investor. Ketegangan geopolitik belum juga reda, baik di Eropa Timur maupun Timur Tengah. Di Amerika Serikat, Presiden Donald Trump kembali menyalakan api perang dagang jilid dua melalui kebijakan tarif baru. Kombinasi dua faktor ini menambah ketidakpastian di pasar global.
Seperti siklus yang sudah lama dikenal, ketika risiko membesar, investor cenderung menjauhi aset-aset berisiko. Mereka kembali melirik emas—aset klasik yang terbukti tangguh menghadapi badai ekonomi. Masalah inflasi pun masih membayangi. Harga barang-barang kebutuhan terus meningkat, sementara pemulihan ekonomi global belum sepenuhnya stabil.
Sentimen pasar yang saat ini memasuki fase risk-off memberi peluang bagi harga emas untuk terus menanjak. Dalam situasi dunia yang makin sulit diprediksi, arah kenaikan emas justru terlihat makin terang.
Dari sisi kebijakan bank sentral, ekspektasi pemangkasan suku bunga oleh The Fed turut memperkuat tren positif harga emas. Ketika suku bunga turun, emas yang tidak menghasilkan bunga justru menjadi opsi menarik bagi investor. Biaya pinjaman yang lebih rendah membuat penyimpanan dana di emas terasa lebih masuk akal.
Menurut laporan dari Economic Times, sejumlah bank besar dunia telah menaikkan target harga emas mereka untuk tahun 2025. HSBC, misalnya, merevisi naik proyeksi harga emas menjadi USD3.015 per ons dari sebelumnya USD2.687. Bank ini menyebut ketidakpastian global dan potensi penurunan suku bunga sebagai faktor utama pendorongnya.
Bank of America memiliki pandangan lebih agresif dengan memperkirakan harga emas bisa menyentuh USD3.063 pada tahun ini. Mereka menyoroti lemahnya stabilitas perdagangan internasional serta meningkatnya permintaan dari bank sentral sebagai alasan utama.
Sementara itu, Standard Chartered memprediksi harga emas bisa mencapai puncak di USD3.300 per ons pada kuartal kedua tahun ini. Analis mereka melihat lonjakan permintaan dari sektor ritel dan bank sentral sebagai pendorong utama.
Citigroup juga turut dalam deretan lembaga yang optimistis. Menurut proyeksi mereka, harga emas dapat menyentuh angka USD3.000 dalam 6 sampai 18 bulan mendatang. Hal ini didorong oleh kombinasi tekanan finansial dan eskalasi geopolitik yang disebut sebagai “badai sempurna”.
Yang menarik, pergerakan harga emas saat ini tidak hanya digerakkan oleh investor individu atau hedge fund semata. Bank sentral dari berbagai negara juga tengah memperbesar cadangan emas mereka. Motivasinya adalah mengurangi ketergantungan terhadap dolar AS sekaligus memperkuat stabilitas nilai tukar mata uang masing-masing.
Berdasarkan laporan World Gold Council, negara-negara seperti China, India, dan Rusia telah meningkatkan kepemilikan emas mereka secara signifikan sepanjang satu tahun terakhir. Ketika institusi sebesar bank sentral ikut melakukan pembelian dalam volume besar, otomatis harga akan terangkat. Tren ini diperkirakan akan berlanjut hingga akhir tahun. Banyak analis percaya bahwa permintaan dari bank sentral bisa kembali mencetak rekor, melanjutkan tren yang terjadi pada 2023 dan 2024 lalu.(*)