KABARBURSA.COM - Mobil listrik China menawarkan beberapa aspek menarik seperti harga yang kompetitif, desain yang tak kalah dengan pabrikan asal Jepang hingga Eropa, serta teknologi canggih di kelasnya.
Harga mobil listrik China juga terhitung ekonomis di kelasnya. Kalau boleh membandingkan, mobil listrik Jepang yang ada di Indonesia semisal Toyota bZ4X dibanderol Rp1,19 miliar, lalu dari Hyundai Ioniq 5 dari pabrikan asal Korea Selatan ditawarkan Rp738,3 juta hingga Rp911,2 juta on the road (OTR) Jakarta.
Sementara salah satu rival mobil listrik tersebut dari merek China seperti BYD Sealion 7, harganya kini mulai Rp629 juta sampai Rp719 juta OTR Jakarta.
Namun di balik beberapa kelebihannya, sebagian orang mungkin masih ragu dengan keamanan dan kualitas mobil listrik China.
Apalagi belum lama ini, mobil listrik canggih Xioami SU7 mengalami kecelakaan di China.
Dalam kecelakaan mobil listrik China ini, ada beberapa faktor yang diduga menjadi penyebabnya.
Mulai dari kondisi jalan yang sedang diperbaiki dan potensi kesalahan sistem bantuan pengemudi Navigation On Autopilot (NOA). Sebab SU7 nahas tersebut sedang melaju dengan kecepatan tinggi dalam mode NOA yang diaktifkan. Jalanan yang berada di wilayah konstruksi, juga diduga tidak dapat dikenali sistem.
Selain itu ada laporan gangguan pada teknologi NOA yang menyebabkan pintu kendaraan tidak dapat dibuka. Sehingga menghalangi upaya evakuasi penumpang.
Insiden ini mengakibatkan tiga orang penumpang meninggal dunia. Sementara dari sisi bisnis, saham Xiaomi di bursa Hongkong sempat anjlok 5 persen lebih sebagai imbas kekhawatiran pasar dan investor terhadap risiko kecelakaan hingga bisnis kendaraan listrik perusahaan.
Sementara di Indonesia, Chery J6 juga sempat dikeluhkan konsumennya karena mengalami robek pada bagian ban. Padahal Chery J6 yang digunakan pemilik akun Instagram @kevinyowilliam ini baru ia gunakan selama tiga hari. Kejadian tersebut tentu dapat menimbulkan keraguan akan kualitas mobil China.
"Jadi emang bener kualitas mobil China seburuk itu? Sampai gue pake tiga hari dan udah rusak," ujar pengguna mobil listrik offroad tersebut lewat unggahan video di akunnya, Kamis 3 April 2025.
Menanggapi insiden yang terjadi pada Xiaomi SU7, Pengamat Otomotif Yannes Martinus Pasaribu mengatakan, kualitas kendaraan dari berbagai merek di dunia terbagi dalam lima tingkat berdasarkan SAE (Society of Automotive Engineering) J3016.
"Klasifikasi SAE J3016 yang menjadi acuan internasional terkait leveling tingkat otomatisasi mengemudi (driving automation) untuk kendaraan bermotor di jalan raya, yang terbagi dalam 5 level. Semakin tinggi levelnya harus semakin didukung oleh ekosistem IoT (Internet of Things) pada jalan yang dilalui," ujarnya saat dihubungi KabarBursa.com, Minggu 13 April 2025.
Selain itu, fitur bantuan mengemudi pada mobil berteknologi tinggi juga membutuhkan dukungan hingga sertifikasi tertentu dari pihak regulator.
"Otomatisasi mengemudi tidak bisa sembarang dipakai di semua jalan model konvensional sekarang dan harus ada sertifikasi resmi dari pemerintah masing-masing wilayah dimana BEV (Battery Electric Vehicle) tersebut dipergunakan," kata Yannes.
Lima Tingkatan SAE J3016 pada Mobil
- Level 1 (Longitudinal or Transverse Guide):
Sistem yang dapat membantu satu aspek mengemudi, seperti kecepatan (adaptive cruise control) atau kemudi (lane keeping assist).
"Pada level 1 ini pengemudi masih harus aktif mengendalikan kendaraan. Tetap 'hands on' pada kemudi dan 'eyes on' saat berkendara," ucap Yannes.
- Level 2 (Traffic Control Guide) hingga Level 2+ (Enhanced Partial Automation): Sistem yang dapat mengendalikan kecepatan dan kemudi secara bersamaan, seperti di jalan raya.
"Pengemudi harus tetap waspada dan siap mengambil alih kemudi kapan saja. 'Hands off' bisa dilakukan sementara, tapi pengemudi harus tetap melihat arah laju kendaraan," terang Akademisi dari Institut Teknologi Bandung tersebut.
- Level 3 (Awareness for Take Over): Sistem yang dapat mengemudi sendiri dalam kondisi tertentu misalnya di jalan raya). Yannes bilang, pada level 3 ini pengemudi tetap harus siap mengambil alih jika diminta oleh sistem.
"Artinya tindakan 'Hands off' dan 'eyes off' bisa berlangsung sementara, dan pengemudi harus tetap "mind on" dalam berkendara," katanya.
- Level 4 (No Driver Intervention Take Over): Kendaraan dapat mengemudi sendiri dalam sebagian besar situasi tanpa campur tangan pengemudi, misalnya di area perkotaan tertentu.
"Pengemudi tidak perlu siap mengambil alih kemudi pada kendaraan atau bisa melakukan tindakan 'Hands off', 'eyes off', dan 'mind off' sementara," sebut Yannes.
- Level 5 (No Driver): Kendaraan sepenuhnya otonom di semua kondisi, tanpa perlu adanya pengemudi manusia. Ia menyebut, pada level ini kendaraan tidak memiliki kemudi atau pedal, cocok diterapkan pada kendaraan ride-sharing atau angkutan massal.
Salah Kaprah Pengemudi dalam Teknologi Autopilot
Dari beberapa tingkatan tersebut, mobil China dengan kemampuan otonom masih belum menyentuh level tinggi.
"Kalau dari analisis awal saya, sejauh ini mayoritas BEV terbaru dari China, Eropa maupun USA juga umumnya baru dilengkapi dengan Level 2 atau 2+. Yang mendekati level 3 SAE J3016 ada Tesla. Semua produsen BEV memang sudah membuat kemajuan signifikan dalam hal kualitas dan standar keamanan selama dekade terakhir. tetapi belum sempurna dan belum bisa sepenuhnya menggantikan kontrol manusia," terang Yannes.
Ia menekankan, pengguna mobil berteknologi tinggi perlu memahami keterbatasan teknologi otonom untuk mencegah insiden yang tidak diinginkan.
"Hal sejenis juga terjadi di Eropa dan AS, di mana fitur 'autopilot' itu bukanlah berarti "fully 'autonomous'. Jadi dalam banyaknya kasus, tampaknya aspek human error tetap menjadi penyebab utama kecelakaan lalu lintas. Bahkan dengan teknologi ADAS (Advanced Driver Assistance System) yang canggih saat ini baru mendekati level 3. Jadi pengemudi lah yang sering kali salah memahami batasan sistem atau terlalu bergantung pada fitur semi-otonom tersebut," papar Yannes.
Selain itu, teknologi otomatisasi mengemudi yang mengandalkan kamera, radar, AI atau kecerdasan buatan hingga perangkat lunak juga masih rentan akan gangguan yang menyebabkan malfungsi.
"Teknologi driving automation yang ada saat ini juga tetap rentan terhadap kesalahan pengguna atau kemungkinan masih adanya bug pada software-nya," pungkas Yannes.(*)