KABARBURSA.COM - Mata uang rupiah ditutup menguat sebesar 9 poin ke level Rp16.786 terhadap dolar AS pada perdagangan Senin, 14 April 2025. Penguatan rupiah terjadi di tengah pengumuman Gedung Putih yang menyebut barang elektronik dari China tidak dimasukkan dalam tarif 145 persen.
Pengamat pasar uang Ibrahim Assuaibi mengatakan, keputusan Gedung Putih untuk tidak memasukkan barang elektronik China dalam produk yang terkena tarif 145 persen ini menawarkan sedikit kelegaan bagi perusahaan-perusahaan besar Amerika Serikat (AS ) dengan eksposur impor yang besar ke China.
"Tetapi Donald Trump meremehkan gagasan ini, dengan menyatakan bahwa impor elektronik masih akan menghadapi pungutan sebesar 20 persen, dan bahwa ia sedang bersiap untuk segera mengumumkan tarif impor terpisah untuk barang elektronik," kata Ibrahim dalam keterangan tertulisnya, Senin, 14 April 2025.
Komentar Trump, kata Ibrahim, membuat investor waspada terhadap tarif lebih lanjut, terutama karena China dan AS terlibat dalam perang tarif yang sengit di minggu lalu.
"Beijing mengumumkan tarif balasan 125 persen terhadap AS atas langkah terbaru Trump, dan menunjukkan sedikit niat untuk mundur. Tiongkok juga terlihat menjangkau mitra dagang lain untuk meningkatkan perdagangan bilateral," ungkapnya.
Ibrahim membeberkan perang dagang ini diperkirakan akan mengguncang rantai pasokan global dan pertumbuhan ekonomi, dengan para pedagang terlihat memperkirakan setidaknya 50 persen kemungkinan resesi AS tahun ini.
Selain itu, pasar juga fokus terhadap data Produk Domestik Bruto (PDB) kuartal pertama China yang akan dirilis akhir minggu ini, seperti juga pembacaan ekonomi utama dari beberapa negara Asia lainnya.
Dari dalam negeri, Ibrahim mengimbau Indonesia harus bersiap menghadapi dinamika global akibat ketegangan perdagangan antara AS dan China yang dinilai berpotensi besar terhadap perekonomian tanah air.
"Tidak hanya melalui diplomasi, tetapi juga dengan memperkuat fondasi ekonomi dalam negeri," tuturnya.
Menurut dia, China yang kini menghadapi tekanan tarif dari AS akan cenderung memperkuat hubungannya dengan kawasan ASEAN.
Dalam konteks ini, Indonesia memiliki peluang strategis untuk menjadi mitra dialog yang kuat, namun tetap harus berhati-hati terhadap potensi dampak negatif seperti banjir impor akibat trade diversion.
Ibrahim membeberkan salah satu skenario yang harus diwaspadai adalah masuknya barang-barang ekspor China ke pasar Indonesia sebagai dampak dari pembatasan pasar AS.
"Tentunya hal tersebut bisa terjadi jika sistem pengawasan perdagangan Indonesia belum siap atau longgar, sehingga mengancam industri dalam negeri," tandas dia.
Lebih jauh Ibrahim menilai, langkah-langkah diplomasi yang mulai ditempuh oleh Presiden Prabowo Subianto serta pernyataan dari para menteri menunjukkan sinyal positif dalam merespons perubahan global.
"Kepentingan nasional tetap harus menjadi prioritas utama. Indonesia harus memastikan bahwa setiap langkah kebijakan luar negeri selaras dengan upaya memperkuat ketahanan ekonomi nasional," pungkasnya.
Tarif Elektronik Tidak Sepenuhnya Dikecualikan
Analis NH Korindo Sekuritas Indonesia Ezaridho Ibnutama, dalam risetnya memaparkan, pada 9 April 2025, Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengumumkan kebijakan penangguhan tarif selama 90 hari, yang awalnya disambut positif pasar global karena dianggap mencakup pengecualian terhadap produk elektronik dan semikonduktor.
Langkah ini dipandang sebagai upaya untuk menahan lonjakan harga konsumen di dalam negeri, khususnya di sektor teknologi yang sangat sensitif terhadap tarif impor. Namun, harapan itu pupus ketika pada 13 April 2025, Trump mengklarifikasi bahwa produk-produk tersebut tidak sepenuhnya dikecualikan dari tarif.
Alih-alih pembebasan penuh, elektronik dan semikonduktor tetap dikenakan tarif sebesar 20 persen selama masa penangguhan 90 hari, berbeda dari mayoritas produk lain yang hanya dikenakan tarif 10 persen.
Kebijakan ini menandai pendekatan tegas Trump dalam menekan negara-negara mitra dagang, dengan pernyataannya bahwa “tidak ada negara yang bebas dari kewajiban,” sebagai sinyal bahwa tarif yang lebih tinggi bisa diberlakukan setelah masa reprieve jika negosiasi dagang tidak berjalan sesuai keinginan Washington.
Situasi menjadi semakin rumit dengan pengecualian China dari skema reprieve yang lebih lunak. Negeri Tirai Bambu itu kini menghadapi tarif yang sangat tinggi, mencapai 145 persen terhadap berbagai produk impornya ke AS, termasuk elektronik dan semikonduktor.
Kebijakan ini muncul sebagai respons atas langkah balasan Beijing yang sebelumnya menetapkan tarif 125 persen terhadap barang-barang asal AS pada 11 April 2025. Analis memperingatkan bahwa pada level ini, perdagangan barang-barang teknologi antara kedua negara bisa berhenti total.
Sebagai contoh, harga iPhone kelas atas di pasar AS diperkirakan bisa melonjak dari USD1.599 menjadi USD2.300, akibat beban biaya produksi dan distribusi yang meningkat drastis.
Pemerintah AS menegaskan bahwa tarif terhadap elektronik dan farmasi akan menjadi area fokus khusus dalam dua bulan ke depan. Menteri Perdagangan Howard Lutnick mengungkapkan bahwa gelombang tarif tambahan akan diumumkan dalam rentang waktu Juni hingga Juli, terutama terhadap semikonduktor dan produk farmasi yang dianggap berada di luar struktur tarif timbal balik saat ini.
Trump sendiri menjanjikan akan menyampaikan pengumuman yang “sangat spesifik” pada Senin, 14 April 2025, terkait kategori barang yang menjadi target berikutnya.
Klarifikasi bahwa elektronik dan semikonduktor tidak dikecualikan sepenuhnya dari tarif memperkuat pandangan bahwa kebijakan dagang Trump jauh lebih agresif dibandingkan yang diperkirakan banyak pengamat sebelumnya.
Meski demikian, Gedung Putih juga menyadari bahwa perang dagang yang berkepanjangan antara dua ekonomi terbesar dunia, AS dan China, dapat menciptakan tekanan besar di kedua sisi. China merupakan mitra dagang terbesar AS, dan hubungan ekonomi yang memburuk bisa menimbulkan konsekuensi global.
Bagi perusahaan teknologi AS seperti Apple, kebijakan ini memaksa mereka melakukan manuver logistik yang mahal, seperti mengirimkan iPhone melalui jalur udara dari India dan China demi menghindari tarif yang dikenakan pada pengiriman laut.
Strategi ini tentu saja meningkatkan biaya yang pada akhirnya akan dibebankan kepada konsumen. Implikasi dari kebijakan ini diperkirakan akan mulai terlihat dalam angka inflasi AS untuk bulan April 2025.
Dalam jangka panjang, tarif ini mendorong perusahaan untuk memindahkan basis produksi dari China ke negara-negara lain seperti India dan Vietnam. Apple, misalnya, telah meningkatkan produksi iPhone di India dari 15 juta unit menjadi 25 juta unit untuk tahun ini, mencerminkan tren diversifikasi rantai pasok yang makin kuat.
Dampak dari ketegangan dagang ini juga akan dirasakan oleh pasar negara berkembang, termasuk Indonesia. Ketika tensi dagang global mereda—selain untuk China—Indonesia berpotensi mendapatkan keuntungan. Pasar saham domestik, yang sempat tertekan akibat ketidakpastian global, dapat mulai pulih.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) diperkirakan bisa kembali ke kisaran 6.400–6.600, didukung oleh sentimen positif investor. Nilai tukar Rupiah pun berpeluang menguat ke level Rp16.300–Rp16.500 per dolar AS, jika ketegangan dagang tidak meluas ke negara-negara mitra lainnya.
Namun, ancaman volatilitas masih membayangi, khususnya bagi sektor teknologi dan industri yang berkaitan erat dengan rantai pasok global. Selama tarif 20 persen masih berlaku dan bayang-bayang tarif yang lebih tinggi setelah masa reprieve belum sirna, gangguan terhadap distribusi semikonduktor dan elektronik akan terus berlanjut.
Jika ketegangan AS–China meningkat, dampaknya tidak hanya akan terasa di Washington dan Beijing, tapi juga di Jakarta, Hanoi, dan Mumbai.(*)