KABARBURSA.COM – Wall Street melonjak tajam pada Sabtu, 12 April 2025, dini hari WIB. Di tengah ketegangan yang masih menyelimuti pasar akibat perang dagang Presiden Donald Trump dengan China, indeks-indeks utama justru menguat, seolah mencoba menepis rasa takut yang belum sepenuhnya hilang.
Dilansir dari AP di Jakarta, Sabtu, Indeks S&P 500 melesat 1,8 persen setelah sempat naik turun tak karuan sepanjang hari. Dow Jones Industrial Average yang semula sempat minus 340 poin malah berbalik arah dan ditutup naik 619 poin (setara 1,6 persen). Nasdaq pun tidak mau ketinggalan, melonjak 2,1 persen. Pergerakan liar ini melengkapi pekan yang sarat dengan gejolak luar biasa.
Pemantik penguatan hari itu datang dari pasar obligasi, yang selama seminggu terakhir justru jadi pusat perhatian. Imbal hasil obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun sempat menembus 4,58 persen di pagi hari—bandingkan dengan 4,01 persen sepekan lalu. Bagi pasar obligasi, ini lonjakan besar. Kenaikan yield seperti itu bisa membuat suku bunga pinjaman rumah tangga dan korporasi ikut naik, serta memberi sinyal tekanan dalam sistem keuangan.
Untungnya, yield 10 tahun tersebut mereda di akhir perdagangan menjadi 4,48 persen. Tetap tinggi, memang, tapi tidak setinggi sebelumnya.
Presiden Bank Sentral AS wilayah Boston, Susan Collins, mengatakan The Fed siap turun tangan jika pasar keuangan mulai kacau. “Kami memiliki perangkat yang bisa digunakan jika muncul gangguan pada fungsi pasar atau likuiditas,” ujar Collins dalam wawancara dengan Financial Times.
Mengapa yield melonjak padahal biasanya turun saat pasar panik? Ada beberapa kemungkinan. Investor asing mungkin membuang obligasi AS akibat kekhawatiran atas perang dagang. Hedge fund juga bisa sedang menjual aset apa pun demi mendapatkan likuiditas. Yang lebih serius, ada kecurigaan bahwa status AS sebagai ‘tempat paling aman menyimpan uang’ mulai diragukan—semua karena gaya Trump yang hobi mengacak-acak kebijakan tarif.
Mata uang dolar AS juga terus melemah terhadap hampir semua mata uang utama, mulai dari euro, yen Jepang, hingga dolar Kanada. Di sisi lain, emas sebagai aset aman kembali bersinar dan mencetak rekor harga baru.
Di tengah perdagangan yang labil ini, China tak tinggal diam. Kemarin, Beijing mengumumkan mereka akan menaikkan tarif atas produk-produk dari AS hingga 125 persen, sebagai balasan terhadap langkah Trump yang sebelumnya kembali menaikkan tarif barang impor dari China.
Kementerian Keuangan China bahkan menyebut, kebijakan tarif berulang dari Washington ini “sudah menjadi permainan angka yang tidak lagi punya arti ekonomi praktis.” Dalam pernyataannya, mereka menambahkan, “Namun jika AS terus secara substansial melanggar kepentingan China, maka kami siap melawan hingga akhir.”
Ketegangan yang semakin memanas antara dua ekonomi terbesar dunia ini berpotensi memicu resesi global. Padahal sebelumnya Trump baru saja mengumumkan jeda tarif selama 90 hari untuk banyak negara—kecuali China.
Keyakinan Konsumen AS Luntur
Perang dagang yang kian panas ternyata bukan cuma bikin pasar saham gonjang-ganjing, tapi juga mulai menggerogoti rasa percaya diri konsumen di Amerika Serikat. Padahal, ekonomi AS mengawali tahun ini dengan laju yang cukup solid.
Survei awal dari University of Michigan menunjukkan sentimen konsumen AS mengalami penurunan lebih tajam dari yang diperkirakan para ekonom. Direktur survei, Joanne Hsu, menyebutkan penurunan ini terbilang luas dan merata di semua kelompok umur, pendapatan, tingkat pendidikan, wilayah geografis, dan afiliasi politik.
Presiden Wells Fargo Investment Institute, Darrell Cronk, menilai situasi sekarang masih berada di fase awal dari “perubahan rezim perdagangan global.” Ia menambahkan, jeda 90 hari untuk tarif balasan memang sempat menenangkan pasar, tapi di sisi lain juga memperpanjang ketidakpastian.
Tak heran kalau pelaku pasar di Wall Street masih menyiapkan diri untuk lebih banyak guncangan. Pekan ini saja diawali dengan rumor dan bantahan seputar jeda tarif dari Trump yang bikin harga saham naik-turun setiap jam. Setelah itu, bursa AS sempat mencetak salah satu hari terbaik dalam sejarah—hanya untuk kembali berbalik sebelum akhir pekan.
Secara keseluruhan, S&P 500 ditutup naik 95,31 poin menjadi 5.363,36 pada Jumat. Dow Jones melesat 619,05 poin ke 40.212,71, sedangkan Nasdaq naik 337,14 poin ke 16.724,46.
Kabar baik lainnya datang dari laporan keuangan tiga bank raksasa AS: JPMorgan Chase, Morgan Stanley, dan Wells Fargo. Ketiganya melaporkan laba kuartal pertama 2025 yang lebih tinggi dari ekspektasi analis. Saham JPMorgan naik 4 persen, Morgan Stanley menguat 1,4 persen, sementara Wells Fargo justru turun 1 persen.
Dari sisi inflasi, data harga grosir alias tingkat produsen juga keluar lebih baik dari perkiraan. Ini bisa memberi ruang bagi Federal Reserve untuk menurunkan suku bunga jika nanti diperlukan guna menopang ekonomi. Namun, laporan itu bersifat “melihat ke belakang” karena mencerminkan harga bulan Maret.
Yang menjadi kekhawatiran adalah dampak lanjutan dari tarif Trump yang baru akan terasa dalam beberapa bulan ke depan. Jika itu terjadi, Fed bisa kehilangan ruang manuver.
University of Michigan juga mencatat bahwa konsumen AS kini memperkirakan inflasi akan mencapai 6,7 persen dalam satu tahun ke depan. Ini adalah ekspektasi inflasi tertinggi sejak 1981. Jika sentimen ini tak segera dibendung, bisa menciptakan efek berantai yang justru mendorong inflasi makin tinggi.
Sementara itu di bursa global, pergerakannya cukup campur aduk. Indeks DAX di Jerman turun 0,9 persen, sementara FTSE 100 di London menguat 0,6 persen setelah pemerintah Inggris mengumumkan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi pada Februari. Di Asia, Nikkei 225 Jepang turun 3 persen, tapi Hang Seng Hong Kong justru naik 1,1 persen.(*)