KABARBURSA.COM – Presiden Amerika Serikat Donald Trump memberikan penundaan selama 90 hari terhadap kebijakan tarif impor yang sebelumnya sempat memicu kekhawatiran pasar global. Penundaan ini dinilai sebagai langkah strategis untuk membuka ruang negosiasi dan meredakan eskalasi perang dagang, sekaligus memberikan sinyal bahwa pasar saham global, termasuk Asia, memiliki waktu untuk bernapas sejenak.
Equity Research Analyst MNC Sekuritas, Christian, menjelaskan bahwa meskipun muncul isu bahwa Trump menunda kebijakan tarif untuk mengamankan modal kampanye, ia menilai motivasi utamanya bukan soal politik elektoral, melainkan strategi ekonomi jangka pendek. “Trump dikenal sebagai seorang trader. Ketika ia menyatakan it’s time to buy. itu bukan hanya sekadar retorika, tapi strategi untuk mengambil posisi harga murah sebelum langkah selanjutnya diambil,” ujarnya di acara Bursa Pagi-Pagi di studio Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat, 11 April 2025.
Trump sebelumnya menetapkan tarif impor terhadap sejumlah produk asal China dan negara lain sebagai bagian dari strategi untuk mengurangi defisit perdagangan Amerika Serikat.
Selain itu, tarif juga digunakan sebagai alat tekanan agar negara-negara mitra dagang seperti China bersedia mengubah praktik perdagangan yang dianggap merugikan AS, termasuk isu transfer teknologi dan hak kekayaan intelektual. Dalam pandangan Gedung Putih, kebijakan tarif diposisikan sebagai instrumen tawar-menawar dalam diplomasi dagang yang lebih luas.
Menurut Chris, penundaan tarif selama 90 hari ini seolah menjadi ajakan untuk para pelaku pasar kembali masuk ke dalam aset berisiko, terutama saham. “Ini bukan soal balikin modal kampanye, tapi lebih ke arah balikin posisi dorong dulu pasar naik, tarik investor masuk, baru atur langkah berikutnya,” tambahnya.
Dalam jangka pendek, Chris menilai kondisi pasar tidak akan terlalu bergejolak. “Kita bukan sedang menghadapi pasar yang adem, tapi juga bukan roller coaster. Lebih ke mode observasi. Pasar sedang melihat, apa langkah selanjutnya dari AS dan respons negara-negara besar seperti China,” ujarnya.
Sikap ambigu Trump yang kerap berubah-ubah misal hari ini menyatakan tarif, besok menunda, lusa membuka ruang negosiasi menjadi faktor yang menyebabkan ketidakpastian. Namun, dalam pandangan Chris, penundaan ini juga bisa dimaknai sebagai upaya menurunkan risiko resesi di AS, yang berdasarkan data Polimarket, peluangnya sudah menurun dari 60 persen ke 50 persen.
Aksi Ambil Untung
Di tengah kebijakan global tersebut, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada sesi pembukaan hari ini terkoreksi. Chris menilai, koreksi ini lebih banyak dipicu oleh aksi ambil untung (taking profit) setelah reli sebelumnya. “Ada rotasi sektor menjelang musim dividen. Banyak investor yang sudah beli di harga bawah, dan sekarang mulai mencairkan keuntungan,” ujarnya.
Saham-saham perbankan, terutama kategori Big Caps , seperti Bank Central Asia, Bank Rakyat Indonesia, dan Bank Mandiri, disebut tetap memiliki fundamental yang kuat. “Tidak perlu panik. Saham-saham Big Caps sekarang justru sedang dalam kondisi ter-discount. Secara valuasi, ini harga yang menarik untuk akumulasi,” ujar Chris.
Chris menekankan bahwa musim dividen tahun ini cukup menarik, terutama bagi investor pemburu yield tinggi. “Untuk sektor perbankan, yield dividen bisa mencapai 10 persen. Dengan harga yang lagi murah, ini momen bagus buat masuk. Tapi tetap perlu waspada terhadap potensi penurunan saat ex date,” katanya.
Ia menambahkan, penurunan harga saham saat ex date bisa mencapai 4 hingga 5 persen. Namun dengan strategi akumulasi yang tepat, investor masih bisa mengunci potensi gain jangka panjang. “Selain dividen, aksi buyback juga menjadi katalis positif yang bisa menahan tekanan jual di pasar,” katanya.
Meski ada peluang jangka pendek, Chris mengingatkan bahwa IHSG masih akan sangat dipengaruhi oleh dinamika global. “Kebijakan Trump, arah suku bunga The Fed, hingga respons China akan menentukan arah pasar. Jadi investor jangan hanya fokus ke yield dividen, tapi juga pantau terus sentimen global,” kata dia.
Efek Positif Penundaan Tarif
Pengamat pasar modal sekaligus Founder Stocknow.id Hendra Wardana mengatakan aksi Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang resmi menunda kebijakan tarif baru ke sejumlah negara selama 90 hari akan membawa efek positif terhadap IHSG.
Keputusan Gedung Putih ini menurut dia mampu menenangkan pelaku pasar hingga memicu reli serentak di bursa Asia dan Eropa. "Dan memberi ruang bagi investor untuk kembali masuk ke aset berisiko, termasuk saham Indonesia," ujar dia kepada KabarBursa.com, Jumat, 11 April 2025.
Namun, di tengah penguatan IHSG, Hendra melihat masih ada sejumlah hal yang perlu diwaspadai. Salah satunya adalah aksi jual bersih (net sell) oleh investor asing yang tercatat mencapai Rp632 miliar pada hari yang sama.
Menurutnya, hal ini menunjukkan bahwa penguatan IHSG belum sepenuhnya didukung oleh arus modal asing. Di sisi lain, ketegangan antara AS dan China juga belum sepenuhnya mereda.
"Terutama setelah AS tetap menaikkan bea masuk produk Tiongkok menjadi 125 persen, dan dibalas oleh tarif 84 persen dari pihak Beijing. Sentimen global yang rapuh ini membuat pasar tetap bergerak dalam volatilitas tinggi," jelasnya.
Hendra menyebut, IHSG kini mengincar resistance di area 6.418, dan jika mampu menembus, target berikutnya berada di 6.600 – 6.800. "Potensi yang bukan mustahil, asalkan kombinasi katalis makro dan penguatan sektor-sektor utama mampu terjaga secara konsisten," kata Hendra.
Selain itu, Hendra menyatakan musim pembagian dividen yang segera dimulai menjadi katalis tambahan bagi IHSG. Sejumlah emiten terutama sektor perbankan dan konsumer, kata dia, diperkirakan akan membagikan dividen dalam jumlah besar.
"Namun, efek ex-date dan potensi aksi profit taking tetap harus diantisipasi. Investor disarankan selektif dan fokus pada emiten yang tak hanya memberi dividen tinggi, tetapi juga memiliki pertumbuhan laba berkelanjutan," kata Hendra.(*)